Pegunungan Kendeng adalah rahim bumi yang banyak manusia bernaung di bawahnya. Ia merupakan salah satu sumber daya alam yang berharga bagi Indonesia. Perempuan-perempuan di sekitarnya adalah subyek yang menggerakan aktivitas interaksi dengan alam lewat kerja “domestik”.

Mereka: memasak; mencuci; memandikan anaknya; berternak; mengairi sawah; bercocok tanam, semua berkat pasokan air yang terkandung dalam kars pegunungan Kendeng. Ia, tak ubahnya semacam “Ibu Bumi”, yang memberi kehidupan, memberi kecukupan hidup, dan pengayom.

Dan kita tahu, pegunungan Kendeng kaya akan kars, telah menggoda para investor untuk mengeksploitasinya. Tepat di tahun 2006 lalu, sebuah perusahaan semen berencana mendirikan pabrik di sekitar pegunungan Kendeng. Para warga sekitar pegunungan Kendeng lantas gelisah tak terkecuali perempuan Kendeng.

Perempuan Kendeng adalah perempuan yang tinggal di sekitar pegunungan Kendeng. Kegelisahan dari perempuan Kendeng, setidaknya tersirat sebagaimana bait-bait senandung doa mereka:

Ibu bumi wis maringi

Ibu bumi dilarani

Ibu bumi kang ngadili

La ilaha illallah, Muhammadur rasulullah

Ibu bumi sudah memberi

Ibu bumi disakiti

Ibu bumi yang mengadili

La ilaha illallah, Muhammadur rasulullah

Bait-bait ini seolah menjadi sebentuk “doa” dan perlawanan dari perempuan Kendeng atas upaya eksploitasi terhadap ibu bumi (pegunungan Kendeng). Memang, secara fisik, perempuan memiliki kekuatan yang tak seberapa dengan laki-laki. Dan juga perempuan memiliki sikap pembawaan yang kalem dan mudah menangis. Kendati demikian, hal itu tak dijumpai pada perempuan Kendeng. Sejak muncul wacana pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng, para perempuan juga turut berjuang dalam penolakan eksploitasi.

Kiprah perempuan Kendeng dalam aksi tolak tambang pabrik semen begitu berarti. Gerakan perempuan pertama di nakhodai oleh seorang perempuan bernama Gunarti. Pada sebuah kesempatan Gunarti berujar: “Perjuangan bapak-bapak perlu diimbangi dengan perjuangan ibu-ibu. Jika ibu-ibu tidak paham perjuangan ini, bisa saja ibu-ibu malah melemahkan perjuangan bapak-bapak”.

Gerakan perempuan Kendeng yang berupaya melindungi ibu bumi menjadi semacam sebuah gerakan ekofeminisme. Menurut Erlanda (2013), ekofeminisme merupakan gerakan feminis yang mengusung kesetaraan dalam menyelamatkan lingkungan. Gerakan ini berupaya menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan dengan berbasis feminitas/perempuan. Perempuan dianggap memainkan peran strategis dalam upaya mencegah atau setidaknya menciptakan lingkungan alam yang nyaman dan asri.

Istilah ini muncul kali pertama oleh Francoise D’Eaubonne dan semakin dikenal seiring maraknya protes dan aktivitas penentangan perusakan lingkungan hidup yang memicu bencana ekologis. Perempuan sejatinya memiliki kepekaan yang lebih kepada alam. Seperti kata Starhawk, menurutnya, perempuan memiliki sifat tubuh yang unik. Seperti menyusui, kehamilan, menstruasi. Karena itu, perempuan mengetahui cara yang tidak dapat diketahui laki-laki, bahwa manusia satu dengan alam.

Dalam kasus gerakan penolakan tambang semen pegunungan Kendeng, gerakan penolakan didominasi oleh perempuan Kendeng. Aksi gerakan perempuan Kendeng untuk mempertahankan kelestarian alam meliputi: demonstrasi, longmarch sepanjang 20 Km, hingga puncaknya aksi mengecor kaki di depan Istana Negara. Gerakan perempuan Kendeng, tak hanya sebatas gerak ekofeminisme saja. Saya menangkap adanya desir religiusitas dari gerakan tersebut.

Apa yang dilakukan perempuan Kendeng, saya rasa tengah menggugah kesadaran kita ihwal “iman dan syukur”.  Sebagaimana kata Irfan Afifi, bahwa jauh sebelum ia menjadi kata yang sering dilawankan dengan kata “kufur”, pada mulanya kata “iman” justru adalah sinonim dari kata “syukur” (Irfan Afifi, 2020). Dan “syukur” adalah lawan kata “kufur”.

Orang dicap tidak bersyukur atas karunia-Nya termasuk di dalamnya atas sumber daya alam dikatakan adalah orang yang kafir atau kufur, alias “menutup” dan “mengingkari” diri dari karunia-Nya, alih-alih berterima kasih atas anugerah tersebut.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: ‘Jika kamu bersyukur, akan kuberi kamu (karunia) lebih banyak lagi. Tapi jika kamu tiada bersyukur, sungguh, siksaan-Ku amatlah dahsyat. (Q.S. Ibrahim 14:7).

Iman, sebagaimana meminjam istilah dari Irfan Afifi, dapat diartikan sebagai sebentuk kesadaran bahwa seluruh anugerah Allah atas kehidupan di bumi ini dari sudut tauhid kita sungguh benar-banar berasal dariNya, dan manusia dituntut untuk berterima kasih, serta sesuai mandat kekhalifahannya, diperintah merawat dan mengelolanya dengan cara bijak untuk kepentingan kemanusiaan dengan visi luas dan panjang dalam frame tauhid.

Sedangkan orang kafir mulanya adalah orang yang menolak visi “syukur”. Bumi dengan segala isinya merupakan anugerah yang telah memberi kehidupan layaknya seorang “ibu”. Gerakan perempuan Kendeng menjadi semacam resolusi konflik yang berkecamuk antara korporasi pabrik semen dengan warga pegunungan Kendeng.

Para perempuan Kendeng hanya berupaya menyelesaikan konflik melalui cara yang “feminim”. Mereka mengingatkan kita bahwa praktik mengelola bumi selama ini berjalan dengan langgam mengeruk ketimbang merawat; membenci ketimbang mengasihi; menarik batas ketimbang merangkul; mengeksploitasi ketimbang menumbuhkan. Segala bentuk perlawanan gerakan perempuan Kendeng dilakukan dalam bingkai “welas asih” tanpa ada rasa agresif terhadap pihak-pihak yang berkepentingan.

Gerakan perlawanan perempuan Kendeng sekali lagi hanya ingin menarik kita kembali memeluk ajaran “ibu bumi” tantang sikap merawat dan mencintai, karena bagaimanapun alam telah mengasihi kita, layaknya seorang ibu yang mengasihi anaknya. Hal ini berkaitan dengan konsepsi Jawa “Memayu Hayuning Buwana” sebagai bentuk menjaga keseimbangan alam. Ada kehidupan mikro kosmos “jagad alit” sebagai pandangan untuk individu dan makro kosmos “jagad ageng” sebagai langkah memandang kehidupan individu dengan alam semesta.

Para perempuan Kendeng adalah “petani perempuan” yang menggantungkan hidupnya pada sawah, air, dan pegunungan Kendeng. Pemberontakan yang dilakukan para perempuan Kendeng sejatinya, telah terekam dalam sejarah, bahwa petani memang sering tergusar oleh industrialisasi.

Mungkin Soekarno akan menangis menyaksikan para petani kita hari ini tidak sedang beranjak dari kondisi kemelaratannya. Kerakusan manusia begitu materialistik, menimbun kacamata spiritualistik manusia. Bumi hanya dipandang sebagai materi yang seenaknya di eksploitasi dan mementingkan keuntungan ketimbang kemaslahatan.

Apakah harus “Ibu Bumi Kang Ngadili” baru manusia-manusia itu tersadar?

sumber gambar ilustrasi: ejatlas.org

Leave a Response