Ibu: Alasan dan Tulisan
Judul : Ini Ibu…
Penulis : Aryani Wahyu, Devi Puspita, Eva Tampubolon, Iin Nuraini, Latif Nur Janah,
Muthia Sayekti, Ririn Diah Utami, Titin Mufarrahah, Yessita Dewi, Yulia Loekito
Penerbit : Yayasan Sami Sami Suningsih
Cetak : Pertama, 2021
Tebal : x+78 halaman
ISBN : 978-623-91329-8-9
Jane Austen—diperankan oleh Anne Hathaway—dalam film biopik tentang dirinya Becoming Jane (Julian Jarrold, 2007) mengatakan ini, “Tuhan melarang yang ditulis oleh perempuan belaka. Seolah, tulisan perempuan tidak menampilkan kekuatan pikiran yang terbesar, pengetahuan tentang sifat manusia, pencurahan pikiran yang paling hidup dari kecerdasan dan humor.”
Jane hidup di Inggris pada abad ke-18 ketika kesopanan memerintahkan perempuan diam dalam ketidaktahuan. Atas nama moral dan agama, mereka harus menahan diri dari ambisi-ambisi tidak feminin.
Untuk zaman itu, perempuan diukur dari cara berdiri, berbicara, menatap, menyapa. Segala keunggulan selalu dilihat dari apa yang dilakukan tubuh, bukan apa yang dilakukan pikiran. Berpikir adalah pekerjaan maskulin.
Tulisan-tulisan Jane berhasil melintasi zaman dan bertahan menemukan pembaca justru bukan karena ia menjauh dari dunia keperempuanan. Jane membentangkan apa yang dipikirkan-dirasakan perempuan; impian, pernikahan, cinta, keluarga, rumah.
Pembaca menemukan upaya (lagi) menuliskan hal-hal di sekitar perempuan oleh perempuan yang ibu melalui buku kecil Ini Ibu…(2021). Esai-esai di buku ini awalnya tampil di rubrik “Mbok” laman suningsih.net.
Rubrik sengaja mengundang para ibu untuk menuliskan hal yang enteng, sehari-hari, dekat, dan tidak usah bernada akademis—dari pengasuhan melalui makanan, pertanyaan anak, perasaan kehilangan, drama Korea, kaus oblong, rokok, setrika, buah-buahan, tempe, omongan tetangga.
Dicerap dari bentuk tulisan dan pilihan tema, rubrik “Mbok” memang memanggil pada keawaman dan keluguan. Para (penulis) ibu juga melakoni peristiwa sebagai penjahit, guru, pekerja seni, peminat kajian budaya, penulis cerita anak, dan lain-lain.
Ririn Diah Utami menulis “Setelah Drama Korea” yang secara tersurat membabarkan berkah tontonan drakor lebih manjur mengatasi ketidakmenentuan situasi pandemi dibanding sinetron televisi Indonesia atau acara-acara sosial bercorak keagamaan. Ririn menulis, “Untuk soal cerita, saya lebih suka drama Korea yang berbau militer, seperti Crash Landing on You dan Descendants of the Sun.
Sebab, ada unsur yang mengarahkan seseorang harus berani mengambil keputusan mendesak, pengorbanan, rasa kemanusiaan, dan cinta. Ada jua cerita-cerita yang saya suka tapi tidak berbau militer. Yang penting menghibur.”
Drakor membawa penghiburan, tidak menyerang dengan dogma, dan lebih meninggalkan kesan meski harus berair mata. Ririn tentu mewakili jemaah ibu-ibu yang hari-harinya diselamatkan oleh drama Korea.
Esai “Penemuan dan Kehilangaan” oleh Iin Nuraini meninggalkan bekas bahkan lama setelah saya membacanya. Saya dibawa memasuki rasa kehilangan yang dialami anak pertama Iin yang kehilangan Big, kucing kesayangan.
“Sudah sangat lama kucing itu ia pelihara, sampai ia memberi nama Big. Sebab, saat ia temukan, kucing itu tak terurus dan kurus. Ia memeliharanya sampai tubuhnya gendut.”
Hidup bisa senang, bisa sedih, terkadang membosankan, tapi bisa juga begitu seru. Kesedihan karena kematian satu dari peristiwa yang pasti akan dialami anak. Iin menutup tulisan, “Tahun baru ini ia menemukan hal baru: rasa kehilangan. Meski ia tak pernah peduli akan tahun baru di tahun-tahun yang lalu, namun tidak dengan tahun ini.
Pada awal tahun ini, mungkin jadi tahun yang membekas untuknya, menorehkan kenangan buruk dan terus terkenang dalam hatinya. Aku harap dengan belajar rasa kehilangan itu ia bisa menjadi anak yang tabah saat mengalami hal sulit suatu kelak.”
Konstruksi budaya dan psikologi warna pakaian anak dibaca Muthia Sayekti dari kaus oblong atau kaus seporot di esai “Itu Kaus Oblong!”. Orang(tua) mungkin tidak pernah begitu njlimet menafsirkan keberadaan kaus oblong. Kebutuhan kaus oblong lumrah dan praktis ada anak-anak di wilayah tropis.
Muthia mempertanyakan norma sosial kenapa anak perempuan identik dengan rok dan warna pink. Sebaliknya, anak laki-laki tidak mungkin mengenakan rok, apalagi warna pink. Konstruksi budaya warna seketika kabur saat anak-anak mengenakan kaus oblong.
Muthia menulis, “Kaus oblong tidak mengenal anak dari kaum urban atau suburban. Tidak pula dipermasalahkan apa jenis kelaminnya. Laki-laki atau perempuan sama saja. Kaus oblong bagi anak adalah kesetaraan.
Tidak terlihat jelas mana yang anak pejabat atau yang bapak-ibunya melarat. Paling-paling dari tingkat menguningnya saja, orang-orang akan menilai, entah terucap atau hanya sampai di batin saja.”
Seru mencerap tulisan Yulia Loekito berjudul “Ibu: Makanan dan Bacaan”. Yulia suka memasak dan peristiwa primordial rumah tangga ini tidak hanya melibatkan anak sebagai penyantap makanan, tapi juga penyantap bacaan. Dibandingkan melacak resep lewat gawai, aroma dari buku-buku masakan mengundang anak-anak penasaran dan bertanya.
Seperti saat membuka buku Upaboga di Indonesia garapan Suryatini N Genie, anak-anak penasaran dengan istilah “etnik”. Buku membuka pertanyaan kenapa orang Jawa suka rasa manis.
Yulia menulis, “Terbuka pintu obrolan tentang budaya dan asal usul. Anak kecil terbiasa tidak sungkan bertanya. Kebiasaan tak sungkan bertanya pada orang tua bisa jadi fondasi kuat kelas kalau anak mulai jadi remaja yang rumit di tengah lingkungan teman-teman yang masih sama-sama mencari jati diri.” Di sinilah, ibu harus mau repot memasak sekaligus menjawab pertanyaan tentang makanan.
Ini Ibu…bisa dianggap semacam kamus perasaan ibu; kekesalan-kemarahan, penasaran, kebingungan, kelegaan, kesedihan, dan keseruan. Tema-tema yang tampak sepele justru mengupayakan “pencurahan pikiran yang hidup”, seperti dikatakan Jane Austen.
Wilayah domestik, terutama langsung bisa dibaca melalui judul, tidak membawa kesan memasifkan perempuan berstatus ibu. Sering karena alasan kerepotan rumah tangga, keluarga, dan pekerjaan, ibu tidak menulis ataupun tidak lagi menulis. Di sini, peristiwa rumah tangga, keluarga, dan pekerjaan justru menjadi alasan untuk menulis. Kalian memang setrong, Bun!