Kalis Mardiasih dan Esty Dyah Imaniar: Dua Muslimah Inspiratif- Sejarah penulisan dari masa ke masa melulu dipenuhi oleh penulis laki-laki. Dalam berbagai tema, penulis perempuan seakan terpinggirkan, seolah kehilangan tempat dalam sejarah. Di dunia internasional ataupun dalam skala Indonesia, kita kesulitan untuk melafalkan nama-nama penulis perempuan sebanyak penulis laki-laki.

Wabilkhusus dalam terma Islam, nama yang bakal kita jumpai dalam kolofon buku mayoritas adalah laki-laki. Kita dapat mengambil contoh mengenai buku-buku keislaman di Indonesia. Siapa nama penulis buku keislaman yang mentereng dan karyanya banyak disebut? Buya Hamka, Quraish Shihab, Azyumardi Azra, Nadirsyah Hosen? Lantas, di mana keberadaan penulis-penulis perempuan?

Untunglah, belakangan dunia penulisan—khususnya tema-tema keislaman dan perempuan—semarak dengan kehadiran penulis-penulis perempuan yang bukan hanya sekadar menulis, tapi konsisten dalam menyuarakan ide-ide mereka mengenai sekian problematika kehidupan, lebih detailnya soal masalah keperempuanan dan keislaman di Indonesia.

Dalam kesempatan ini, saya hendak memperkenalkan dua nama: Kalis Mardiasih dan Esty Dyah Imaniar.

Kalis Mardiasih, penulis cum aktivis kelahiran Blora, 16 Februari 1992 itu adalah salah satu penulis perempuan paling produktif Indonesia saat ini. Tulisannya telah banyak dipublikasikan di berbagai media.

Tema tulisan Kalis berfokus pada isu keperempuanan dan dakwah kekinian. Ciri khas tulisan Kalis adalah kelugasan dan ketegasannya manakala menyampaikan suatu pendapat atas isu tertentu. Ia rajin membawa data, tahu ke mana harus berpihak, dan kerap membawakan pendapatnya dengan gaya yang santai, sehingga mudah diterima berbagai kalangan.

Umpamanya dalam esai “Perempuan yang Sekolah Tinggi Memang Tidak Berminat Menikahi Akhi-Akhi Cupet” yang termuat dalam Muslimah yang Diperdebatkan (2019). Dengan santai, bernas, dan mengena ia menyindir orang-orang—terutama para lelaki berpikiran patriarkis—yang memandang miring para perempuan berpendidikan tinggi. Masih banyak tulisan Kalis yang memiliki cita rasa semacam itu.

Sejauh ini Kalis telah menerbitkan empat buku yang secara umum membahas topik keperempuanan dan keislaman. Buku-buku tersebut berjudul Berislam Seperti Kanak-Kanak (2019), Muslimah yang Diperdebatkan (2019), Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar! (2019), dan Sister Fillah, You’ll Never be Alone (2020).

Selain itu, Kalis juga masih rutin menulis kolom yang tayang di berbagai media dan menulis potongan-potongan gagasannya atas berbagai isu via akun media sosial pribadinya. Ia juga sering menjadi pembicara dalam seminar yang membahas tema kedudukan perempuan dalam Islam. Dengan seabrek produktivitas pada usia yang relatif muda, kita tentu bisa berharap Kalis akan memunculkan karya-karya hebat lainnya pada masa mendatang.

Nama kedua, Esty Dyah Imaniar mungkin tak sepopuler Kalis. Namun, menyangkal keberadaannya dalam penulisan tema perempuan dan Islam tak ubahnya menolak keberadaan semut di sarang semut.

Ia berada satu jalur dengan Kalis dalam hal tema penulisan. Bedanya, tulisan-tulisan Esty terlihat lebih personal dan langsung menohok pada sasaran tertentu. Ia kerap menyindir akhi-akhi atau ukhti-ukhti yang menurutnya salah dalam menafsirkan suatu dalil agama.

Esty juga sering menulis esai otokritik, misalnya dalam esai-esai yang terhimpun di buku teranyarnya Wanita yang Merindukan Surga (2019). Ia memaparkan catatan kritisnya atas orang-orang yang mengaku hijrah dan lantas mendapuk diri seolah ukhti-ukhti paling baik sedunia.

Ia pun berani menggugat dan mempertanyakan apa-apa yang jarang orang perhatikan. Antara lain mengenai keanehan dalam lirik lagu syar’i, anggapan bahwa Sayyidah Aisyah adalah seorang feminis, hingga soal eco fashion islami..

Sebagaimana tulisan Kalis, tulisan-tulisan Esty lazim hadir dalam bentuk pop. Dan ke-“pop”-an itulah yang menjadi keunggulan Kalis dan Esty dibanding penulis-penulis perempuan lainnya. Tentu saya tidak bermaksud mengunggulkan penulis tertentu untuk menegasikan penulis yang lain, akan tetapi poin tersebut perlu digarisbawahi untuk menunjukkan bahwa metode tertentu dapat lebih efektif dan menjangkau lebih banyak pembaca.

Esty telah merilis buku kumpulan esai berjudul Wanita yang Merindukan Surga (2019). Buku itu sejenis dengan Muslimah yang Diperdebatkan karya Kalis Mardiasih. Dua buku tersebut dapat dibaca sebagai pengantar untuk memahami seluk-beluk problematika muslimah Indonesia kiwari.

Kita berharap keberadaan Kalis dan Esty dapat menginspirasi perempuan-perempuan Indonesia lain untuk berani mengemukakan pendapatnya melalui tulisan. Sebab, masih banyak hal yang perlu disuarakan oleh perempuan-perempuan Indonesia, khususnya perempuan muslimah. Jangan sampai beragam isu yang ada saat ini melulu dipenuhi oleh perspektif laki-laki yang rawan dengan pandangan patriarkis dan misoginis. Penulis perempuan mesti ambil bagian. (*)

Leave a Response