Dalam masyarakat Muslim Indonesia, kesepakatan untuk menjauhi, atau malah membenci, anjing sepertinya sudah begitu mengakar. Meski dasar dari kesepakatan ini masih bisa terus diperdebatkan, namun kebencian sudah kadung menyebar. Karenanya tak heran jika beberapa waktu lalu kita menyaksikan Beedo, seekor anjing di Tangerang, harus meregang nyawa di pucuk senapan angin milik tetangga pemiliknya yang kemungkinan besar, sangat benci anjing.
Meski begitu, tulisan ini tidak akan membahas soal hukum halal-haram mengasihi anjing, pembahasan soal itu –meminjam istilah Hairus Salim—sudah mentok. Mari membahasnya dari sudut pandang yang lebih luas. Sudut yang saya maksud adalah kasih sayang.
Sejarah telah menunjukkan ada banyak kebaikan yang bisa ditimbulkan oleh kasih sayang, termasuk kasih sayang terhadap anjing. Tengok misalnya, kisah seven icons (askhabul kahfi) yang begitu mengasihi anjing hingga ke mana pun mereka pergi, si anjing selalu setia mengikuti. Bahkan ketika mereka tertidur untuk waktu yang sangat lama, si anjing yang dikenal dengan nama Qithmir itu tak pernah beranjak dari mereka.
Lantas, apakah keberadaan anjing menghambat tujuh pemuda ini masuk surga? Tidak. Mereka tetap masuk ke dalam surga tanpa halangan. Bahkan, Tuhan malah memasukkan si anjing ke dalam surga sekalian; sebagai imbalan atas kesetiaan yang telah ia berikan. Tak berhenti di situ, kisah tentang kesetiaannya diabadikan dalam Alquran, di surah al Kahfi, agar menjadi pelajaran untuk orang-orang di sepanjang masa.
Ada pula kisah seorang perempuan pekerja seks yang masuk surga gara-gara menolong anjing. Perempuan ini, dengan jenis pekerjaan yang dianggap hina oleh sebagian orang, nyatanya justru berhasil menunjukkan kasih sayang yang mulia, bahkan mungkin lebih mulia daripada orang-orang yang menghinanya.
Seperti direkam dalam hadis riwayat Bukhari, perempuan pekerja seks ini sedang berjalan di tengah hari yang terik tatkala sepasang matanya melihat seekor anjing yang kepayahan. Dari kejauhan tampak si anjing malang ini kehausan. Ia julurkan lidahnya demi menggapai air, namun usahanya selalu gagal. Si anjing pun tampak semakin lunglai dan jika terus begini, sebentar lagi ia akan mati.
Sang perempuan segera mendekat. Ia lepaskan sepatunya dan menggunakanya untuk mengambil air. Ia berikan air itu untuk diminum anjing. Atas perbuatannya itu, Allah mengampuni dosa-dosanya. Ia pun diganjar surga.
“Telah diampuni seorang wanita pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Dia berkata, ‘Anjing ini hampir mati kehausan’. Lalu dilepasnya sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungm nya lalu diberinya minum. Maka diampuni wanita itu karena memberi minum.” (HR Bukhari).
Di kisah lain, dari kisah pewayangan, disuguhkan kisah tentang Yudhistira yang menolak masuk ke dalam surga lantaran tak boleh membawa ajingnya ikut serta. Baginya, kesetiaan anjingnya harus pula mendapat ganjaran yang setimpal. Haram baginya untuk bersenang-senang sendiri di dalam surga sementara anjing yang selama ini setia menemaninya tak jelas nasibnya. Maka kepada dewa ia katakan, “Dalam ajaran kebenaran (Dharma) telah dijelaskan bahwa meremehkan kesetiaan itu dosanya sama dengan membunuh Brahmana. Oh Bhatara Indra, hamba tidak akan meninggalkan anjing ini hanya karena mementingkan kesenangan untuk diri sendiri saja.”
Dawam Raharjo, cendekiawan Muslim yang dijuluki bintang di langit pemikiran Islam era 1970-an hingga 2000-an ini juga mengabadikan kisah anjing pada keluarga Muslim Indonesia. Melalui cerpen “Anjing yang Masuk Surga”, Dawam berkisah tentang sebuah keluarga Muslim yang memelihara anjing. Awalnya, anjing tersebut hanya difungsikan sebagai penjaga rumah dan binatang ternak, namun kemudian menjadi teman, hingga akhirnya menjadi bagian dari keluarga.
Ketika si anjing ini meninggal, keluarga si pemilik mengkafani, mengubur dan mendoakannya; persis seperti perlakuan kepada manusia yang meninggal. Meski hanya berupa cerpen, namun banyak yang meyakini kisah dalam cerpen tersebut nyata adanya. Nama tokoh hingga alur ceritanya, semuanya nyata. Bukan hasil karangan.
Tokoh-tokoh dalam cerita pendek itu; Usamah, istrinya, dua anaknya; Najib dan Faris, semuanya adalah tokoh nyata. Ada yang menyebut, Usamah ini memiliki nama lengkap Usamah Bahweres asal Pekalongan, Jawa Tengah. Karenanya, ketika menulis cerita pendek ini, Dawam dipercaya sedang berusaha menampilkan fakta lain tentang anjing. Binatang yang dianggap najis namun kisahnya dimuliakan dalam banyak tradisi dan teks keislaman.
Kisah-kisah di atas, yang tentunya hanya sedikit dari banyaknya kisah lain tentang anjing, menjadi rujukan tentang bagaimana bersikap terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan. anjuran untuk lebih berhati-hati tak sama dengan perintah untuk menyakiti. Label najis pada air liur anjing bukan berarti perintah untuk berlaku arogan hingga kesetanan gara-gara salah memahami perintah Tuhan.
Jika tak suka anjing, silakan menjauh. Tak usah berlaku ugal-ugalan hingga melebihi setan. Kasihi saja apa yang telah Tuhan ciptakan, bisa jadi, mengasihi semua ciptaan-Nya adalah tiket untuk sampai ke surga. Bisa jadi.