KH. A. Musthofa Bisri (Gus Mus) dalam buku “Membuka Pintu Langit” (2011:34) menyatakan bahwa dahulu ketika belum ada media sosial seperti saat ini, ada beberapa jalur untuk seseorang bisa disebut sebagai kiai atau ulama.
Ada kiai yang memang produk masyarakat. Maksudnya, seseorang disebut kiai atau ulama oleh masyarakat memang keilmuan dan pengaruhnya langsung bisa dirasakan oleh masyarakat, atau karena pengabdiannya kepada masyarakat.
Selanjutnya, ada kiai atau ulama ciptaan pemerintah, sebagaimana pada waktu zaman orde baru. Pemerintah saking berkuasanya hingga merasa berhak mengangkat kiai atau ulama dari kalangan pemerintah itu sendiri. Contohnya ada ICMI dan MUI pada waktu itu yang dibentuk untuk membela kepentingan pemerintah tentunya.
Kemudian ada kiai ciptaan pers. Kalau jalur ini sangat kita kenal bahkan di zaman kita saat ini dengan perkembangan media. Kiai atau ulama bikinan pers sangat marak sekali. Kiai ini diangkat dan diturunkan oleh gencarnya pers dalam mempromosikan golongan kiai jenis ini, dengan status “viral”.
Terakhir, yaitu kiai produk sendiri. Kiai jenis ini berbekal komunikasi masa yang baik, mendaku kepada seluruh masyarakat bahwa dirinya merupakan kiai. Meskipun ia tidak pernah mondok atau belajar di sekolah agama manapun, serta bukan keturunan kiai atau ulama manapun juga.
Masih menurut Gus Mus (2011:33), dahulu kiai pada umumnya tinggal di desa sehingga sangat dekat dengan masyarakat. Mereka menjadi tempat bertanya dan meminta pertolongan jika masyarakat membutuhkan. Dari urusan sakit gigi minta suwuk (semacam doa-doa), hingga mencarikan jodoh bagi anaknya yang tak kunjung laku-laku.
Bahkan, seorang kiai kampung pada zaman dahulu tidak membutuhkan ilmu komunikasi yang baik untuk disebut sebagai seorang kiai. Tetapi, yang dibutuhkan yakni kiai harus bersedia mewakafkan dirinya untuk kepentingan masyarakat dan agama. Dengan begitu, ia rela tersita waktunya 24 jam untuk melayani keluh kesah masyarakat.
Kiai kampung dahulu dicintai oleh masyarakat karena bersifat yanzuruuma ilal ummah bi’ainir rahmah. Artinya, kiai tersebut melihat umatnya dengan mata kasih sayang.
Ia memberikan pelajaran bagi umat yang bodoh, membantu yang lemah, menghibur yang menderita. Selain juga, bersedia berdiri di depan umat apabila umat ditindas bahkan pondok pesantren dibangun oleh kiai 100 persen sebagai bukti perjuangan dan pengabdian kepada masyarakat.
Belakangan ini terjadi beberapa kasus ustadz-ustadz yang sering muncul di media sosial, namun menimbulkan kontroversial sebab sikap dan materi yang disampaikan saat kajian. Sadar atau tidak, mengapa ustadz-ustadz masa kini yang sering membikin kontroversi itu lebih ‘laris manis’?
Padahal kalau boleh dibandingkan, ilmu mereka tidak lebih baik dengan kiai-kiai kampung yang lulusan pesantren maupun sarjana-sarjana lulusan perguruan tinggi Islam.
Paling tidak ada dua analisis untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, para kiai tersebut telah kehilangan “citra” kiai yang melihat umatnya dengan mata kasih sayang. Di samping juga memberikan pelajaran bagi umat yang bodoh, membantu yang lemah, menghibur yang menderita. Bahkan, masyarakat merasa kehilangan citra Kiai yang mewakafkan dirinya untuk kepentingan umatnya (Endang Turmudzi, 2004: 20).
Justru, citra kiai kini memiliki kesan ilmunya tinggi-tinggi, namun maunya disowani (didatangi), bukan menghampiri umat. Ada kesan umat harus tunduk bukan merangkulnya untuk dihibur. Bahkan, cenderung nyungkani sehingga masyarakat malu dan enggan mendekat kepada Kiai.
Sedangkan ustadz-ustadz kekinian, di-branding oleh media sosial sebagai sosok “kiai” atau “ulama” yang mampu mengayomi umat, mampu menjawab “kegalauan” masyarakat, dan tidak nyungkani untuk menjawab seluruh keluh kesah masyarakat.
Bahkan, ada kecenderungan ustadz-ustadz tersebut lebih bisa menghibur dibandingkan para kiai-kiai kampung yang ilmu agamanya tinggi tadi.
Ustadz-ustadz tersebut tidak anti teknologi, bermain Twitter, Facebook, Instagram. Mereka juga tidak sungkan datang ke café dan mal tempat favorit masyarakat berkumpul.
Bahkan, para ustadz yang terkenal karena media sosial tersebut mengikuti gaya hidup, hobi yang sama, dan ditunjang gaya bicara yang kekinian serta tahu yang dibutuhkan masyarakat.
Dengan melakukan hal-hal tersebut, para ustadz kekinian itu memberi kesan “yanzuruuma ilal ummah bi’ainir rahmah” di masyarakat. Seolah-olah memang tidak ada sekat antara ustadz dan masyarakat.
Yang lebih menarik, mereka membuka jasa konsultasi secara profesional, dari mendengarkan keluh kesah masyarakat hingga mencarikan solusinya. Di saat para jomblo datang kepada mereka, mereka mengadakan seminar ta’aruf.
Ketika masyarakat mengeluh tidak punya pekerjaan, mereka menciptakan lapangan pekerjaan. Bahkan, ketika kehidupan masyarakat pada titik terendah, mereka mendatangi masyarakat dengan dalil-dalil agama yang menghibur.
Dalam acara “Kick Andy bertema Membuka Pintu Langit” Gus Mus pernah mengatakan, bahwa kiai-kiai zaman dahulu selalu berdiri di depan membela masyarakat, yang ditindas oleh penguasa, apabila merasa didzalimi. Bahkan, kiai zaman dahulu juga bersedia menjadi media penengah di antara penguasa dan masyarakat jika terjadi konflik. Gus Mus menyebutnya sebagai implementasi politik kebangsaan dari para kiai.
Nah, ustadz-ustadz masa kini, yang sering membuat kontroversi, sering menempatkan diri mereka pada posisi ini. Sehingga ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang nyeleneh maupun bersebrangan dengan kepentingan golongan mereka.
Mereka berani kritis dan mampu membangkitkan emosi jamaahnya. Meskipun terkadang kebabalasan bentuk kekritisan tersebut, tetapi para jamaahnya yang kadung terbakar, menjadi merasa terwakili emosinya.
Oleh karena itu, ketika ustadz-ustadz tersebut diketahui kekurangannya (baca: kontroversi), sebab masyarakat telah merasa “dekat” dengan mereka. Masyarakat tidak terlalu mempermasalahkannya. Karena ikatan batin mereka telah terjalin, dan merasa justru ustaz-ustaz tersebut kontroversi untuk kepentingan mereka. Dengan kata lain, sudah kadung tresno t*i kucing pun terasa seperti coklat.
Analisis kedua, para kiai kampung kini terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak dibutuhkan masyarakat. Dengan menguatnya NU membendung gerakan Salafi Wahabi para kiai-kiai kampung muda maupun tua, terkesan hanya sebatas melakukan kampanye organisasi (mengatasnamakan ormas tertentu) untuk meng-counter ustadz-ustadz yang dianggap kontroversial tadi. Tetapi, melupakan esensi dakwah untuk membangun umat lebih baik dengan cara yang baik tentunya. (Ahmad Shidqi, 2013: 3).
Celakanya, ibarat permainan sepak bola, kiai-kiai kampung yang dianggap sebagai garda terdepan Islam moderat di negeri ini, terbawa arus permainan lawan. Hanya mengandalkan counter-attack. Justru ustadz-ustadz yang dianggap “radikal” dan “kontroversial” dibiarkan memenangkan ball-posision.
Memang permainan sepak bola negatif tidak selamanya buruk, tetapi para kiai kampung tadi harusnya kini memainkan sepak bola dengan pressing ketat, seperti permainan Liverpool beberapa tahun ini.
Dengan memunculkan lebih banyak kader-kader muda untuk mendekati kalangan milenial secara seporadis tanpa perlu embel-embel ormas tertentu. “agar tidak terkesan rebutan jamaah”, tetapi memang murni dakwah untuk ummat. Masyarakat lebih menyukai itu tentunya.
Memang membutuhkan stamina, kecerdasan, dan kekompakan yang lebih besar daripada biasanya, tetapi hasilnya bisa kita lihat permainan sepak bola yang mengandalkan ball-position telah hancur masa kejayaannya.
Tidak satupun tropi idaman yang dapat mereka harapkan untuk dibawa pulang, meskipun gelontoran dana triliunan untuk membeli pemain telah dibelanjakan.
Sebagaimana kita tahu, memang para kiai kampung ini memang kalah dari sumber daya di segala lini, baik itu dana hingga manajemennya. Tetapi, semua itu kan dapat diusahakan apabila dakwah kita kembali ke fitrahnya, yakni “yanzuruuma ilal ummah bi’ainir rahmah”, melihat umat dengan kaca mata kasing sayang. Wallahu a’lam.