Momen Idul Adha mengingatkan kita pada satu kisah penuh hikmah yang terjadi antara Nabi Ibrahim dan anaknya yang baru tumbuh menginjak remaja.

Kisah yang masyhur di kalangan umat Islam adalah Nabi Ibrahim, sang kekasih Allah itu muncul sebagai sosok dermawan. Ia tidak ragu mengorbankan seluruh ternaknya untuk membantu masyarakat yang tidak mampu sekaligus melaksanakan perintah Allah.

Suatu ketika ada seorang tetangga yang memujinya bahwa ia adalah sosok yang sangat dermawan dan tidak keberatan mengorbankan harta bendanya. Sebagai manusia Nabi Ibrahim diserang rasa bangga dan senang dengan pujian itu sehingga ia sesumbar.

Seandainya ia memiliki anak dan Allah memintanya untuk dikorbankan niscaya ia akan mengorbankan anaknya untuk membuktikan rasa cintanya pada Sang Pencipta. Saat itu ia belum memiliki anak.

Mungkin saja Allah betul-betul ingin menguji iman dan cinta Nabi Ibrahim. Singkat cerita Nabi Ibrahim memiliki anak yang sudah lama ia idam-idamkan.

Konon usia Nabi Ibrahim pada waktu itu adalah 86 tahun. Cukup tua memang. Akan tetapi Nabi Ibrahim sudah terlanjur berujar dan Allah menagih janji Ibrahim untuk menyembelih anaknya.

Perintah menyembelih itu awalnya turun melalui mimpi. Akan tetapi pada mimpi pertama Nabi Ibrahim ragu apakah perintah itu datang dari Allah ataukah dari Setan. Mimpi itu pun ia abaikan begitu saja. Lalu malam kedua mimpi itu hadir kembali sehingga ia betul-betul yakin bahwa mimpi itu datang dari Allah.

Hari ketiga tiba, dan di hari  itulah Nabi Ibrahim melaksanakan perintah agung dari Sang Maha Agung. Sebagai ayah yang bijaksana Nabi Ibrahim terlebih dahulu meminta pendapat anaknya. Dan, sang anak menyanggupinya.

Ketika pisau pertama kali menempel pada leher anak itu, keajaiban datang. Allah menggantinya dengan seekor domba yang besar. Saat itulah syariat kurban (al-nahr) muncul.

Mayoritas umat Islam, terutama di Indonesia meyakini bahwa anak yang disembelih oleh Ibrahim adalah Ismail, putra Ibrahim dari istri kedua, Hajar. Keyakinan itu tidak salah sebab banyak argumentasi ilmiah yang disampaikan untuk menguatkan sejarah tersebut.

Akan tetapi tidak banyak yang tahu, terutama masyarakat awam, bahwa tidak sedikit pula yang meyakini bahwa anak itu adalah Ishaq, putra Ibrahim dari istri pertama, Sarah.  Perbedaan itu ternyata menjadi kajian serius dalam bidang tafsir dan sejarah. Berbagai argumentasi ilmiah pun mereka ajukan untuk mendukung asumsi mereka.

Pendapat yang mengatakan bahwa “al-Dzabih” (sembelihan) itu adalah Ishaq dikeluarkan oleh para sahabat senior seperti Umar, Ali, Abbas, Ibnu Mas’ud, Ka’b al-Ahbar, Said bin Jabir, Masruq, Ikrimah, Zuhri, Sadi dan seorang ulama bernama Muqatil bin Sulaiman (Al-Razi).

Seorang guru besar para mufasir, Ibnu Jarir al-Thabari juga menegaskan dalam tafsirnya bahwa anak yang disembelih oleh Ibrahim adalah Ishaq. Al-Thabari menegaskan bahwa ketika Ibrahim menerima kabar gembira dari Malaikat, ia merasa sangat senang dan berjanji untuk mengorbankan anaknya, Ishaq ketika Sarah melahirkannya. Lalu pada waktu yang ditentukan Allah menagih janji Ibrahim itu.

Akan tetapi pernyataan al-Thabari itu ditentang oleh banyak ulama. Ibnu Taimiyyah dan dua muridnya, Ibnu Qayyim dan Ibnu Katsir serta mayoritas ulama dan analis sejarah menyimpulkan bahwa anak yang disembelih Ibrahim adalah Ismail. Pendapat ini berdasarkan berbagai argumentasi.

Pertama, fakta sejarah bahwa ketika Ishaq berada di Makkah Ismail sudah terlebih dahulu berada di Makkah. Ka’bah juga sudah ada lebih dahulu karena dibangun oleh Ismail dan Ibrahim.

Kedua, dalam al-Qur’an Ismail dipuji oleh Allah sebagai bagian orang-orang sabar sementara Ishaq tidak (al-Anbiya: 85). Kesabaran yang dimaksud adalah kesabaran ketika hendak dikurbankan.

Ketiga, kabar gembira tentang kelahiran Ishaq muncul setelah kabar gembira kelahiran ghulam halim (anak yang sabar). Hanya saja identitas anak yang sabar itu tidak dijelaskan secara eksplisit (al-Shaffat: 101-112).

Dengan beberapa argumentasi di atas, tampak bahwa Ismail lebih jelas sebagai anak yang disembelih oleh Ibrahim. Memang isu yang menyatakan bahwa Ishaq adalah anak tersebut disampaikan oleh banyak sahabat senior yang memiliki kredibilitas.

Akan tetapi tidak ditemukan dalam buku-buku sejarah maupun tafsir tentang keabsahan data tersebut sehingga pendapat ini tampak sangat lemah dan tidak berdasar. Sebaliknya, Ismaillah yang diyakini sebagai simbol anak yang patuh dan taat kepada ayah dan Tuhannya. Wallahu a’lam bis shawab.

Refernsi:

Al-Razi, Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikir, 1981.

Al-Thabari, Ibnu Jarir, Tafsir al-Thabari, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994.

Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Damaskus: Dar al-Fikr, 2003.

Leave a Response