Sayyidah Nafisah merupakan salah satu keturunan Rasulullah saw. melalui jalur Sayyidina Hasan. Nafisah binti Hasan Al-Anwar bin Zaid Al-Ablaz bin Hasan bin Ali bin Abi Tholib. Beliau dilahirkan di kota Mekkah, hari Rabu, 11 Rabiul Awal 145 H. Pada masa kekhalifahan Sultan Ja’far Al-Mansur.

Masa kecilnya mendapatkan didikan langsung dari ayahnya. Pada saat itu pula tanda-tanda ketakwaan Sayyidah Nafisah mulai muncul. Di saat anak kecil seusianya sibuk bermain, Sayyidah Nafisah kecil berbeda. Iia lebih senang menghabiskan waktunya untuk beribadah, membaca Alquran dan menuntut ilmu.

Ia juga dikenal sebagai sosok perempuan yang senang menghabiskan waktunya untuk ibadah dan rajin menuntut ilmu. Beliau juga ketika melaksanakan shalat fardlu dan shalat sunnah selalu tersambung (tidak terputus oleh perbuatan sia-sia). Hari-harinya sering dihabiskan untuk melaksanakan puasa dan berdzikir kepada Allah. Beliau tidak lupa mengkaji ilmu agama untuk mendekatkan diri dan mengenal Allah.

Tatkala umurnya telah menginjak masa remaja, banyak lelaki yang hendak meminangnya. Karena mereka tahu bahwa Sayyidah Nafisah merupakan sosok perempuan yang baik dari segi agama dan ibadahnya. Terlebih lagi beliau adalah perempuan yang cantik rupa nan akhlaknya. Sampai suatu hari datang seorang laki-laki yang hendak meminang bernama Ishaq Mu’tamin bin Ja’far As-Shodiq. Ia adalah sosok lelaki yang memiliki nasab mulia, pangkat, kekayaan dan keluasan ilmu.

Ketika Ishaq meminangnya, ayah Sayyidah Nafisah belum memberikan jawaban pinangan Ishaq. Maka Ishaq segera pergi ke makam Rasululullah saw. untuk mengadukan hal itu seraya berkata di depan makam Rasulullah, “ Wahai Rasulullah, sungguh aku hendak meminang Nafisah bin Hasan Al-Anwar semata-mata karena bagus agama serta ibadahnya.”

Setelah berkata demikian di depan kubur Rasulullah saw., maka pulanglah Ishaq ke rumahnya. Pada malam itu juga ayah Sayyidah Nafisah, Hasan Al-Anwar bin Zaid Al-Ablaz bermimpi melihat Rasulullah saw. bersabda “Nikahkan putrimu Nafisah dengan Ishaq bin Mu’tamin.” Maka menikahlah mereka beredua atas perintah langsung dari Rasulullah.

Pada masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah II, ketika Al-Mansur menjabat menjadi khalifah, beberapa tragedi tentang ahlul bait terjadi. Di antaranya adalah ayah Sayyidah Nafisah yakni Hasan Al-Anwar ditahan pemerintah karena beberapa konflik.

Maka Sayyidah melihat situasi yang semakin mencekam. Terdengar kabar dari beberapa warga yang sering melakukan ekspedisi dagang bahwa ada suatu kota yang mana penduduknya mencintai ahlul bait dan sangat memuliakan mereka.

Kota Mesir juga beberapa kali disebutkan dalam Alquran dan hadis. Salah satunya disebutkan dalam kitab Shahih Muslim yang sumber periwayatannya dari sahabat Abu Dzar

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكُمْ سَتَفْتَحُونَ مِصْرَ وَهِيَ أَرْضٌ يُسَمَّى فِيهَا الْقِيرَاطُ فَإِذَا فَتَحْتُمُوهَا فَأَحْسِنُوا إِلَى أَهْلِهَا فَإِنَّ لَهُمْ ذِمَّةً وَرَحِمًا

Sesungguhnya kamu (kaum muslimin) pasti akan dapat menaklukkan Kota Mesir, yaitu suatu wilayah yang terkadang dinamakan al-Qirath. Jika kalian telah dapat menguasai Kota Mesir, maka berbuat baiklah kepada para penduduknya. Karena, bagaimanapun, mereka memiliki hak untuk dilindungi. (HR. Muslim)

Mendengar berita itu Sayyidah Nafisah membulatkan tekadnya untuk hijrah ke Mesir. Setelah tekadnya benar-benar kuat, ia memutuskan untuk berangkat bersama sang suami dari Madinah menuju Kota Mesir. Di dalam perjalanannya beliau tidak lupa untuk berziarah ke makam Nabiyulah Ibrahim as. dan ahlul bait lainnya.

Pada tanggal 26 Ramadhan 193 H. rombongan Sayyidah Nafisah menginjakkan kaki di Kota Mesir. Tatkala mereka sampai di Mesir, masyarakat dari seluruh penjuru menyambut dengan suka cita dan sambutan hangat atas kedatangan mereka di Mesir. Karena itu akan semakin menambah keberkahan bumi yang mereka pijak dengan adanya keluarga baginda Nabi saw.

Di dalam Kitab Siyar A’lamin Nubala’ karya Imam Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi disebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah dilanda penyakit yang sangat parah. Sampai-sampai para dokter mengklaim bahwa itu adalah akhir kehidupan sang Imam.

Mendengar itu semua Imam Syafi’i  memanggil murid setianya yang bernama Rabi’ untuk untuk menemui Sayyidah Nafisah. Lantas Imam Syafi’i berpesan kepada muridnya, “Katakan kepada Sayyidah Nafisah bahwa Syafi’i meminta doanya untuk menjadi perantara kepada Allah.”

Mendengar hal itu, Rabi’ langsung bergegas menuju mihrab (tempat ibadah) Sayyidah Nafisah dengan membawa botol air. Sayyidah Nafisah yang mengetahui pesan tersebut langsung membacakan Bismillahirrahmanirrahim kemudian mendoakan untuk kesembuhan sang Imam.

Selepas itu Rabi’ kembali kepada Imam Syafi’i kemudian memberikan botol tersebut. Air dalam botol langsung diminum oleh sang Imam. lhamdulillah atas seizin Allah seketika itu penyakitnya menjadi hilang. Begitulah seterusnya, setiap kali Imam Syafi’i merasakan penyakitnya semakin parah, maka doa Sayyidah Nafisah lah yang menjadi perantaranya.

Akan tetapi, hal aneh terjadi. Ketika Rabi’ meminta air, Sayyidah Nafisah tidak memberikan air seperti biasanya. Namun hanya memberikan seuntai doa.

“Semoga dia mendapat nikmat untuk bisa memandang Allah”.

Melihat situasi demikian Rabi’ memutuskan kembali untuk menjumpai sang guru lalu menceritakan tentang keanehan tersebut. Mendengar cerita sang murid maka Imam Syafi’i sadar bahwa ajalnya semakin dekat. Mulailah Imam Syafi’i menulis sepucuk wasiat. Di antaranya berisi bahwa Imam Syafi’i berharap Sayyidah Nafisah nantinya ikut menyalati jenazahnya. Tak lama berselang lama, Imam Syafi’i menghembuskan nafas terakhir.

Ketika waktu tiba, wasiat Imam Syafi’i  menjadi kenyataan. Pada hari itu jasad Imam Syafi’i dibawa ke kediaman Sayyidah Nafisah atas perintah gubernur yang ketika itu menjabat, yakni As-Sirri bin Hakam. Selepas salat jenazah tiba-tiba terdengar suara aneh tak diketahui dari mana asalnya.

Suara itu mengatakan bahwa “Sungguh Allah telah mengampuni dosa setiap orang yang menyalati jenazah Imam Syafi’i karena keberkahan Imam Syafi’i. Dan Allah mengampuni dosa Imam Syafi’i dengan keberkahan Sayyidah Nafisah.”

Siang dan malam silih berganti mengikuti poros alam dan ketentuan Dzat Maha Kuasa tanpa henti. Sampailah pada awal Jumat bulan Ramadhan, Sayyidah Nafisah dilanda penyakit yang sangat parah. Sayyidah gemar menghiasi harinya dengan puasa, namun dokter menyarankannya agar tidak berpuasa. Lalu ia menjawab “Aku ingin ketika nanti bertemu dengan Sang Pencipta dalam keadaan ibadah puasa.”

Segala kehidupan dan kematian itu sudah Allah tentukan dalam garis yang sempurna. Tidak ada seorang yang mampu menghalangi kehendak Allah. Seorang hamba hanya bisa berharap kepada Allah dengan doa-doa yang membumbung di antara lapisan langit di sambut dengan ramah para malaikat.

Sampai pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 207 H. Sayyidah Nafisah menghadap Sang Maha Kuasa. Ketika itu ia dalam keadaan membaca Alquran sampai pada ayat 127 Q.S. Al-An’am

لَهُمْ دَارُ السَّلَامِ عِندَ رَبِّهِمْ ۖ وَهُوَ وَلِيُّهُم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Bagi Mereka (disediakan) tempat yang damai di sisi Tuhannya. dan Dialah pelindung mereka kerena amal kebaikan yang mereka kerjakan. (Q.S. Al-An’am: 127).

Demikianlah biografi dan kisah Sayyidah Nafisah. Semoga dengan kisah ini kita dapat mengambil Ibroh (pelajaran) dari kisah beliau sebagai ahlul bait nabi. Wallahua’lam.

 

Sumber:

Kitab Siyar A’lamin Nubala’, Imam Adz-Dzahabi

Kitab Badrut Tamam Fi Ali Baitil Kiram, Dr. Hisyam Kamil As-Syafi’i

Leave a Response