Perbuatan manusia merupakan salah satu kajian menarik dan terpenting dalam teologi Islam. Kajian ini menjadi salah satu fokus mutakallimin (ahli ilmu kalam) karena berkaitan dengan tanggung jawab manusia terhadap perbuatannya. Selain itu, perbuatan manusia juga berkaitan erat dengan kekuasaan Tuhan terhadap manusia.

Dalam kajian perbuatan manusia dan kekuasan Tuhan, terdapat perbedaan pendapat mutakallimin. Perbedaan ini sesuai dengan sudut pandang (penafsiran) masing-masing terhadap sumber-sumber ajaran Islam.

Menurut aliran Mu’tazilah, sebagaimana Al-Syahrastāni jelaskan dalam al-Milāl wa al-Nihāl, manusia memiliki kebebasan dalam berbuat dan bertindak. Segala perbuatan manusia adalah murni dari manusia itu sendiri, bahkan Tuhan juga tidak berhak mengaturnya. Karena perbuatan manusia bukan diciptakan oleh Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia itu sendiri.

Harun Nasution (1986: 123-124) menyebut, dalam pandangan Mu’tazilah, kekuasaan Tuhan terhadap perbuatan manusia tidaklah mutlak sepenuhnya. Hal ini karena kekuasaan-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan yang membuat-Nya tidak bisa berbuat sewenang-wenang.

Keadilan Tuhan ini berarti ketika manusia berbuat baik akan mendapat pahala dan masuk surga. Begitu juga sebaliknya, ketika manusia berbuat jahat maka akan mendapatkan dosa dan dimasukkan ke dalam neraka.

Hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh kaum Mu’tazilah, Asy’ariyah beranggapan bahwa kekuasaan Tuhan bersifat mutlak atas segala-galanya. Mereka menganggap tidak ada sesuatu apapun yang dapat menghalangi Tuhan dalam berkehendak. Mereka percaya pada keabsolutan Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat.

Dalam hal perbuatan manusia, Asy’ariyah berada di tengah-tengah dua aliran ekstreme. Yang pertama, aliran Jabariyah yang menganggap bahwa segala perbuatan manusia telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Sedangkan yang kedua, aliran Mu’tazilah meyakini “free will and free act” yang berarti manusia dapat berbuat sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Untuk mendamaikan kedua aliran tersebut, Asy’ariyah menyatakan bahwa manusia hanya bisa berusaha saja dan yang menentukan adalah Allah SWT, karena Dialah sang khaliq (pencipta) dari perbuatan manusia (Rozak dan Rosihan, 2006: 147).

Mengenai ganjaran atas perbuatan manusia yang akan diterima di akhirat nanti. Asy’ariyah pada dasarnya berpandangan sama dengan aliran Mu’tazilah yaitu sama-sama berpandangan bahwa Tuhan itu maha adil.

Akan tetapi, yang membedakannya adalah Tuhan tidak berkewajiban untuk berbuat adil seperti yang Mu’tazilah yakini. Dengan kata lain, Tuhan memiliki kebebasan mengganjar perbuatan manusia terlepas dari baik dan buruknya sesuai dengan kehendak-Nya.

Khusus pada aliran Maturidiyah tentang konsep kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia dibagi menjadi dua bagian. Hal ini dikarenakan dalam aliran Maturidiyah sendiri terpecah menjadi menjadi dua kubu, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pada kedua aliran tersebut terdapat sedikit perbedaan dalam memandangnya.

Menurut Maturidiyah Samarkand, kekuasaan Tuhan dibatasi oleh keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan yang dimaksud adalah bahwa Tuhan itu maha baik, yang berarti Tuhan tidak dapat berbuat buruk kepada manusia dan manusia dapat berbuat sesuai dengan kehendaknya.

Maka dari itu Tuhan tidak akan berbuat sewenang-wenang dalam menghukum manusia, karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Jadi bisa disimpulkan bahwa Tuhan akan memberi ganjaran sesuai dengan perbuatan manusia (Hasan Zaini, 1996: 61).

Sedangkan Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan yang absolut. Tuhan dapat berkehendak sesuai dengan keinginan-Nya, serta tidak ada sesuatu apapun yang dapat menghentikannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan Tuhan yang absolut itu merupakan bentuk dari keadilan Tuhan itu sendiri (Hasan Zaini, 1996: 62).

Kemudian untuk perbuatan manusia, Maturidiyah Bukhara beranggapan kurang lebih sama dengan Maturidiyah Samarkand. Kemudian Maturidiah Bukhara menambahkan, dalam perbuatan manusia terdapat dua perwujudan daya yang menyertainya, yaitu dari Tuhan dan manusia. Manusia hanya mempunyai daya untuk berbuat, hanya jika Tuhan mengizinkannya. Karena Tuhan menciptakan daya yang ada pada manusia.

Lebih lanjut, menurut Fazlur Rahman (1980: 28), manusia memiliki kebebasan dalam berbuat dan bertindak. Akan tetapi manusia memiliki kewajiban dalam mempertanggung jawabkan kebebasannya yang diberikan oleh Tuhan, dengan melakukan perbaikan tatanan sosial yang bermoral di muka bumi ini.

Sedangkan menurut Harun Nasution (1973: 87) mengatakan bahwasanya manusia bebas dalam perbuatannya. Manusia memang bebas akan tetapi ia tidak akan bebas mutlak. Ia terbatas pada hukum alam yang telah diciptakan Tuhan.

Demikian pandangan para ahli ilmu kalam atau teolog Islam tentang hubungan perbuatan manusia dan kuasa Tuhan.

Sumber bacaan:

Al-Syahrastāniy, al-Milāl wa al-Nihāl, Beirût: Dār al-Fikr, t.th., 1987.

Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, 2006.

Fazlur Rahman,  Tema-tema Pokok Al-Qur’an, 1980.

Harun Nasution, Falsafat Agama, 1973.

Harun Nasution,  Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah analisa Perbandingan, 1986.

Hasan Zaini, Tafsir Al-Marâghî; Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam, 1996.

Leave a Response