Rohana Kudus, Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia

Gerakan emansipasi perempuan secara perlahan berhasil mengubah stigma tentang perempuan yang disebut hanya layak berada di dapur (untuk menyajikan makanan), sumur (untuk mencuci pakaian), dan kasur (untuk menunaikan kewajiban).

Telah masyhur bahwa pelopor gerakan emansipasi perempuan adalah Raden Ajeng Kartini yang terkenal dengan karyanya Habis Gelap Terbitlah Terang; namun di zaman Raden Ajeng kartini, juga terdapat seorang pejuang perempuan yang tidak boleh diabaikan.

Dia bernama Rohana Kudus. Nama aslinya Siti Rohana, akhiran ‘Kudus’ diperoleh dari sang suami yang bernama Abdul Kudus. Rohana Kudus menikah pada usia 24 tahun.

Perempuan kelahiran 20 Desember 1884 ini merupakan kakak tiri Sutan Sjahrir (Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama), Mak Tuo-Bibi-dari Chairil Anwar (Seorang Sastrawan pelopor Angkatan 45), dan sepupu dari Haji Agus Salim (Duta Besar Republik Indonesia yang pertama).

Dari sini dapat diketahui bahwa Rohana Kudus memang hidup dikelilingi orang-orang hebat. Salah satu prestasi gemilang Rohana Kudus adalah menjadi Jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Hebatnya lagi, semua prestasi yang diraih oleh Rohana Kudus tanpa sekalipun mencicipi pendidikan formal.

Rohana Kudus seharusnya menjadi contoh bagi siapapun yang merasa putus asa karena tak pernah bersekolah atau merasa tak berguna sebab selama sekolah tak memiliki prestasi apa-apa. Selama keinginan dan semangat itu masih dikandung badan, maka mereka tak akan kehilangan kesempatan.

Para penulis kenamaan telah mengungkapkan bahwa tulisan-tulisan yang baik dihasilkan dari bacaan-bacaan yang baik pula. Artinya, siapapun yang ingin menulis harus banyak membaca terlebih dahulu. Hal inilah yang dialami oleh Rohana Kudus sebelum menjadi seorang penulis kondang.

Sejak usia 6 tahun Rohana Kudus sudah gemar membaca, bahkan ia membaca dengan suara yang sangat lantang sebab saking menikmatinya. Saat itu, Rohana Kudus dijadikan anak angkat oleh seorang Jaksa Alahan Panjang.

Ibu angkatnya yang mengajarinya membaca saat di Alahan Panjang belum ada Sekolah Rakyat dan belum ada satupun anak yang bersekolah. Di dalam buku Rohana Kudus: Riwayat Hidup dan Perjuangannya karya Tamar Djaja bahkan dijelaskan bahwa semua buku di rumah orang tua angkatnya telah habis dibaca semuanya.

Ketika berusia 8 tahun, Rohana Kudus meninggalkan Alahan Panjang karena mengikuti sang ayah berpindah tugas ke Simpang Tonang Talu Pasaman. Di sini, Rohana Kudus tetap rajin membaca, meskipun kini ia membaca sendiri berbekal kemampuan membaca dari ibu angkatnya.

Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah Belanda, sehingga ayahnya sering membawakan majalah-majalah berbahasa Belanda sebagai bahan bacaan untuk sang putri tercinta. Dari sang ayah, Rohana Kudus dengan cerdas menguasai kemampuan baca-tulis, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Melayu, dan berhitung. ­

Lama-kelamaan, Rohana Kudus mulai mempelajari politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa dari majalah-majalah tersebut. Pendidikan Rohan juga tak ditinggalkan olehnya, ia belajar agama secara mendalam dari para ulama di surau (mushalla) dan masjid.

Modal membaca dan pengajaran orang tualah yang membuat Rohana Kudus menguasai ilmu pengetahuan, bukan dari sekolah dasar. Inilah yang disebut home schooling. Rohana Kudus memang tak pernah menyentuh bangku pendidikan formal, tapi tekad dan perhatian orang tua adalah faktor sentral yang dapat mengubah segala hal.

Di usia 17 tahun, sang ibu meninggal dan ayahnya menikah lagi. Rohana Kudus memilih kembali ke kampung halamannya (Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat) dan tinggal bersama neneknya. Tahun 1908-usia 24 tahun-Rohana Kudus menikah dengan Abdul Kudus yang bekerja sebagai seorang notaris. Sang suami turut berperan dalam memberikan dukungan kepada Rohana Kudus untuk memperjuangkan nasib perempuan yang pada masa itu dianggap manusia kelas dua.

Demi memperjuangkan nasib perempuan, Rohana Kudus memiliki mimpi agar kelak ia dapat mendirikan surat kabar khusus perempuan. Keinginan tersebut merupakan buah dari kesenangannya membaca buku.

Di usia 28 tahun-tepatnya pada tahun 1912-Rohana Kudus mencoba melakukan negosiasi dengan Dt. St. Maharaja, Pimpinan surat kabar Utusan Melayu. Rohana Kudus meminta agar surat kabar Utusan Melayu menyediakan rubrik khusus yang mengulas masalah perempuan. Pimpinan surat kabar Utusan Melayu sangat tertarik dengan usulan Rohana Kudus, sehingga ia langsung menemui Rohana Kudus di Koto Gadang.

Berawal dari ini, terjadi kesepakatan untuk mendirikan surat kabar khusus perempuan yang akan dipimpin langsung oleh Rohana Kudus. Tepat pada tanggal 10 Juli 1912 telah berdiri surat kabar khusus perempuan dengan nama Sunting Melayu yang terbit tiga kali dalam seminggu. Lewat Sunting Melayu, Rohana Kudus mengungkapkan gagasannya tentang kebobrokan sebuah bangsa yang membatasi ide-ide perempuan.

Tulisan-tulisan Rohana Kudus juga dipuji banyak orang, sebab narasi dan deskripsi tulisannya sama sekali tidak menunjukkan bahwa Rohana Kudus tidak pernah menempuh pendidikan formal. Beberapa tulisannya telah dimuat di berbagai surat kabar seperti Saudara Hindia, Perempuan Bergerak, Radio, Cahaya Sumatera, Fajar Asia, Mojopahit, Guntur Bergerak, dan Suara Koto Gadang.

Tak hanya itu, Rohana Kudus juga dinobatkan sebagai Wartawati pertama di Indonesia pada tahun 1974 yang diberikan oleh Pemerintah Sumatera Barat. Sementara itu, Menteri Penerangan memberikan penghargaan kepada Rohana Kudus sebagai Perintis Pers Indonesia pada tahun 1987 dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional.

Surat kabar Sunting Melayu juga telah mencatatkan sejarahnya sendiri. Sunting Melayu disebut sebagai surat kabar perempuan pertama di Indonesia karena pimpinan redaksi, penulis, dan redakturnya-semuanya-diisi oleh kaum hawa. Rohana Kudus ­benar-benar telah berhasil membuktikan pada dunia bahwa dunia tulis-menulis tidak hanya milik para pria, tetapi juga bisa dimiliki para perempuan.

Gagasan pokok Rohana Kudus dalam emansipasi perempuan adalah peneguhan fungsi alamiah perempuan yang berupa pendidikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Rohana Kudus tidak memaksa perempuan harus sama dengan laki-laki. Sebab sampai kapan pun laki-laki dan perempuan tak akan pernah sama.

Perbedaanlah yang membuat laki-laki dan perempuan bisa bersatu. Hanya saja, perlu ada yang diubah; yakni pendidikan dan perlakuan yang layak terhadap perempuan. Gagasan ini dibuktikan oleh Rohana Kudus sejak ia masih kecil. Di usia 8 hingga 10 tahun, Rohana kecil menjadi seorang guru untuk teman-teman sebayanya.

Rohana mengajarkan baca-tulis, baik pada teman laki-laki maupun perempuan. Sang Ayah mendukung kebaikan hati putrinya dengan membelikan perlengkapan menulis dan dibagikan secara gratis kepada teman-teman Rohana.

Seiring perjalanan waktu, Rohana juga mengajarkan cara membaca Alquran, cara memasak, dan cara menjahit yang diperoleh Rohana dari neneknya. Hebatnya, semua hal ini dilakukan dengan sukarela dan hati gembira. Bahkan dalam sejarah kependidikan bumi pertiwi, belum ditemui seorang gadis kecil berusia 10 tahun yang membuka sekolah terbuka seperti itu dan tanpa dipungut biaya.

Perjuangan Rohana Kudus dalam dunia pendidikan tidak berhenti sampai di situ, pada tanggal 11 Februari tahun 1911 (di usia 27 tahun) Rohana Kudus mengundang 60 Bundo Kota Gadang (tokoh masyarakat) dengan tujuan ingin menyampaikan gagasan pendirian tempat pendidikan khusus para perempuan Koto Gadang.

Semua tokoh masyarakat setuju dan kagum dengan visi serta misi yang disampaikan oleh Rohana Kudus. Akhirnya, tempat pendidikan tersebut resmi berdiri dengan nama perkumpulan Kerajinan Amal Setia (KAS) yang secara mufakat memilih Rohana Kudus sebagai ketuanya.

Lambat laun KAS berkembang menjadi institusi pendidikan dan lembaga keterampilan bagi perempuan. Selanjutnya, semakin berkembang lagi menjadi usaha dagang hasil produksi perempuan. Secara keseluruhan, KAS telah menjadi basis pendidikan yang cukup pesat perkembangannya dalam memberdayakan kaum perempuan.

Sayangnya, di tahun 1916 Rohana Kudus dituduh oleh seseorang yang tidak ingin KAS berkembang sebagai seorang koruptor. Rohana Kudus harus menjalani sidang beberapa kali dan tuduhan tersebut tidak terbukti sama sekali. Rohana Kudus kembali ditawari untuk memimpin KAS, tetapi ditolak secara halus dengan alasan ingin pergi ke Bukittinggi.

Di Bukittinggi, ia mendirikan sekolah lagi yang diberi nama Roehana School. Setiap hal yang bermula, pasti akan menua. Di tahun yang ke-88 dan pada tanggal yang manis-17 Agustus 1972 yang bertepatan dengan HUT Indonesia yang ke 27, Rohana menghembuskan nafas yang terakhir dengan damai. Tanggal ketiadaannya seakan-akan ingin mengumumkan betapa cintanya Rohana kepada tanah airnya.

Akhir kata, sejalan dengan yang disampaikan Christine de Pizan di abad ke-15 bahwa gadis-gadis kecil yang diajari dengan baik akan mampu memahami segala sama baiknya dengan laki-laki.

Sumber: 1) Buku “7 Tokoh Nasional Sumatera Barat di bidang Pendidikan dan Pers” karya Purwanto Putra yang diterbitkan oleh Petualang Literasi, 2) Buku “Roehana Koeddoes: Perempuan Menguak Dunia” karya Fitriyanti yang diterbitkan oleh Yayasan D’nanti Jakarta, 3) Buku “Rohana Kudus: Riwayat Hidup dan Perjuangannya” karya Tamar Djaja yang diterbitkan oleh Penerbit Mutiara Jakarta, dan 4) IDN Times dengan judul “Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto Gadang”.

 

Leave a Response