Dalam menjalani kehidupan terkadang kita merasa bahagia, senang, ataupun terkadang merasa khawatir dan tidak nyaman. Tentunya tidak ada pribadi yang ingin terus menerus merasakan ketidak nyamana dalam manjalani kehidupan. Ketika tengah mendengarkan dan menelaah penjelasan guru saya ketika menjelaskan sebuah kitab berjudul Nashaih al Ibad karya ulama inspiratif Nusantara bernama Syekh Nawawi al-Bantani.

Dalam kitab tersebut disebutkan terdapat suatu perkara ringan, namun sering sekali terjadi pada diri kita, yaitu qaswatul qalb.  Dalam bahasa Indonesia bisa disebut hati keras dan membatu. Sesekali waktu barangkali kita pernah merasakan sulit sekali bersyukur.

Hidup terasa hampa. Banyak keinginan tak kunjung terpenuhi. Akibatnya, hati terasa keras dan membatu. Kesombongan menyelimuti kehidupan dari hari ke hari. Dan saat mendapat nasehat dari saudara, teman, atau kiai sekalipun, kita merasa digurui. Ketahuilah sesungguhnya kita tengah terjangkit penyakit “qaswatul qolb” atau hati yang membatu..

Semakin banyak kemaksiatan kita lakukan sesungguhnya semakin membuat hati kita mengeras dan membatu. Allah Swt. berfirman,

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاء وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya….” (QS. Al-Baqarah: 74)

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata;

القَلْبُ المَيْتٌ القَاسِيُ كاَلشَجَرَةِ اليَابِسَةِ، لاَ يَصْلِحَانِ إِلَا النَار

Hati seseorang yang telah kering dan membatu, ia bagaikan pohon yang meranggas dan mati. Keduanya hanya pantas dilalap api.”

Memang, ada banyak hal yang menyebabkan hati menjadi keras. Qadhi al-Fudail berkata, “Tiga peristiwa yang menyebabkan hati membatu; terlalu banyak makan, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak berbicara”.

Ternyata makan yang berlebihan merusak kesehatan badan. Ibnu Sina, pakar kedokteran Islam generasi awal, berkata, “Perhatikanlah (konsumsi) perutmu sebab sebagian besar penyakit bermula dari makanan yang berlebih”.

Karena itulah,  amalan untuk mencegah kerasnya hati, Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Istirahatnya badan dengan mengurangi makan, istirahatnya lidah dengan mengurangi berbicara, dan istirahatnya hati dengan mengurangi keinginan.

Untuk mengindari qaswatul qolb atau hati yang keras, Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita, antara lain, untuk pandai-pandai bersyukur. Suatu hari, seorang sahabat datang kepada Rasulullah dan berkata:

Akhir-akhir ini aku merasakan hatiku keras, Rasulullah kemudian berkata, “Maukah engkau kuberi tahu cara untuk melembutkannya dan keinginanmu terpenuhi? Sayangilah anak-anak yatim, usaplah kepalanya, berikanlah mereka makanan dari makananmu, niscaya (hal demikian) akan melembutkan hati dan melapangkan rezekimu.” (HR Thabrani).

Maka, ketika kita menjamu yatim, menawarkan mereka makanan terbaik yang kita miliki bukan saja ia melembutkan hati, namun mengantarkan kita pada hadis Rasulullah SAW lainnya, “Aku dan orang-orang yang mengurus anak yatim kelak akan berdampingan seperti dua jari di surga.”

Cara lainnya adalah sering-seringlah berziarah kubur, tentu dengan niat yang benar. Rasulullah Saw. bersabda, “Aku pernah melarang kalian ziarah kubur. Sekarang berziarah. Sebab sesungguhnya ia akan melembutkan hati, melelehkan air mata, dan mengingatkan akherat.” (HR Al-Hakim).

Ziarah kubur dengan tujuan mengingat akhirat adalah hal yang dianjurkan. Dengan mengingat kematian, tersadarlah kita bahwa tak ada yang pantas untuk kita sombongkan.

Selain memperhatikan yatim dan berziarah kubur, hal terakhir yang disebutkan dalam kitab Nashaih al Ibad agar kita terlepas dari kerasnya hati ialah hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. menganjurkan untuk bersegera dalam melakukan setiap kebaikan, hindari kemalasan.

Bahkan, beliau juga pernah sabda, “Sebaik-baik salat adalah di awal waktu.” Rasulullah kemudian mengajarkan kita untuk berdoa, “Ya Allah, aku berlindung padamu dari kelemahan dan rasa malas.

Pepatah berkata, pemalas selalu menanti hari mujur. Padahal, bagi seorang yang rajin, tiap hari adalah hari mujur! Lalu, jika kita tetap merasa banyak keinginan hati yang belum terpenuhi, berbaik sangkalah pada Allah Ta’ala.

Barangkali, ada hak-hak orang lain yang belum kita tunaikan. Boleh jadi, ada makanan tidak halal yang kita konsumsi dalam keseharian. Belajarlah untuk beristighfar sebab azab terberat di dunia adalah ketika Allah telah mengunci lidahmu untuk berzikir dan beristigfar kepada-Nya.

Dalam hal ini Ibnul Qayyim berkata;

 إٍذَا طَالَ عَلَيْكَ وَقْتُ الْبَلاَءِ مَعَ اِسْتٍمْرَارٍكَ بِالدُعاَءِ فَاعْلَمْ أنَ اللهَ لَنْ يُرٍيْد إجَابَةَ دَعْوَتَكَ فَقَطْ ..!! بَلْ يُرٍيْدُ أنْ يُعْطِيْكَ فَوْقَهَا عَطَايَا لَمْ تَطْلًبْهَا أنْتَ

Apabila musibah yang engkau dapatkan panjang sekali, padahal tak pernah berhenti engkau berdoa, yakinlah bahwa Allah tidak saja hendak menjawab doa-doamu itu. Tetapi, Allah hendak memberimu karunia lain yang bahkan engkau tak memintanya.

Dengan memahami penjelasan di atas, semoga kita terhindar dari hati yang keras. Amin.

Topik Terkait: #Amalan#Tasawuf

Leave a Response