Banyak sebutan untuk bulan Ramadhan. Populer di masyarakat kita: bulan mulia, bulan penuh rahmah, bulan penuh barkah, bulan ampunan, bahkan kita kerap bicara bulan suci. Sebutan yang terakhir, “bulan suci”. Jika kita merujuk teks Alquran dan hadis sama sekali tak ditemukan nomenklatur demikian.

Dalam Alquran kita mengenal, sahrul-hurum, bulan-bulan suci, yaitu Muharram, Rajab, Dzil Qa’dah dan Dzil Hijjah, dan sama sekali Ramadlan tak masuk di sana. Makna dari empat bulan “suci” ini adalah bahwa dalam bulan tersebut terlarang untuk melakukan peperangan sebagaimana tradisi Arab kala itu.

Hemat penulis, populernya “bulan suci” untuk Ramadhan, nampaknya merupakan tafsir akan satu hadis yang berujar bahwa pada bulan diturunkannya Alquran itu setan dibelenggu, tak punya celah untuk menggoda manusia.

Bulan suci Ramadhan artinya bulan suci dari godaan setan. Dari sini kita paham bahwa jika pada bulan Ramadhan akhirnya kita berbuat dosa, maka itu sama sekali tak ada peranan setan, melainkan nafsu kita semata. Innan-nafsa la amaratun bis-syu’i, sesungguhnya nafsu kerap memerintahkan kepada keburukan.

Dalam posisi ini, bulan Ramadhan sepatutnya mengantarkan kita untuk lebih mengenali-diri. Gerak Ramadhan adalah “ke dalam”. Itu sebabnya hadis berujar, “Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan iman dan ihtisab, maka Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya yang terdahulu.”

Landasan dalam hadis ini ada dua: iman dan ihtisab. Ihtisab diambil dari kata hasiba yang artinya menghitung. Maksudnya, menurut saya, adalah menghitung diri, mengintrospeksi diri, mentafakuri diri. Nyaliksik diri nyiaran badan dari segala dosa-dosa terdahulu.

Jika dua hal ini terpenuhi, iman dan ihtisab, janji Tuhan adalah diampuninya semua dosa kita yang pernah terjadi. Sudah tentu, jika puasa tanpa ihtisab maka puasa kita hanya menahan lapar dan haus semata.

Filosofi dari ihtisab adalah seperti puisi. Satu aktifitas perenungan. Satu gerak yang sudi menjelajah ruang batin. Satu usaha memasuki gaung yang bergema dalam jiwa. Bahkan mungkin mencoba menjawab pelbagai tanya yang nyata di sukma.

Ihtisab adalah percakapan dalam batin, dan sama-sekali bukan kegaduhan pengeras suara atau teriakan demonstrasi. Ihtisab lebih utama suara sunyi yang mengusik di relung asyik, ketimbang kegaduhan kehidupan sosial-politik. Ihtisab adalah percakapan dalam sunyi, seperti laku cipta sebuah puisi.

Akhir-akhir ini, kita melihat agama makin mendominasi kehidupan sosial-politik, tapi sekaligus makin menjauh dari perenungan. Agama terlihat lebih menjadi teriakan ketimbang puisi. Kala itu terjadi, agama menjadi makhluk suci tanpa noda dan dipaksa untuk diterima.

Padahal penghuni agama adalah manusia yang sama sekali tak bisa steril dari dosa. Ketika agama menjadi sebuah teriakan, sangat dimungkinkan terisi oleh noda manusia. Maka tak jarang, konflik pun menyeruak. Dan sejarah pun terlalu sesak oleh pertengkaran, bahkan peperangan, atas nama agama.

Momentum Ramadhan, sepatutnya mengajak kita untuk mencari, menjelajah, setapak demi setapak, perjalanan kita sebagai seorang individu dan sebagai anak bangsa. Filosofi ihtisab sepatutnya mengetuk hati dan kesadaran, memungut dosa yang pernah kita lakukan, untuk kita tekadnya dalam perbaikan, demi meraih manusia paripurna dalam membangun baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Dalam hening malam, Ramadhan seketika berpuisi, syairnya yang sunyi mengajak kita untuk cengkrama bersama diri. Jangan-jangan, selama ini kita telah memeran hak Tuhan, merasa benar sendiri, merasa telah menjadi Kebenaran Mutlak, yang benar adalah “kelompok sendiri” sementara orang lain adalah syetan semua.

Atau lupa bahwa kita manusia yang bisa khilaf, bisa lupa, bisa takut. Dengan kesucian Ramadhan, seoalah ia mengajarkan bahwa manusia yang lupa akan kedhoifan diri adalah mereka yang gagal mengakrabi dirinya sendiri.

Para ulama mengajarkan, bahwa tafakur-diri adalah syarat utama meraih takwa. Bukankah takwa adalah tujuan dari puasa kita? Wallahu’alam.

Leave a Response