Selama masa pandemi Covid-19 berlangsung, banyak pihak yang mengkhawatirkan akan adanya kluster baru di lingkungan pondok pesantren. Pasalnya, pada saat sama semua pendidikan formal menghentikan proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dan menggantinya dengan sistem daring.
Dengan mengadaptasikan fenomena covid-19 yang tidak memungkinkan untuk berkumpul dalam jumlah orang yang banyak, mayoritas pesantren melakukan kegiatan belajar seperti biasanya. Seolah-olah seperti sedang tidak terhadi pandemi.
Dengan kata lain, pesantren tetap melakukan aktivitas seperti biasa seperti KBM dengan tatap muka, sorogan, bandongan, dan shalat berjamah, pengajian kolektif, dan kegiatan lainnya. Diakui atau tidak, praktik demikian akan berpotensi menjadikan pesantren menjadi kluster baru penyebaran covid-19.
Pesantren memiliki kekhasan tradisi dan lingkungannya. Dalam merespon kebijakan Pemerintah mengenai penerapan kebiasaan baru di era pandemi, tentu, dengan melihat realitas kebiasaan yang terbangun bertahun-bertahun akan terbata-bata dalam menerapkannya.
Misalnya, perasaan para kiai pengasuh pesantren yang notabene biasa melayani umat, merasa sungkan apabila melarang masyarakat untuk sowan (bertamu) kendati tujuannya baik yakni untuk silaturrahmi. Contoh lagi, ketika menghadiri undangan tertentu dari masyarakat sekitar yang mengharuskan kiai datang ke acara yang diselengggarakan. Belum lagi lingkungan pesantren yang kebanyakan tanpa gerbang, rutinitas keluar masuk dari internal maupun eksternal pesantren pun sulit untuk dihindari.
Setelah beberapa bulan pandemi berlangsung, kejadian yang patut disesalkan pun terjadi. Lingkungan pesantren benar-benar menjadi kluster baru penyebaran covid-19. Kabar buruknya, tidak sedikit kiai, bu Nyai, dan ustadz pesantren yang wafat akibat dari terjangkit covid-19. Kendati angka pesantren yang terjangkit virus corona masih terbilang jauh dari jumlah keseluruhan pesantren, namun hal itu menjadi bukti bahwa pesantren juga termasuk rentan penyebaran virus.
Melihat realitas tersebut, maka harus ada beberapa sikap dan langkah yang harus diambil pesantren dalam rangka mengadaptasi kebiasaan baru di masa pandemi covid 19 sekarang ini. Sikap dan langkah ini mungkin bisa diambil oleh pemangku kebijakan di pesantren agar kegiatan belajar mengajar di pesantren tetap berjalan sebagaimana biasanya.
Jika kegiatan pesantren diliburkan dan melakukan KBM daring, maka akan terjadi masalah baru yang tak kalah peliknya. Yang paling utama mungkin minimnya sarana prasarana yang dimiliki pesantren dalam menyelenggarakan KBM daring. Termasuk juga tentang kurikulum pesantren yang dalam cakupannya lebih luas dari hanya sekadar transfer of knowledge menjadi kendala internal pesantren.
Berdasarkan hal itu, kegiatan belajar di pesantren harus terus berjalan, sehinga pandemi harus direspon secara bijak oleh kalangan pesantren itu sendiri. Berikut ini paling tidak ada 7 langkah yang bisa menjadi pertimbangan pesantren dalam menangani covid-19:
Dalam merespon pandemi dengan mengadaptasi kebiasaan baru, pesantren harus bersikap terbuka. Memiliki kesadaran penuh, bahwa covid-19 bukanlah sebuah aib, yang juga selayaknya disikapi seperti penyakit yang lain. Sikap inklusif dari pesantren bisa diwujudkan dalam melakukan koordinasi intens kepada pihak pemangku kebijakan.
Misalnya dalam bidang kesehatan bisa berkoordinasi dengan pihak Puskesmas dan Satgas Covid-19 di daerah sekitar pesantren. Koordinasi intens dan berkala dengan cara pelaporan sigap jika ada salah satu santri, ustad, karyawan, serta kiai dan keluarganya yang merasakan indikasi gejala-gejala virus corona seperti merasakan demam, batuk, sesak napas, dan hilangnya indera penciuman dan perasa. Koordinasi dengan puskesmas bisa dilakukan secara berkala, pengurus melaporkan keadaan kesehatan santri, bisa mingguan, lebih bagusnya harian.
Selain itu, pengurus pesantren juga dapat berkoordinasi dengan Ketua RT/RW, kepala desa, maupun camat. Dan yang tidak kalah penting adalah juga berkoordinasi dengan pihak Kementerian Agama selaku pemangku kebijakan terkait lembaga pesantren.
Terkait sarana prasarana, hal pertama yang perlu disiapkan adalah ruang kesehatan untuk santri. Sebuah ruang yang representatif untuk isolasi dan recovery kesehatan bagi santri yang mengalami sakit, baik santri yang merakan gejala covid maupun tidak.
Ruang yang disiapkan tentu harus sesuai dengan ketentuan ruang isolasi covid-19, jadi tidak perlu ideal. Ruang yang perlu disiapkan ialah ruang yang memiliki ventilasi yang bagus, ada jendelanya. Tidak lupa diberi kipas angin yang arahnya menghadap ke jendela atau angin yang arahnya keluar ventilasi. Dan yang perlu diperhatikan, ruang kesehatan ini merupakan ruang yang tersendiri, yang jangkauannya tidak memungkinkan untuk dipakai santri lain yang dalam keadaan sehat.
Ruang recovery ini penting, karena nanti jika ada santri yang sakit bisa digunakan untuk isolasi. Fungsinya, penyakit yang diderita santri tidak berpotensi menular cepat ke santri yang lain. Dalam masa isolasi santri yang sakit, ada baiknya, jika makan, minum dan gizinya terpenuhi.
Dalam hal ini, harus ada pengurus yang benar-benar memperhatikan khusus untuk santri yang sedang sakit. Satu hal yang harus diperhatikan, jika santri yang sakit mengindikasikan gejala virus corona, maka perlu segera ada penganan khusus.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sarana gerbang, tidak perlu yang bagus, tapi harus ada penanda dan penjaga, terkait keluar masuknya orang ke lingkungan pesantren. Santri yang sudah masuk di area pesantren, minimal mereka sudah melakukan rapid tes terlebih dahulu, dan dipastikan dalam keadaan sehat.
Dalam hal ini, pengurus pesantren bisa memberi pengertian kepada wali santri tentang penutupan sementara sambangan (kunjungan) datang ke pesantren. Sambangan bisa juga diubah dengan cara virtual, misalnya melalui video call atau secara kolektif melalui aplikasi Zoom.
Bagaimanapun, sambangan tidak bisa seratus persen ditiadakan. Hal ini karena wali santri juga bisa merasa khawatir dan ingin juga meluapkan rindu kepada anaknya di pesantren. Sedangkan masalah pembayaran bisa dilakukan dengan metode transfer atau bekerjasama dengan pihak bank terkait.
Bagi seluruh warga yang masuk dalam lingkungan pesantren, seyogyanya, melakukan tes kesehatan, minimal melakukan rapid tes terlebih dahulu. Walaupun rapid tes akhir-akhir ini validitasnya dianggap kurang begitu akurat, namun setidaknya ada upaya untuk melakukan cek kesehatan melalui rapid. Kecuali untuk santri yang memang dalam keadaan kurang sehat, tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam lingkungan pesantren. Sebaiknya diminta istirahat dulu di rumah masing-masing.
Hal lain, yang perlu diperhatikan adalah, ustad yang mengajar di pesantren diharapkan muqim (tinggal) di pesantren. Sedangkan bagi ustad yang tidak muqim di pesantren harus melakukan KBM di tempat yang terbuka dan sang ustad ketika mengajar harus memakai masker dan face shield, dan juga harus dipastikan kesehatannya.
Untuk masalah belanja makanan sehari-hari, hendaknya pesantren bekerjasama dengan bakul sayuran dari pedagang. Bagian dapur jangan sampai keluar untuk belanja dipasar, tapi kebutuhan belanja makanan baiknya disetori harian oleh pedagang, yang pengambilanya di gerbang pesantren.
Dalam kegiatan belajar mengajar perlu dikurangi porsi jam belajarnya. Pengurangan itu nantinya digunakan untuk kegiatan olahraga dan berjemur di pagi hari dengan durasi sekitar satu setengah jam. Kegiatan ini bisa dimanfaatkan untuk senam atau berjemur sambil dengan diisi hafalan pelajaran, sholawatan bersama di ruang terbuka, lapangan.
Juga ada baiknya, jika proses belajar dibuat semenarik mungkin dan minimalisir tugas yang bisa berpotensi membuat stres santri. Hal ini karena mafhum diketahui, bahwa stres bisa menurunkan imunitas mereka.
Poin ini tidak kalah penting dan menjadi syarat utama untuk melakukan kegiatan di pesantren. Kebiasan baik ini sangat perlu ditradisikan oleh warga pesantren, khusus di masa pandemi ini. Memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, diadaptasikan di pesantren dengan disesuaikan dengan sarana yang ada.
Misalnya, bisa dengan cara memperbanyak kran untuk mencuci tangan, pengadaan masker dari pesantren, atau mewajibkan santri untuk selalu membeli persediaan masker. Selain itu juga menjaga jarak dari semua kegiatan yang ada di pesantren, seperti saat shalat berjamaah, proses KBM, dan lainya.
Makanan pesantren yang lazimnya alladzy fii (baca: seadanya) harus mulai diubah dengan memasak makan-makanan yang bergizi. Seperti halnya perbanyak menu sayur, buah, dan kalau perlu disuplai dengan multivitamin untuk memenuhi asupan gizi harian para santri. Di samping itu, menu makanan mulai diatur sedemikian rupa, sehingga warga pesantren gizinya terpenuhi, yang tujuan utamanya adalah menjaga imunitas tubuh.
Poin terakhir ini nampaknya sangat mudah diterapkan di pesantren, karena sudah termasuk menjadi tradisi santri yang telah mengakar. Hanya saja, yang perlu disisipkan adalah menyiapkan mental santri melalui mujahadah. Memberi pengertian kepada santri bahwa ini semua berasal dari Allah dan semua akan kembali kepada Allah. Dan tidak ada yang sia-sia apapun yang berasal dari Allah.
Jika dalam hal asupan gizi untuk meningkatkan imun, maka dengan memperbanyak mujahadah bisa meningkatkan iman. Di samping itu, santri-santri juga seraya mendoakan untuk segenap Bangsa Indonesia agar kuat dalam menghadapi massa pandemi ini.
Melalui mujahadah santri juga diharapkan pandemi covid-19 segera berlalu. Berharap pula Allah memberi pertolongan kepada kita semua dengan mengangkat segala cobaan akibat virus tersebut. Dan akhirnya kita semua bisa hidup dengan normal kembali seperti sedia kala. Amin. Wallahu A’lam.