Amina Wadud adalah seorang cendekiawan perempuan muslim yang lahir tanggal 25 September 1952 di Maryland, Amerika. Ketertarikan kajiannya fokus pada penafsiran Alquran khususnya terhadap ayat-ayat yang sering dipahami mendiskreditkan perempuan. Ia melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat tersebut.

Yang menarik, ia dilahirkan dari keluarga Kristen yang taat. Bahkan, ayahnya adalah seorang pendeta. Ketertarikannya terhadap spiritualitas Timur membawa dia kepada Islam. Sebelum mantap memeluk Islam, ia sempat menganut agama Budha selama setahun.

Di tahun berikutnya, ia mulai membaca tentang Islam dan ia menemukan dirinya begitu terkesan dengan Alquran. Ia mempelajari Alquran secara otodidak. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi seorang muallaf. Peristiwa itu terjadi ketika ia berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Pennsylvania.

Pada tahun 1975, Amina Wadud menyelesaikan pendidikan sarjananya dalam bidang sains. Namun, karena ketertarikannya terhadap Alquran, setelah lulus, ia pergi ke Libya untuk mempelajari bahasa Arab.

Sekembalinya dari Libya, ia sempat bekerja, hingga akhirnya meneruskan pendidikannya pada jenjang magister. Kali ini, ia mengambil jurusan Studi Ketimuran yang fokus pada Kajian Islam dan Bahasa Arab di Universitas Michigan hingga jenjang doktor yang diselesaikannya tahun 1988.

Pada saat itulah, Amina Wadud tertarik pada tema perempuan dan Islam. Ketertarikannya pada tema ini karena ia memandang ada ketidaksesuaian hak antara lelaki dan perempuan muslim. Pandangan tersebut adalah implikasi dari penafsiran-penafsiran sebelumnya yang sangat bias gender.

Oleh karenanya, Ia menulis disertasi yang berjudul Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Disertasi ini kemudian diterbitkan di Malaysia tahun 1992 menjadi sebuah buku dengan judul yang sama. Bersamaan dengan itu, ia bekerja sebagai asisten profesor dalam bidang studi Alquran di International Islamic University Malaysia tahun 1989-1992.

Buku Qur’an and Women mendapat sambutan yang luar biasa hingga banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Arab, Turki, termasuk Indonesia.

Penafsirannya yang progresif terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan dalam Alquran menyadarkan masyarakat muslim tentang kesetaraan gender. Ia menyuarakan suara perempuan dalam penafsiran Alquran sebagai respons atas penafsiran yang bersifat patriarki selama ini.

Buku ini mendapatkan resisten karena dianggap mengusik otoritas laki-laki. Buku ini bisa menjadi sumber perlawanan bagi budaya patriarki yang sudah sangat mengakar.

Padahal, Amina Wadud dalam menyuarakan keadilan gender, bertolak dari Alquran yang dipahami ulang melalui perspektif yang berbeda. Ia meyakini bahwa Islam sangat adil terhadap perempuan, tetapi realitas penafsiran menunjukkan sebaliknya. Oleh karena itu, ia menawarkan cara pandang baru.

Penafsiran yang dilakukan Amina Wadud adalah produk tafsir yang bercorak feminis. Maka tak salah, jika ia dikenal sebagai pejuang keadilan gender. Dalam memahami suatu ayat, ia menggunakan hermeneutika sebagai metode penafsiran. Metode yang ditawarkannya kemudian dikenal dengan istilah hermeneutika feminis.

Sebenarnya, Amina Wadud mengadopsi metode penafsiran yang lebih dahulu diajukan oleh Fazlur Rahman yang dikenal dengan double movement. Metode tersebut berangkat dari realitas masa kini yang kemudian dikembalikan ke zaman saat Alquran diturunkan untuk memahami konteks awal. Setelah itu, ditarik kembali ke masa kini dengan mengambil spirit etis atau ideal moral yang berlaku universal.

Metode itu pula yang ditempuh oleh Amina Wadud untuk memahami ayat-ayat yang berbicara tentang perempuan dalam Alquran. Ia berpatokan pada sebuah keyakinan bahwa Alquran memuat prinsip kesetaraan untuk semua manusia tanpa memandang gender, ras, dan suku.

Satu-satunya hal yang membedakan umat muslim di mata Allah adalah tingkat ketakwaan masing-masing individu bukan dilihat dari jenis kelamin.

Sementara itu, ada satu fase yang mengubah pikiran Amina Wadud dari yang hanya berkutat dengan teori dan teologi menuju aktivisme dan realitas. Itu terjadi ketika ia menjalin hubungan dengan para perempuan dalam komunitas Sisters in Islam di Malaysia.

Ia menyadari perlunya sebuah gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender yang berbasis Alquran. Sejak saat itu, ia mengidentifikasi diri sebagai seorang feminis Islam.

Gerakan Amina Wadud tak jarang menimbulkan kontroversi. Tentu, yang paling diingat adalah ketika ia memimpin salat Jumat di St John the Divine, New York tahun 2005. Makmumnya terdiri atas laki-laki dan perempuan. Perilaku ini menimbulkan banyak kecaman dari ulama-ulama di dunia Islam.

Walaupun demikian, Amina Wadud dengan segala buah pikir dan aktifitasnya telah memberikan wacana dan perspektif baru terkait dengan perempuan dan Islam. Penafsirannya yang progresif menjadi angin segar bagi kesadaran terhadap keadilan gender dalam Islam. ia telah mmembuat reformasi sosial terhadap perempuan.

 

Sumber: Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam, London: Oneworld Publications, 2006.

Leave a Response