Jika dilihat selama ini, paparan strategi kampanye baik kampanye pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota sampai Kepala Desa di semua pelosok Nusantara sangat mengusik hati. Karena sangat sedikit sekali yang menyebutkan masalah lingkungan dalam visi misi agenda dalam membangun pemerintahannya.

Padahal semua krisis yang melanda dan mempengaruhi ekonomi dunia pada hakikatnya berasal dari lingkungan misalnya seperti kelangkaan air, pencemaran, polusi udara, perubahan iklim, menyusutnya lahan subur, menipisnya sumber daya kelautan dan perikanan akibat pencemaran dan masih banyak yang lainnya , sebagaimana dijelaskan oleh Jeffrey Sachs dalam bukunya Common Wealth; Economics for a Crowded Planet.

Saat ini, bumi kita kurang lebih dihuni tujuh miliar manusia dan masih akan terus bertambah cepat pada setiap waktunya. Bumi yang sudah sumpek dengan berbagai kerusakan yang ada di dalamnya ini akan semakin sumpek, padahal Tuhan masih menciptakan segala sesuatu kecuali lahan atau lingkungan hidup.

Akan tetapi, lahan atau lingkungan yang seharusnya dirawat dan diberdayakan justru dipertarungkan sebagai komoditas ekonomi , yang mengakibatkan lingkungan menjadi rusak efek eksploitasi lingkungan yang berlebihan atas nama pembangunan ekonomi. Dan sangat ironis sekali ketika kebanyakan pemimpin dan politisi cenderung menganggap remeh masalah lingkungan yang sudah sangat memilukan seperti saat ini, bukan hanya di kota-kota besar saja tetapi juga di pedesaan yang sudah mulai tercemar limbah-limbah industri.

Ketika krisis lingkungan yang sudah jelas-jelas bisa dilihat dengan mata dalam wujud polusi udara, banjir, kekeringan dan lain sebagainya. Hanya ditanggulangi dengan cara-cara yang biasa, sehingga semua harus siap menanggung bencana setiap saat yang akan terjadi.
Banyak pihak yang menyatakan gerakan reformasi di Indonesia telah berhasil menumbangkan otoritarianisme dan pemusatan kekuasaan pada masa orde baru.

Tetapi ada dosa kembar pada era otonomi daerah yang lahir pasca reformasi, tentu bukan sistemnya yang salah akan tetapi pengurasan sumber daya alam dan pemanfaatan sumber daya manusia yang tidak optimal dan berlebihan.

Dosa pertama adalah over-utilization of natural resources atau pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. Di mana menurut agama, bumi dan planet lainnnya dan segala isinya adalah milik anak cucu generasi yang akan datang. Generasi kini hanya meminjam, begitu juga generasi yang akan datang juga hanya meminjam untuk generasi yang akan datang berikutnya dan seterusnya. Akan tetapi, apa yang dilakukan generasi saat ini telah menyabotase masa depan generasi yang akan datang. Meminjam perkataan penyair Remy Sylado; Rumput dimakan sapi, sapi memberi susu, susu diteteki anak, anak keduluan bapak.

Dosa kedua adalah under-utilization of human resources, hal ini tersirat dalam sebuah pleseten terhadap singkatan PAD yang aslinya Putra Asli Daerah menjadi Pendapatan Anggota Dewan. Kasus-kasus korupsi para kepala daerah adalah salah satu bukti bahwa yang menempati posisi-posisi kunci disejumlah Provinsi, Kabupaten, dan Kota serta jabatan strategis lainnya bukanlah manusia-manusia terbaik yang sesuai dengan bidangnya. Begitu juga dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, kadang juga tidak pro dengan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

Hal tersebut juga bisa dikatakan akibat gejala primordialisme yang masih bersandar pada kesukuan, asal-usul, dan kedekatan emosional yang merebak kemana-mana. Nyatanya, hal tersebut telah menunjukkan bahwa mereka sedang mengidap buta huruf lingkungan, yang lebih mengedepankan pembangunan ekonomi dan mengabaikan lingkungan, daripada mensinergikan keberlanjutan keduanya.

Sebagai warga, kita hanya bisa memulai hal-hal kecil agar bumi tidak semakin sumpek dan rusak, setidaknya dalam lingkup lingkungan rumah dalam skala kecil. Sambil berharap segenap pihak dan para pemimpin serta pemangku kebijakan segera sadar dengan dibarengi tekad baru, untuk memulai mengarusutamakan lingkungan hidup dalam pembangunan nasional, termasuk salah satunya adalah pembangunan ibu kota baru.

Karena pada dasarnya, bumi ini tidak butuh penyembuhan, tetapi manusianyalah yang butuh disembuhkan. Sebagaimana dalam ayat Alquran surah Ar-Rum ayat 41 bahwa berbagai bencana yang terjadi bukan semata-mata karena peristiwa alam, tetapi juga ulah tangan manusia;

ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت أيدى الناس ليذيقهم بعض الذي عملوا لعلهم يرجعون

Artinya; “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Oleh karena itulah, manusia sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi ini juga harus sadar bahwa kelestarian lingkungan hidup, juga bagian dari tanggung jawab seorang pemimpin yaitu manusia itu sendiri. Jika dalam salah satu sila dalam Pancasila berbunyi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka menumbuhkan kesejahteraan masyarakat seharusnya tidak boleh mengurangi apalagi menghilangkan kesejahteraan masyarakat lainnya. Kalau dalam fikih ada istilah Ihya’ Al-Mawat yaitu menghidupkan lahan mati, maka dalam menghidupkan lahan mati tersebut juga tidak serta merta mematikan lahan tersebut apalagi mematikan lahan lainnya.

Leave a Response