Diskursus tentang kepemimpinan perempuan kembali menjadi perbincangan di publik. Hal itu karena semakin ke belakang, perempuan makin menemukan ruang untuk mengekplorasi dirinya. Jika dulu perempuan hanya berurusan dengan dapur, sumur, dan kasur maka hari ini sudah tidak demikian. Hari ini perempuan juga bisa berperan dalam urusan-urusan domestik bahkan juga urusan publik.

Sekadar menyebut nama, Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia kelima, Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jawa Timur, Sri Mulyani sebagai Menteri Keungan Republik Indonesia, Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia dan sederet nama lainnya.

Namun demkian, ruang publik bagi perempuan tidak selalu berjalan mulus. Ada saja beberapa sandungan dan batu kerikil yang kerap menghalanginya. Batu sandungan itu adalah argumen keagamaan yang konon menegasikan terhadap peran perempuan di ruang publik.

Argumen keagamaan tersebut dibangun atas sebuah hadis Nabi yang terekam dalam beberapa sumber utama dalam ilmu hadis. Berdasarkan hadis itu, dalam produk fikih sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab kuning mulai tingkatan ula seperti Fath al-Qarib, Wusta seperti Fath al-Muin dan ulya seperti Fath al-Wahhab, perempuan dilarang menjadi pemimpin. Salah satu tumpuan utama adalah pelarangan tersebut adalah hadis yang diriwayatkan sahabat bernama Abu Bakrah.

Hadis tersebut adalah:

Dari Abu Bakrah: dia berkata: Sungguh Allah telah menganugerahi keberkahan bagiku dengan sebuah kalimat yang aku pernah dengar dari beliau. Setelah aku hampir saja bergabung dengan peperangan Jamal dan aku akan memerangi mereka. Kalimat itu adalah, “ketika Rasulullah menerima informasi tentang suksesi kepemimpinan kerajaan Persia yang mengangkat putri Kisra sebagai ratu, Nabi bersabda: Tidak akan bahagia kaum yang menyerahkan urusannya pada seorang perempuan”.

Berdasarkan hadis di atas, ulama muhadistin terdahulu seperti misal al-Khatib menyebut bahwa perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin (amir) dan hakim (qadhi). Fakta inilah yang mendorong penulis untuk mengelaborasi polemik soal kepemimpinan publik perempuan.

Bukan hanya karena hadis tersebut masih bersifar multitafsir akan tetapi karena fakta politik menunjukkan hal yang paradoksal, yakni di mana perempuan sudah mulai diamanati urusan-urusan publik seperti soal kepemimpinan.

Secara matan, hadis tersebut dengan tegas memberi penegasan tentang ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin dalam ranah publik, seperti hakim atau jabatan negara dalam berbagai tingkatannya seperti presiden, perdana menteri, khalifah, imam dan lain-lain.

Keterangan seperti itu adalah yang sering dikemukakan ulama mutaqaddimin. Alasan mereka jelas bahwa untuk ranah kepemimpinan publik ada satu syarat yang harus dipenuhi yaitu, al-Dzukurah, sifat laki-laki. Misalnya, ulama al-Khattabi berpendapat bahwa perempuan tidak boleh dan tidak sah menjadi seorang pemimpin (al-Imarah) dan kadi (al-Qadhi). Begitu pula al-Syaukani yang menyebut bahwa perempuan tidak memiliki kecakapan leadership, sehingga ia tidak boleh menjadi pemimpin publik dalam sektor apa pun.

Namun demikian, ketika ditelaah dalam konteks sabab al-Wurud, sebagaimana dicatat oleh Imam al-Bukhari dan para mukharrij lainnya bahwa hadis tersebut adalah sikap Nabi terhadap kejadian, yang infonya dibawa prajurit yang datang dari wilayah Persia pada tahun 9 Hijriyah. Raja yang bergelar Kisra itu, meninggal tanpa adanya putra mahkota.

Meninggalnya sang raja tanpa putra hingga masyarakat menotbatkan Bawran sebagai ratu (al-Mulk) menggantikan sang ayah. Penting diketahui, raja Persi ini adalah salah satu raja yang merobek-robek surat yang dikirim oleh Rasulullah, yang isinya mengajak untuk masuk Islam.

Mengetahui sabab al-Wurud sebuah hadis sangat penting dalam memahami maksud sabda Nabi. Tujuannya adalah agar pemahaman yang didapatkan kompresehensif dan tidak ahistoris. Dalam sebuah kaidah ushul fiqh:

اَلْعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ الَّسَببِ لَا بِعُمُوْمِ اللفظ

“Yang menjadi pegangan adalah partikular sejarah kelahiran teks bukan ke-umuman redaksi teks”.  

Kaidah di atas hendak menjelaskan bahwa kajian historis—asbab al-Nuzūl—mempunyai peran cukup sentral memperdekat bentangan jarak historis antara masa teks agama diproduksi dengan realitas sosiologis masyarakat sekarang.

Kaidah tersebut sebenarnya menjadi antitesa dari kaidah lain yang berbunyi:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللفظ لَا بِخُصُوْصِ الَّسَببِ

“Yang menjadi pegangan adalah keumuman redaksi teks bukan sejarah kelahiran teks”.

 

Bersambung …

Leave a Response