KH. Abdul Wahid Zuhdi adalah ulama kharismatik asal Kabupaten Grobogan. Beliau pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Fadllul Wahid Bandungsari, Ngaringan, Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Dilahirkan di Widang, Tuban, Jawa Timur, pada Senin, 17 Agustus 1959/13 Shafar 1379 H, dari pasangan KH. Muhammad Zuhdi dan Hj. Khodijatul Kubro. Semasa kecil dikenal “nakal”, tapi sekaligus telah menunjukkan diri sebagai anak yang sangat cerdas.

Kiai Wahid—begitu beliau biasa disapa— menimba ilmu atau nyantri di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang asuhan Allahu yarham KH. Maimoen Zubeir (Mbah Moen). Menurut penuturan kawan karib Kiai Wahid semasa nyantri, KH. Abdun Nasir Badrus dari Kediri, Kiai Wahid adalah sosok santri yang cerdas dan tenanan (tekun, bersungguh-sungguh). Semangat ta’lim wa at-tarbiyah-nya sangat tinggi.

“(Kiai Wahid) mati-matian demi ilmu, mati-matian demi masa depan, dan mati-matian demi kiai,” tutur KH. Abdun Nasir Badrus saat menyampaikan sambutan pada acara Haul KH. Abdul Wahid Zuhdi ke-IX di Pondok Pesantren Fadllul Wahid pada tahun 2017 lalu.

Selain itu, masih menurut KH. Abdun Nasir Badrus, Kiai Wahid adalah (salah satu) santri yang disenangi dan dibanggakan oleh Mbah Moen.

Tahun 1981, Kiai Wahid melanjutkan perjalanannya nyantri ke Makkah al-Mukarramah.  Di Makkah, Kiai Wahid berguru kepada beberapa ulama, antara lain Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Mâlikiy Al-Hasaniy, Syaikh Muhammad Yâsîn al-Fâdânî, Syaikh Ismâ’îl Zain al-Khadhrami al-Yamani, dan Syaikh Abdullâh al-Lahjiy.

Selepas menimba ilmu di Makkah, Kiai Wahid meminang—tepatnya dipinangkan oleh Mbah Moen—putri Kiai Muhamad Muslih, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ma’ruf Bandungsari, Ngaringan, Grobogan. Kiai Muslih adalah teman karib KH. Maimoen Zubeir.

Sepeninggal Kiai Muslih, Kiai Wahid menerima amanah melanjutkan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Ma’ruf Bandungsari. Hingga kemudian Kiai Wahid mendirikan pondok pesantren sendiri yang dikenal dengan nama Pondok Ngangkruk.

Setahun setelah mendirikan Pondok Ngangkruk, Kiai Wahid wafat. Kiai Wahid pergi untuk selama-lamanya menghadap Allah Swt pada Selasa, 10 Juni 2008/16 Jumadil Akhir 1429 H pada usia 49 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Desa Bandungsari. Untuk mengenang jasa dan perjuangan Kiai Wahid, Pondok Ngangkruk akhirnya diubah namanya menjadi Pondok Fadllul Wahid.

Semasa hidupnya, Kiai Wahid dikenal sebagai sosok yang mendedikasikan hidupnya pada ilmu dan agama. Para santrinya sangat merasakan totalitas dedikasi Kiai Wahid dalam mendidik dan mengkader para santri yang ahli ilmu dan amal.

Kiai Wahid semasa hidupnya dikenal memiliki tradisi literasi yang kuat, yang kemudian juga ditularkan kepada para santrinya. Selain sangat menguasai kitab-kitab turats, Kiai Wahid juga meninggalkan sejumlah kitab atau karya tulis karyanya yang di antaranya dijadikan sebagai mata pelajaran wajib di lebih dari 10 pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kitab-kitab tersebut di antaranya: Mandzumah fi ilm al-Nahw (nahwu), Faidlu Dzil Jalâl (sharaf), Al-Manhal al-Adzb al-Fâ’idl fi ilmil Farâ’idl (faraid), dan Mandzûmah fi ilm al-Ushûl (ushul fikih).

Kitab yang disebut terakhir, yaitu  Mandzûmah fi ilm al-Ushûl, merupakan sebuah kitab nadzam tentang ushul fikih. Kitab ini belum rampung ditulis Kiai Wahid, namun Kiai Wahid keburu wafat. Akhirnya, kitab tersebut diteruskan oleh santri beliau yang bernama Kiai Muhammad Sokhi yang sekarang menjadi pengasuh Pondok Ngampel, Kunduran, Blora.

Kitab tersebut berisi 115 nadzam, meliputi 57 nadzam hasil gubahan Kiai Wahid, sisanya 58 nadzam merupakan penambahan dan penyempurnaan oleh Kiai Muhammad Sokhi. Ini sekaligus menunjukkan keberhasilan Kiai Wahid dalam mengkader keilmuan sekaligus menularkan tradisi literasi kepada santrinya.

Santri Kiai Wahid lainnya, KH. Habibul Huda—yang menjadi menantu sekaligus penerus kepengasuhan Pondok Pesantren  Fadllul Wahid, juga dikenal memiliki tradisi literasi yang kuat buah dari gemblengan Kiai Wahid. Alumnus Fakultas Syariah dan Perundang-undangan Universitas Al-Ahgaff, Tarim, Hadhramaut, Yaman ini telah menerbitkan sejumlah karya, antara lain: Tuhfah al-Ahbab Syarh Kifayah at-Thullab fi al Qowa’id al Fiqhiyyah, Al-Khulashoh as-Safiyyah Dirosah Tatbiqiyyah fi al-Isthilahat al Fuqoha’ as-Safi’iyyah, dan I’anah an-Nahidl Syarh al-Manhal al’Adzb al-Fa’idl fi Ilmi al-Faro’idl. Ketiganya ditulis dalam Bahasa Arab.

Selain dalam Bahasa Arab, KH. Habibul Huda juga menulis buku-buku dalam Bahasa Indonesia, antara lain: Suluk Santri Tarekat, Ajaran Tarekat Syadziliyah Pondok PETA Tulungagung; Tradisi Manaqiban Warga Nahdliyyin Perlu Ditingkatkan; dan Fathul Wahab Karya Imam Zakariyya Al-Anshari dan Pengaruhnya Terhadap Fikih Syafi’i.

Selain itu, KH. Habibul Huda juga menerjemahkan kitab berbahasa Arab dalam bahasa Indonesia, antara lain terjemah kitab Al-Qaul Al-Mubin fi Tajhizi Al-Mauta Al-Muslimin (Tata Cara Mengurus Jenazah Muslimin). Produktivitas KH. Habibul Huda dalam berkarya tulis menjadikan Prof. Habib Abdullah bin Muhammad Baharun, Rektor Universitas Al-Ahgaff Hadhramaut Yaman, menjulukinya sebagai Sang Musannif (Sang Pengarang Buku).

Selain Kiai Muhammad Sokhi dan KH. Habibul Huda, banyak santri Kiai Wahid yang memiliki tradisi menulis. Sebuah tradisi yang diteladankan oleh Kiai Wahid dan kemudian diikuti oleh sejumlah santri-santri.

Semasa hidup, selain mengasuh santri, beliau juga aktif di struktur kepengurusan PWNU Jawa Tengah sebagai Wakil Rais Am Syuriah hingga akhir hayatnya. Kiai Wahid juga aktif di tarekat sebagai pembimbing Jama’ah Thariqah As-Syâdziliyyah dengan ribuan pengikutnya yang tersebar di tiga kabupaten, yaitu Grobogan, Blora, dan Demak. Juga memiliki kepedulian sosial dengan mendirikan panti yang menampung ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) yang ditemukan di jalanan. (Diolah dari berbagai sumber).

 

Leave a Response