Perempuan Ulama di Pentas Sejarah: Khadijah Bint Suhnun (1)

Khadijah Bint Suhnun adalah nama perempuan ulama dari Tunisia yang sangat terkenal. Nama lengkapnya Khadijah bint al-Imam Abd al-Salam Suhnun bin Sa’id al-Tanukhi. Lahir di Qairawan, Tunisia, tahun 160 H.
Al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh (w. 1149 M), penulis kitab “al-Syifa”, menulis dalam bukunya yang lain “Tartib al-Muluk wa Tartib al-Masalik fi Ma’rifah A’lam Madzhab Malik”:
“Khadijah bint Suhnun adalah perempuan ulama, cendikia, cerdas, dan pribadi yang indah. Pengetahuan agamanya sangat luas, bahkan mengungguli kebanyakan ulama laki-laki. Ia memberi fatwa keagamaan dan melakukan advokasi-advokasi sosial-kemanusiaan”.
Putri Hakim Agung
Ayah Khadijah, adalah Imam Suhnun. Ia ahli hukum Islam dalam mazhab Maliki. Dialah penyusun kitab “Al-Mudawwanah”, sebuah ensiklopedi fiqh mazhab Maliki atau semacam Kodivikasi hukum Islam dalam mazhab Maliki yang menjadi sumber utama perundang-undangan di negeri itu.
Di bawah pendidikan dan asuhan sang ayah, Khadijah, bukan hanya memeroleh pengetahuan keagamaan yang luas, melainkan juga kepribadian yang luhur; rendah hati, santun, pemurah, dan religious. Popularitasnya sebagai ulama perempuan sangat menonjol. Suhnun juga adalah seorang hakim pengadilan terkemuka. Ia selalu meminta pertimbangan dan pendapat putrinya yang cerdas itu, sebelum ia mengetukkan palu di pengadilan. Mengenai ini disebutkan:
لَقَدْ وَرَدَتْ أَخْبَارٌ عَنْهَا مِنْ ذَلِكَ أَنَّ سُحْنُون حِينَمَا عُيِّنَ قَاضِياً بِالقَيْرَوَان، حَزُنَ وَلَمْ يَجْرَؤ أَحَدٌ عَلى تَهْنِئَتِهِ إِذْ ظَهَرَتْ الْكَآبةُ فِي وَجْهِهِ، فَسَارَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى اِبْنَتِه خَدِيجَة، وكَانَ مُتَرَدِّداً مِنْ قَبُولِ الخِطَّة وَيَبْدُو اَنَّ اِبْنَتَهُ قَدْ حَثَّتْهُ عَلَى قَبُولِهَا فَقَالَ لَهَا : اليَوْمَ ذُبِحَ أَبُوكِ بِغَيْرِ سِكِّينٍ، وَكَانَ العُلَمَاءُ يَتَوَرَّعُونَ مِنْ تَوَلَي القَضَاءَ لِعَظَمِ المَسْؤُولِيَّةِ اَمَامَ اللهِ وَاَمَامَ عِبَادِهِ،
يَقُولُ حَسَن حُسْنِي بعد الوهاب في «شهيرات التونسيات» كَانَ أبُوهَا يُحِبُّهَا حُبًّا شَدِيداً وَيَسْتَشِيرُهاَ فِي مُهِمَّاتِ أُمُورِهِ حَتَّى أَنَّهُ لمَاَّ عُرِضَ عَلَيهِ القَضَاءُ لَمْ يَقْبَلْهُ إِلَّا بَعْدَ أَخْذِ رَأْيِهَا
“Sebuah kabar menyatakan bahwa Suhnun, ketika diangkat menjadi hakim agung di Qairawan, merasa bersedih hati. Melihat wajahnya yang murung ini, tidak seorang pun yang berani menyampaikan ucapan selamat. Suhnun kemudian menemui anaknya, Khadijah. Ia menyampaikan kebimbangannya apakah harus menerima jabatan itu atau menolaknya. Khadijah justru mendukung ayahnya untuk menerima jabatan tersebut. Mendengar saran anaknya ini, Syeikh Suhnun mengatakan: “Ayahmu disembelih tanpa pisau”.
Memang, para ulama merasa tidak sanggup memikul jabatan sebagai hakim, mengingat tanggung jawabnya di hadapan Allah dan rakyat. Hasan Husni dalam bukunya “Syahirat al-Tunisiyyat” (Perempuan-perempuan Terkenal Tunisia) mengatakan bahwa ayah Khadijah sangat mencintainya sekaligus mengaguminya, sehingga ia selalu meminta pandangan Khadijah saat akan mengambil keputusan dalam banyak hal, termasuk mengenai jabatan sebagai hakim pengadilan. Ketika ia diangkat sebagai hakim agung, ia baru menerimanya sesudah mendapat persetujuan Khadijah.
Khadijah wafat tahun 270 H/885 M dan dikebumikan di Qairawan, di samping ayah yang dicintai dan mencintainya.
Artikel Terkait:
RMI Didorong Fasilitasi Program Pesantren Putri
Di Balik Kemajuan Pesantren Ada Peran Sosok Bu Nyai Hebat
Semarang Siap Jadi Tuan Rumah Silatnas Bu Nyai Nusantara 3
Perempuan Perlu Sinergi Pergerakan dalam Bangun Peradaban Bermartabat
Kiprah Perempuan Pesantren dari Era Kolonial, Pasca Kolonial hingga Milenial
Perempuan Kendeng: Gerak Ekofeminisme dan Relijiusitas
Status Waria dalam Islam: antara Khuntsa, Mukhannats dan Mutarajilat
Kisah Ummu Sulaim Menikah dengan Mahar "Islam"
Konsep dan Peran Ibu dalam Al-Qur’an
Moderasi Beragama dan Perempuan