Pondok pesantren adalah warisan pendidikan Islam yang embrionya dirintis oleh para walisongo sekitar Abad 15-16 Masehi. Waktu itu, para wali dan ulama membuka majelis ilmu (ngaji) di surau atau langgar (semacam masjid kecil). Para murid wali yang–kemudian nantinya disebut “santri”–belajar berbagai ilmu keislaman sekaligus kebudayaan masyarakat lokal.
Santri-santri tidak hanya berguru kepada para wali, mereka juga membantu untuk dakwah mensyiarkan Islam. Hal ini karena mana saat itu masih sedikit yang memeluk agama Islam. Selain dakwah, murid-murid para wali juga menjadi mediator masyarakat dalam memadukan tradisi-budaya lokal dengan ajaran Islam. Tidak heran apabila hingga hari ini, kegiatan keagamaan muslim Indonesia sangat kental dengan budaya lokalnya.
Di samping itu, warisan Walisongo yang bertransformasi menjadi lembaga pendidikan pesantren juga berperan penting dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari genggaman kolonial. Kaum santri di beberapa daerah ikut bergabung berbagai perlawanan pemberontakan dengan penjajah.
Usai kemerdekaan diraih bersama elemen masyarakat lainnya, kaum santri juga aktif dalam menjaga kedaulatan bangsa Indonesia dari incaran penjajah baru. Salah satu yang fenomenal yakni lahirnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang puncaknya meletus peristiwa 10 November 1945 yang disebut sebagai Hari Pahlawan.
Hingga kini, eksistensi santri dan pondok pesantren semakin berkembang mengikuti zaman. Tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga berperan sebagai lembaga dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Tidak heran bila sampai hari ini, jumlah pesantren di seluruh Indonesia mencapai angka sekitar 29.000 pesantren.
Nah, untuk mengetahui gambaran kehidupan kaum santri di masa lalu, berikut ini 10 potret pesantren tempo dulu yang bisa bikin kita merinding:
1. Para santri yang mengenakan blankon dan sarung terlihat memegang papan kecil yang berfungsi sebagai pengganti buku untuk mencatat materi yang diajarkan oleh gurunya. Dalam gambar ini, nampak mereka berfoto bersama setelah mengikuti pembelajaran.
2. Para santri di Pesantren Futuhiyah Mranggen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah terlihat sedang berseliweran di halaman pesantren. Nampak juga anak-anak kecil bercelana pendek sedang bermain dengan para santri.
3. Seorang guru mengenakan sarung berpeci hitam sedang memberikan materi pelajaran kepada para santri.
4. Lanjutan dari gambar 3, disebutkan para santri pesantren Tebuireng, Jombang, duduk bertiga dalam satu bangku. Uniknya, ada sebuah bedug di belakang para santri. Bisa jadi, bedug itu digunakan sebagai alat pengingat jam mengaji. Bisa juga tempat mengaji tersebut bersebelahan dengan masjid yang lazimnya memiliki bedug.
5. Para santri mempunyai tradisi makan bersama dalam satu wadah (Jawa: mayoran, Sunda: ngariung). Santri jarang makan sendiri menggunakan piring dan sendok. Mereka lebih menikmati makanan ketika disantap bersama teman menggunakan tangan.
6. Segenap santri putra dan putri pesantren di Bandung ini berfoto bersama dengan para ajengan (kiai). Gedung pesantren terlihat sederhana dan tempatnya masih pepohonan hijau yang mengelilingi pesantren.
7. Seorang kiai muda atau ustadz sedang memimpin doa selepas shalat berjamaah. Para santri cilik terlihat mengangkat kedua tangan seraya mengamini doa yang dilantunkan oleh ustadznya.
8. Kalangan santri dan kiai pesantren membentuk pasukan militer yang dinamakan Laskar Hizbullah. Foto ini menyebutkan para santri pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, bersiap untuk perlawan menghadapi agresi militer Belanda dan para sekutunya pada tahun 29145.
9. Seorang guru/ustadz yang terlihat masih muda sedang menyimak murid-murid yang membaca Al-Qur’an. Yang menarik juga pada gambar ini nampak dua pasang sendal (bakiak kayu) yang kemungkinan itu milik guru muda tadi.
10. Tiga kiai sedang berfoto bersama dengan para santri. Nampak mereka sama-sama mengenakan sarung, sedangkan para santri kompak memakai peci/kopiah berwarna hitam dengan baju putih.
Lewat foto-foto klasik di atas, kita bisa menyaksikan bagaimana kehidupan pesantren yang penuh dengan kesederhanaan, namun punya tekad dan upaya besar untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa serta menjunjung tinggi cinta kebangsaan. (M. Zidni Nafi’)