Dalam mitologi Yunani, kita pernah mendengar kisah Raja Midas yang mampu mengubah segala sesuatu yang dipegang jadi emas. Kisah masyhur itu tercatat dalam naskah Historia karya Herodotos, dan menjadi dogeng abadi yang dituturkan secara turun-temurun melalui beragam wahana. Termasuk film animasi, Tad the Lost Explorer and the Secret of King Midas (Paramount Classics, 2017) yang mengadopsi kisah tersebut.

Raja Midas, pendiri Ankyra, sebuah kota di lembah atas di Sungai Sangarius dikisahkan mendapat keistimewaan yang luar biasa setelah menyelamatkan Silenos, guru spiritual Dionisos. Atas kebaikannya, Midas dihadiahi satu permintaan.

Midas meminta supaya apapun yang disentuh berubah menjadi emas. Dionisos, putra Zeus itu langsung mengabulkan, meskipun dia menyayangkan mengapa Midas tidak meminta sesuatu yang lebih baik.

Midas sangat senang. Dia menyentuh pohon, batu, termasuk dinding istana dan kolam pemandiannya berubah menjadi bongkahan emas. Midas merasa bahwa kini  ia siap menjadi raja paling kaya di dunia. Imajinasi imperium besar yang bakal ia dirikan menggema di batok kepalanya.

Masalah muncul ketika dia minta pelayan untuk menghidangkan makanan. Ia baru menyadari sajian yang ada di hadapannya tidak bisa dinikmati. Bahkan dia membuat putri dan istrinya sendiri menjadi emas. Midas frustasi. Segala benda yang disentuh menjadi emas ternyata membawa akhir kisah yang tragis.

Ungkapan segala sesuatu yang aku pegang jadi emas dalam realitasnya justru tersemat pada diri sahabat Nabi, Abdurrahman bin Auf. Kisah itu nyata, hanya saja proses dan akhir dari kisah yang membedakan antara Abdurrahman bin Auf dengan Raja Midas.

Pernyataan “Aku melihat diriku kalau seandainya aka mengangkat sebuah batu aku akan mendapatkan emas atau perak.” diungkapkan Abdurrahman bin Auf, karib Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, yang tersertifikasi sebagai penduduk surga.

Bedanya, Abdurrahman bin Auf bukanlah pribadi yang berfikir sempit. Hidup dalam kemewahan dan abai terhadap sekitar. Orang kedelapan yang menyatakan diri sebagai Muslim di hadapan Rasulullah SAW ini, mengungkapkan kalimat itu karena ia bersyukur dianugerahi Tuhan sebagai saudagar genius.

Kisah menarik itu dimulai pada saat Abdurrahman bin Auf ikut hijrah ke Madinah. Seluruh kekayaan yang selama ini dikumpulkan tiba-tiba ‘ludes’ setelah dirampas penguasa Quraisy. Ia datang ke Madinah tanpa membawa harta sama sekali.

Di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan orang-orang muhajirin yang kebanyakan pedagang, dengan orang-orang asli Madinah yang mayoritas petani. Tak terkecuali Abdurrahman bin Auf yang dipersaudarakan dengan seorang hartawan.

Dalam sebuah riwayat diungkapkan Anas bin Malik, ia menyatakan bahwa Abdurrahman bin Auf pernah dipersaudarakan oleh Nabi dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari. Ketika itu Sa’ad Al-Anshari memiliki dua orang istri dan memang ia terkenal sangat kaya.

Lantas ia menawarkan kepada Abdurrahman bin Auf untuk berbagi dalam istri dan harta. Istri Sa’ad akan diceraikan lalu diserahkan kepada Abdurrahman setelah ‘iddahnya.

Mendapat tawaran luar biasa ini, sikap Abdurrahman bin Auf sungguh di luar dugaan.

“Semoga Allah memberkahimu dalam keluarga dan hartamu,” jawab Abdurrahman setelah menerima tawaran.

“Cukup tunjukkan kepadaku di mana lokasi pasar berada,” lanjut dia.

Selama di Madinah, Abdurrahman merintis usaha dari nol. Ia terkenal dengan usaha keju dan minyak samin. Tidak membutuhkan waktu lama, laba perdagangan kian meningkat.

Ia menjadi saudagar lintas negara; dari Yaman, Syam, bahkan tak sedikit barang-barang yang didatangkan ke Madinah konon berasal dari wilayah China.

Abdurrahman bin Auf adalah pedagang yang genius sekaligus cerdik. Ketika pergi ke pasar, ia tak hanya berdagang, namun ia juga mengamati secara cermat. Dari pengamatannya ia tahu, lapak-lapak yang ditempati pedagang itu ternyata milik saudagar Yahudi. Para pedagang berjualan di sana menyewa tanah tersebut, tak jauh berbeda dengan pedagang sekarang yang menyewa kios di mal.

Abdurrahman memiliki ide kreatif, sekaligus upaya memutus hegemoni saudagar Yahudi. Ia meminta tolong saudara barunya untuk membeli tanah yang kurang berharga yang terletak di samping pasar. Tanah tersebut lalu dipetak-petakan. Ada fasilitas sumur. Siapa pun boleh mengambil air dan berjualan di tanah itu tanpa membayar sewa.

Bila mereka mendapat keuntungan dari berdagang di sana, ia mengimbau mereka untuk bagi hasil seikhlasnya. Tentu saja para pedagang gembira karena biaya operasional yang biasa dikeluarkan berkurang banyak. Singkat cerita, para pedagang itu pun berbondong-bondong pindah ke pasar yang dikembangkan oleh Abdurrahman bin Auf.

Sikap mandiri, pekerja keras, dan ulet dalam berdagang, adalah karakter kuat Abdurrahman bin Auf.  Sikap ini tentu menginspirasi penduduk sekitar, hingga seluruh Muslimin yang ada di Madinah bangkit dan bekerja menjadi petani, pedagang, dan buruh.

Tidak ada di antara mereka yang menganggur. Oleh Rasulullah SAW, apa yang dilakukan Abdurrahman dijadikan contoh bagaimana seorang Muslim bangkit.

Besarnya kafilah dagang Abdurrahman bin Auf digambarkan dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas RA. Ketika Aisyah RA sedang di rumahnya, ia mendengar suara gaduh menggema di Kota Madinah.

Aisyah bertanya, “Apa itu?”

Maka dijawab, “(Itu) kafilah unta milik Abdurrahman yang tiba dari Syam, membawa segala macam barang sebanyak 700 unta.”

Ketika bisnis Abdurrahman bin Auf berkembang pesat, Nabi SAW sering berpesan, “Wahai Abdurrahman, kamu sekarang menjadi orang kaya dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Pinjamkanlah hartamu kepada Allah agar lancar kedua kakimu.” (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak).

Abdurrahman lantas menyedekahkan muatannya itu untuk berjihad di jalan Allah. Ia tidak ingin harta bendanya memperlambat langkah kakinya memasuki surga.

Abdurrahman bin Auf mewariskan seribu unta, tiga ribu kambing, seratus kuda yang digembala di Baqi’. Selain itu ia juga bercocok tanam.

Pada masa Nabi, Abdurrahman bin Auf juga menyedekahkan setengah hartanya. Ia lalu bersedekah lagi sebanyak empat puluh ribu dinar. Ia menyerahkan lima ratus kuda dan lima ratus unta. Dalam literatur lain disebutkan, dalam sehari ia memerdekakan tiga puluh budak.

Ketika hendak wafat, Abdurrahman bin Auf menangis tersedu. Sahabat-sahabat yang berada di sekitarnya lantas bertanya, “Beban apa yang membuatmu begitu sedih?”

Abdurrahman menjawab, “Sesungguhnya Mush’ab bin Umair lebih baik daripadaku. Ia meninggal di masa Rasulullah SAW dan ia tidak memiliki apa pun untuk dikafani. Hamzah bin Abdul Muththallib juga lebih baik dariku. Kami tidak mendapatkan kafan untuknya. Sesungguhnya aku takut bila aku menjadi seorang yang dipercepat kebaikannya di kehidupan dunia. Aku takut ditahan dari sahabat-sahabatku karena banyaknya hartaku.”

“Ya Allah, lindungilah aku dari kebakhilan diriku sendiri!” begitulah lafat doa yang sering diucapkan ketika tawaf di depan ka’bah.

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English

Leave a Response