Judul: Green Deen, Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam
Penulis: Ibrahim Abdul-Matin
Cetakan: ke-1, November 2012,
Penerbit: Zaman, Jakarta
Hal: 318 + indeks
Hasrat dan ambisi manusia untuk memamah dan merambah nyaris tanpa batas. Segala sesuatu kita ambil dari bumi. Konsumsi berlebihan pun merusak keseimbangan alam: tanah kehilangan nutrisi, cadangan air menyusut dan tercemari, hingga lapisan atmosfer menipis dan berlubang di sana-sini. Bukankah kita sendirilah yang sudah dan akan merasakan dampak buruk kerusakan itu?
Belakangan, kenyataan ini banyak diobrolkan di ruang seminar dan media massa. Namun, sudahkah hal ini jadi kesadaran yang dapat mengubah perilaku kita sehari-hari?
Buku ini mengajak kita sebagai orang beragama untuk memeriksa ulang hubungan kita dengan air, sampah, energi, dan makanan sehari-hari, serta apa dampak dari sikap dan perilaku kita terhadap semua itu bagi kelestarian bumi dan keseimbangan alam. Abdul Matin memperkenalkan istilah green deen (agama hijau), sebuah cara untuk mengamalkan agama kita seraya menguatkan sinergi antara agama dan lingkungan. Karena agama amat berperan dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang, ia menggali nilai-nilai etik agama yang menggerakkan pemeluknya untuk memelihara bumi dan menyelamatkannya dari kerusakan.
Sebagai muslim, Abdul Matin meyakini bahwa Islam adalah agama hijau yang ramah lingkungan itu. Menurutnya, ada 6 prinsip dasar agama hijau itu. Pertama, memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tawhid). Bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari sumber yang sama dari ciptaanNya. Maka dengan memelihara alam sama dengan memelihara diri sendiri.
Kedua, melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di mana saja. Pernahkah kita melihat terbitnya fajar dari ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat, kemudian kita merasa takjub? Itulah tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Dengan mencerap bahwa segala sesuatu yang berada di sekitar kita merupakan pesan dan tanda-tanda Tuhan maka kesadaran akan tumbuh bahwa kita memiliki keterhubungan satu sama lain.
Ketiga, menjadi penjaga (khalifah) di bumi. Sebagai penghuni bumi, kita diperintahkan Tuhan untuk menjadi wakil-Nya dalam melestarikan dan memelihara alam. Kita diperbolehkan memakai segala fasilitas yang ada dengan syarat menjaganya dengan baik. Karena saat kita sudah tidak menjadi penghuninya kita akan dimintakan pertanggungjawaban.
Keempat, menjaga kepercayaan Tuhan (amanah). Janji kita kepada Tuhan untuk menjaga dunia yang kita tempati harus ditepati karena Tuhan telah mempercayakan kepada kita. Kelima, berjuang menegakkan keadilan (a’dl). Yakinilah bahwa apa pun yang kita lakukan akan berpengaruh pada lingkungan kita. Kita akan adil kepada alam dengan tidak mengeksploitasinya. Keenam, menjalani kehidupan yang selaras dengan alam (mizan), dengan cara kita menjaganya dan alam pun akan menjaga kita.
Setelah mengulas prinsip agama hijau itu, Abdul Matin juga mengupas secara detail pola-pola hidup yang bertentangan dengan prinsip tersebut. Sebagai contoh, pola konsumsi berlebihan–membeli barang-barang kemudian membuangnya. Ini, menurutnya, menciptakan banyak timbunan sampah limbah yang menjadi beban bagi tempat-tempat pembuangan akhir dan menguras habis sumber daya.
Islam, lanjut Matin, sangat menentang limbah: Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada saat-dan-tempat salat; makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan, (karena) sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS al-A`raf: 31).
Islam juga menghargai siklus hidup dan mendorong manusia melakukan hal yang sama. Nabi Muhammad pernah mengatakan, “Muslim akan selalu mendapat pahala sedekah bila menanam pohon dan menebar tanaman, lalu burung, manusia dan hewan-hewan makan dari tanaman itu.”
Isu limbah ini dijadikan judul pertama dari empat bagian dalam buku. Ia meliputi perilaku konsumsi yang berlebihan, gerakan hijau sebagai tanggapan terhadap perilaku konsumtif, membangun muslim hijau dan masjid hijau. Kedua, energi. Terdiri dari energi yang berasal dari neraka, energi yang berasal dari surga, efisiensi dan pekerjaan hijau, hidup tanpa aliran listrik. Ketiga, Air. Mengupas air adalah sumber kehidupan, limbah beracun dalam air kita, dan keajaiban wudu. Keempat, makanan, termasuk makanan untuk keluarga.
Menarik sekali, di bagian empat ini diselipkan cerita tentang Ridwan dari Indonesia yang tinggal di Manhattan (Hal 232). Matin mengakui dirinya terpikat dengan Indonesia, karena Ridwan bercerita bahwa di negeri ini ia bisa mendapatkan makanan halal dan sayuran segar dengan mudah. Bahkan, ia bisa menyembelih hewan ternak terdekat kapan pun ia mau. Hal ini berbeda dengan kondisi dan kehidupan masyarakat Amerika yang melakukan peternakan dalam skala besar (Factory Farming). Prosesnya tidak menggunakan cara-cara yang halal.
Buku ini juga diselingi testimoni teman-teman penulis yang bercerita tentang bagaimana mereka pertama kali sadar akan kelestarian lingkungan. Matin sendiri bercerita bagaimana ia pertama kali sadar lingkungan dan menjadi pecintanya. Saat itu usianya baru 5 tahun. Suatu hari, ayahnya mengajak jalan-jalan anak laki-lakinya berlibur ke Bear Mountain, sebelah utara New York. Ketika mereka dalam perjalanan, ternyata tiba waktunya Asar.
Ayahnya berhenti dan bermaksud shalat di tempat tersebut. Matin kecil dan saudaranya heran dan bertanya di manakah ayahnya akan melaksanakan shalat. Sang ayah lalu menunjuk ke sebidang tanah dan kemudian shalat di situ. “Di mana pun kamu berada saat waktu shalat tiba, kerjakanlah shalat. Sebab, bumi ini adalah masjid,” kata sang ayah dengan mengutip hadis Nabi.
“Sejak perjalanan mendaki gunung itu, saya lalu merenungkan betapa keramatnya bumi. Seluruh planet ini bisa menjadi tempat beribadah kepada Penciptanya. Siapa pun boleh bersujud di atas rumput, di atas pasir, di atas gunung, ataupun di ladang jagung. Karena merupakan sarana untuk mencapai Tuhan, maka planet kita penting untuk dilindungi,” tuturnya menyadarkan kita semua.
Bersama Bangun Surga di Bumi
Ajakan Martin dalam buku ini amat relevan dengan kondisi masyarakat Tanah Air yang majemuk. Menurutnya, komunitas agama apa pun perlu bersatu dan menjadi sumber kekuatan bagi gerakan lingkungan. Penganut semua agama bisa menjadi para pembela bumi. “Saya ingin mempertemukan kaum muslim dengan para pemeluk agama lain, bukan untuk memperdebatkan kerumitan teologi, tapi untuk meyakini bersama-sama bahwa secara kolektif, dilandasi rasa keagamaan masing-masing, kita bisa bekerjasama melindungi planet ini,” tegas Penasihat Kebijakan di Kantor Walikota New York untuk masalah-masalah sustainabilitas ini.
Kerja antariman ini memberikan pesan bahwa konsep penjagaan bumi dapat mendorong kaum beriman untuk terlibat dalam gerakan antariman tanpa harus mengakui satu “keyakinan” yang sama (hal 92). Dengan kerja antariman ini, diharapkan lingkungan akan hijau dan subur, manusianya pun rukun dan makmur. Dalam hal ini, Matin tak hanya memberi ajakan tapi juga teladan. Ia bergabung dengan Interfaith Center di New York. Organisasi ini mengajak banyak orang dari berbagai latar agama untuk bersama-sama mewujudkan keadilan lingkungan. Setelah membaca buku ini Anda pun akan terinspirasi untuk menirunya di lingkungan Anda masing-masing.[]