Wajo – Eks Wakil Menteri Wakaf Mesir, Syekh As-Said Muhammad Ali Al-Husaini, mengutip pendapat Imam Qusyairi bahwa cinta (hubb) terdiri dari dua huruf; ‘ha’ (ruh) dan ‘ba’ (badan/jasmani). Sementara Ibnu Atha’illah al-Iskandari mendeskripsikan cinta dengan mahkota para ulama sufi.
Ia menyebut, ketika seseorang merenungi ayat-ayat Al-Qur’an, misalnya Al-Fatihah, ia akan mendapati bahwa rukun Islam sebetulnya ada tiga. Pertama, cinta (al-hubb). Kedua, harapan (al-raja). Ketiga, kecemasan (al-khauf). Cinta menjadi awalan karena darinya berkembang perkara-perkara substantif seperti kelembutan, kasih sayang, kerinduan, dan lainnya.
“Dalilnya al-hubb adalah alhamdulillahirabbil alamin. Ar-raja adalah arrahmanirrahim. Kemudian al-khauf itu maliki yaumiddin,” katanya sebagai narasumber dalam Seminar Internasional bertajuk Curriculum of Love and Eco-Theology as The Basis for The Istiqlal Declaration Implementation Movement di Universitas Islam As’adiyah, Kabupaten Wajo, Selasa (4/2/2025).
Menurutnya, cinta seharusnya tidak hanya disebarkan di keluarga, tetapi juga di sosial dan juga lingkungan/bumi. Dalam Islam, bumi adalah ibu manusia karena dia dilahirkan dari bumi. Siapa yang tidak mencintai bumi maka ia tidak mencintai ibunya.
Seminar internasional ini mengundang dan menghadirkan banyak unsur se-Sulawesi Selatan, nasional bahkan internasional. Hadir di lokasi acara, lebih dari 200 tokoh. Selain itu, ada lebih dari 1.000 peserta yang mengikutinya secara virtual melalui aplikasi zoom. Acara ini juga disiarkan melalui chanel YouTube As’adiyah.
Kurikulum Cinta, Sebuah Temuan Besar
Rektor UIN Alauddin Makassar, Hamdan Juhannis, mengatakan, kata ‘kurikulum’ dan ‘cinta’ adalah dua kata yang biasa. Namun menggabungkan dua kata itu, sehingga menjadi ‘kurikulum cinta’, adalah hal yang luar biasa, temuan, dan gagasan besar sehingga patut diapresiasi.
Dalam pandangannya, apa yang saja yang disentuh cinta pasti menyala karena cinta adalah asasi atau fitrah. Dalam 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran, kinerja Menag adalah yang terbaik karena ia menyentuh Kemenag dengan cinta.
Cinta, sambungnya, juga membangun spirit, menciptakan keteraturan, melahirkan karakter, dan menimbulkan daya tahan. Aktualisasi cinta harus terkelola menjadi kesadaran kolektif dalam dunia pendidikan sehingga perlu ada kurikulum cinta. Selain menjadi alat yang ampuh untuk menanamkan nilai kemanusiaan, kurikulum juga menjadi alat kekuasaan sehingga muncul beragam kurikulum.
Di konteks perguruan tinggi, lanjutnya, budaya cinta itu menggugah orisinalitas diri. Sehingga lahir kampus asri, tradisi akademik yang tertata, dan lainnya. salah satu landasan operasional dan historis untuk menyusun kurikulum cinta di perguruan tinggi adalah Deklarasi Istiqlal, dengan menampilkan foto Menag dan Paus Fransiskus.
“Nilai kemanusiaan foto ini (Menag dan Paus Fransiskus pada saat Deklarasi Istiqlal) sangat tinggi. Itu adalah peristiwa peradaban yang tidak mungkin terulang dalam 1.000 tahun. Ini peristiwa sangat historis,” tegasnya.
Kurikulum Cinta, Muncul dari Alam Bawah Sadar
Rektor Universitas Islam As’adiyah Sengkang, Indo Santalia, menduga, gagasan Menang soal kurikulum sudah ada dalam alam bawah sadarnya sejak ia belajar di Pesantren As’adiyah. Saat kecil, ia sering melihat non-Muslim hadir di acara-acara besar pesantren.
Ia bilang, santri As’adiyah tidak pernah diajarkan untuk membenci kelompok atau paham yang berbeda. Pada tahun 1980-an, mahasiswa Perguruan Tinggi Islam As’adiyah berasal dari berbagai kalangan. Di As’adiyah, perbedaan mazhab tidak dipertentangkan, tetapi justru digali dan dikaji.
“Apa yang dicanangkan oleh Anregurutta Prof Menteri dalam Deklarasi Istiqlal perlu kita dukung, utamanya kami warga As’adiyah. Bagaimana menerjemahkan gagasan itu dalam berbagai bentuk kegiatan akademik maupun non-akademik,” tutupnya