KH Husein Muhammad atau sering disapa Buya Husein adalah seorang kiai yang vokal dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Ia merupakan pendiri sejumlah swadaya masyarakat untuk isu-isu hak perempuan, antara lain Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute, dan Alimat. Sehingga Husein menerima penghargaan Bupati Kabupaten Cirebon sebagai Tokoh Penggerak, Pembina, dan Pelaku Pembangunan Pemberdayaan Perempuan.

Kiai asal Cirebon ini pernah juga mendapat penghargaan dari pemerintah Amerika Serikat untuk “Heroes To End Modrn-Day Slavery” (2006) dan dianugrahi gelar Doktor Honoris Causa pada 2019. KH Husein Muhammad juga diakui sebagai kiai pesantren pembela perempuan, dan namanya pun tercatat dalam “The 500 Most Influential Muslims” yang diterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center pada tahun 2010-2012 (KH. Husein Muhammad, Perempuan Islam dan Negara: Pergulatan Identitas dan Entitas,320).

KH Husein Muhammad lahir di Cirebon  9  Mei 1953 dari pasangan Nyai Ummu Salma Syathori dan KH Muhammad Asyrofuddin. Husein menikah dengan Lilik Nihayah Fuadi dan dikaruniai lima orang anak. Sejak kecil, Ia berada dalam lingkungan pesantren karena kakeknya yaitu Kiai Syathori adalah pendiri Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.

Husein juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Setelah tiga tahun di sana, tahun 1973 Husein melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an. Kemudian Husein melanjutkan belajar di Mesir, ketika di sana Husein banyak belajar kepada syaikh di Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah dan Dirasat Khasshah. Selain itu, Husein banyak bergaul dengan para pemikir Islam modern dan  pemikir dari Barat.

Tahun 1983, Husein kembali ke Indonesia dan mengembangkan pesantren yang dibangun kakeknya. Sehingga Husein dikenal juga sebagai kiai feminis yang memperjuangkan kesetaraan gender di pondok pesantren. Komitmen Husein dalam membela kaum perempuan, mengantarkannya menjadi komisioner di Komnas Perempuan selama dua periode 2007-2009 dan 2009-2012.

Disinyalir karena pertemuan Husein dengan Masdar F. Masudi yang pada saat itu menjadi ketua P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren), gagasan-gagasan Husein berubah menjadi lebih progresif. Lembaga swadaya tersebut merupakan pelopor dan penggerak pertama dalam upaya memperkenalkan analisis gender di kalangan masyarakat pesantren. Sehingga Husein memperjuangkan kesetaraan gender dengan aksi dan wacananya. (Eni Zulaiha, Analisis Gender dan Prinsip Prinsip Penafsiran Husein Muhammad Pada Ayat-Ayat Relasi Gender, 2)

Sebagai seorang yang sangat aktif dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar baik di dalam maupun di luar negeri, Husein tetap produktif dalam hal menulis dan menerjemahkan buku. Di antara karyanya adalah buku yang berjudul Fiqih Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender, Islam Agama Ramah Perempuan, Ijtihad Kiyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender, Fiqh Seksualitas, Fiqh HIV/AIDS, Mengaji Pluralisme Kepada Maha Guru Pencerahan dan sampai saat ini tulisan-tulisannya bisa jumpai di websitenya huseinmuhammad.net.

Gagasan Pemikiran Husein Muhammad

KH Husein Muhammad dalam menyuarakan keadilan gender memilih strategi dengan cara membuat penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan ilmu fiqih. Melaui karya-karyanya Husein mulai mendongkrak arus ketidakadilan terhadap perempuan. Husein membahas tentang hak-hak dasar perempuan yang selama ini terabaikan, terpinggirkan, atau tertindas oleh sistem kehidupan yang patriarkis.

Dalam buku Kiai Husein Muhammad yang berjudul Fiqih Perempuan, Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender, ia berbicara mengenai gender dan teks-teks agama yang meliputi kepemimpinan dalam shalat, khitan perempuan, kontekstualisasi fiqih munakahat, hak kawin muda, hak memilih pasangan nikah, dan lain-lain. Semua hal tersebut dibahas dengan landasan berfikir ketauhidan, kemudian diturunkan dan dikembangkan dalam norma-norma kemanusiaan seperti kebaikan, kesetaraan dan keadilan.

Eni Zulaiha dalam penelitiannya Analisis Gender dan Prinsip-Prinsip Penafsiran Husein Muhammad Pada Ayat-ayat Relasi Gender, mengemukakan sembilan prinsip Husein Muhammad dalam memahami ayat-ayat relasi gender.

Pertama, Al-Qur’an sebagai kitab hidayah dan rahmat. Menurutnya sudah jelas bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk dan menebarkan rahmat. Artinya bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka bagi setiap manusia di mana pun dan kapan pun. Kedua, memahami Al-Qur’an berarti harus mengetahui konteks dari ayat yang dibahas. Seseorang yang memahami Al-Qur’an, penting untuk mengetahui asbab an-nuzul, makiyyah-madaniyyah, dan muhkam-mutasyabbih.

Ketiga, memahami kondisi bahasa (nafs al-Lughah) Al-Qur’an. Misalnya dengan memahami narasi berita, narasi perintah juga narasi larangan. Narasi perintah atau larangan tidak selalu bermakna kewajiban dan keharaman. Oleh sebab itu narasi-narasi tersebut harus dipahami dengan memperhatikan dilalah yang mendukungnya.

Keempat, ketika memahami Al-Qur’an menurut Husein seseorang harus dengan jelas mengetahui konteks mukhatab (audiens) dan konteks mukhatib (pembicara). Ia harus mengetahui apakah ayat tersebut berkaitan dengan pembahasan akidah, ibadah atau mu’amalah. Ia juga harus mengetahui tradisi, adat istiadat masyarakat Arab dalam berbahasa dan berinterasi ketika ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan.

Kelima, menurut KH. Husein Muhammad, teks Al-Qur’an yang bersifat partikular tidak dapat membatasi teks yang universal. Teks universal adalah teks yang mengandung prinsip-prinsip kemanusiaan untuk semua orang disetiap ruang dan waktu, sedangkan teks partikular adalah teks yang menunjukkan pada kasus tertentu. Teks yang partikular seperti isu-isu kepemimpinan perempuan,  poligami, dan kewarisan harus dimaknai secara kontekstual.

Keenam, penafsiran tidak boleh bertentangan dengan maqasid syari’ah. Dengan prinsip tersebut Husein melakukan penafsiran dengan menggunakan analisa gender. Sebuah tafsir menurutnya harus terhindar dari lima indikator ketidakadilan gender dan harus mengarah pada keadilan gender.

Ketujuh, pemahaman atas teks Al-Qur’an bisa dilakukan dengan menggunakan nalar rasional. Hal tersebut bisa dicermati melalui indikasi sejumlah konteks, isyarat, simbol, perubahan harakat, konteks yang mendahului dan menyertainya, serta hal-hal yang tidak terbatas.

Kedelapan, prinsip Sunnah Nabi sebagai Metode Ijtihad. Sunnah nabi yang dimaksud KH. Husein Muhammad di sini adalah sejarah kehidupan nabi. Ayat-ayat dalam Al-Qur’an banyak yang bersifat situasinonal, sehingga dalam memahmi Al-Qur’an harus memahami kehidupan nabi beserta situasi zamannya. Kesembilan, penafsiran yang berdasar pada prinsip-prinsip agama Islam yaitu keadilan, musyawarah, persamaan, menghargai kemajemukan, bertoleransi terhadap perbedaan dan perdamaian.

Demikian kehadiran KH Husein Muhammad dalam isu-isu kesetaraan gender melalui perspektif fiqih, semakin menambah khazanah tersendiri dalam kajian ke-Islaman kita saat ini. Wallahu a’lam.

Leave a Response