Kajian terkait dengan wahyu dan ilmu pengetahuan telah lama digagas. Bahkan semenjak masa al-Ghazali, hal itu sudah getol mendapatkan penekanan kajian. Wahyu merupakan bagian dari pondasi syariat. Sementara eksperimen adalah pondasi ilmu pengetahuan. Keduanya, bersifat saling komplemen, namun di sisi lain, bila terjadi kasus sebaliknya, maka ilmu harus tunduk terhadap wahyu. Apalagi, bila ayat yang dijadikan dasar pegangan, tidak menunjukkan adanya penerimaan terhadap ijtihad.

Di dalam sebuah ayat disinggung:

“Kebenaran datangnya adalah dari Tuhanmu (Muhammad), oleh karena itu jangan engkau termasuk orang yang ragu.” (Q.S. Ali Imran [3]: 57).

Ayat ini menegaskan bahwa segala berita yang bersumber atas wahyu, maka itulah yang dinamakan sebagai al-Haq (kebenaran). Oleh karena itu, tidak perlu diragukan lagi. Dengan demikian, wajibnya seorang mukallaf ketika mendengar ayat ini, adalah menerima apa adanya, tanpa protes. Sebab, kebenaran yang datang dari Tuhan, adalah bersifat qath’i (tak terbantahkan). Para sarjanawan Islam di era modern melabelinya sebagai syaria compliency (kepatuhan mutlak syariah).

Sudah barang tentu, yang dinamakan kepatuhan mutlak ini adalah memiliki syarat yang berhubungan dengan nash yang dijadikan acuan. Sebagai contoh dari ayat di atas, latar belakang turunnya ayat tersebut adalah karena persoalan penciptaan Nabi Isa alaihissalam yang dilahirkan dari seorang ibu tanpa melalui wasilah adanya peran seorang ayah.

Kaum musyrikin waktu itu berseloroh, bagaimana mungkin seorang insan lahir tanpa adanya perkawinan? Sehingga kemudian, kaum Yahudi mengolok-olok bahwa Isa lahir dari buah perselingkuhan. Namun, Allah Swt. menjawabnya, lewat ayat ini, bahwa kebenaran yang haq dan tak terbantahkan itu adalah semata dari Allah Swt. Sebagaimana oleh al-Thabari kemudian ditafsirkan dengan:

“Janganlah kamu ragu bahwasanya Isa, sesungguhnya penciptaannya adalah menyerupai Adam. Dia adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Kalimatullah, dan ruh-Nya.” (Tafsir al-Thabari,  halaman 57)

Seolah hendak disampaikan bahwa jika dalam penciptaan Adam yang tanpa perantara ibu dan bapak saja, Allah Swt. sanggup, apalagi dengan menciptakan Isa alaihissalam yang hanya dengan ibu. Artinya, bahwa keduanya adalah sama-sama superrasional dan diluar jangankauan akal manusia kala itu, dan itulah wahyu yang tak terbantahkan.

Untuk itu, ikhbar yang berkaitan dengannya, bila hal itu berasal dari wahyu, maka ikhbar itu menjadi bersifat qath’iy al-dilalah (qathi sebagai dalil), sehingga tidak perlu peran rasio.

Bila ada teks ayat ada yang menunjukkan karakteristik qath’i al-dilalah, sehingga tidak memerlukan adanya peran akal, maka dalam beberapa segi sudah pasti dalam ayat terdapat pula peran dhanny al-dilalah (dalil dugaan), disebabkan al-Qur’an dan al-Sunnah dalam beberapa segi bukan merupakan dalil rinci (dalil tafshily).

Terlebih lagi, al-Qur’an merupakan kitab suci yang memuat gaya bahasa tertentu sehingga memerlukan dasar penakwilan. Suatu misal, adanya majaz, tamtsil (perumpamaan), tasybih (penyerupaan) dan lain sebagainya.

Selain itu, al-Qur’an juga tidak melulu menggunakan istilah-istilah yang terdapat dalam bahasa Arab, seperti kafuur, fawakih, yang mana kedua istilah ini bukan dialeg asli masyarakat Arab. Akibat dari adanya istilah-istilah asing yang diserap dalam al-Qur’an, sehingga membutuhkan langkah penakwilan. Setiap dalil yang menunjuk pada perlunya penakwilan dan penafsiran, menjadikan dalil itu bersifat dhanny al-dilalah (dalil dugaan).

Di sinilah kemudian masuk ruang lingkup yang dinamakan sebagai eksperimen (uji ilmiah) yang berarti membutuhkan peran rasio (akal). Meski kalangan tertentu, seperti kalangan Wahabiyah, menolak adanya dalil penakwilan dan penafsiran sebagaimana yang dimaksud di sini, namun, pola penakwilan ini sudah dipraktikkan sejak generasi sahabat, sebagaimana masyhur doanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap turjuman al-qur’an, yaitu sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu:

“Ya Allah, fahamkanlah ia tentang agama, dan ajarkan kepadanya penakwilan.” HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh Al-Hakim. Alhafidh al-Dzahaby dan al-Iraqy juga sepakat menyatakan kesahihannya.

Jika benar bahwa penakwilan ayat ini sebagai yang dilarang, sudah barang tentu Nabi tidak akan pernah berdoa sebagaimana disampaikan di atas. Berangkat dari hal ini, maka tidak heran bila kemudian al-Syathibi menyatakan dalam al-Muwafaqat bahwa suatu ayat (wahyu) perlu mendapatkan penakwilan bila memenuhi 10 unsur ihtimalat (probabilitas). Kesepuluh probabilitas itu,

“Berdiri di atas dalil yang bersifat dhanny (praduga), adalah wajib menempatkannya sebagai dhanny pula. Karena pendirian itu senantiasa berdiri di atas dasar:

1) pengalihan bahasa, 2) pendapat kalangan ahli nahwu, 3) ketiadaan keserupaan, 4) ketiadaan majaz, 5) al-naqlu al-syar’i atau ‘adi, 6) kandungan tersembunyi, 7) takhshish terhadap dalil umum,  8) muthlaq dan muqayyad, 9) ketiadaan petunjuk ayat yang menasakah, mendahului atau datang setelahnya, 10) bertentangan secara akal sehingga kesulitan mengambil faedah yang pasti karena istilah yang sulit dipahami.

Bahkan, ada ulama yang mengatakan bahwa suatu ketika ayat menunjukkan pengertian dhanny di lihat dari bunyi teksnya, namun bila disertai adanya qarinah lain yang dapat dijadikan sebagai saksi/bukti atau adanya nash lain yang bisa dinukil sebagai penjelas, maka bukti tersebut dapat dijadikan dasar ke faedah yakinnya dalil. Dan hal semacam ini adalah jarang terjadi serta sulit.” (Al-Muwafaqat li al-Syathibi, Juz 1, halaman 27).

10 hal di atas oleh al-Syathibi selanjutnya ditengarai sebagai muqaddimatu al-‘Asyrah, artinya 10 pendahuluan melakukan eksperimentasi. Itulah sebabnya, al-Syathibi dalam jilid berikutnya secara jelas menyatakan:

“Sesungguhnya orang yang berpedoman pada dalil-dalil naqliyah, ketika dalil-dalil tersebut ditemui bersifat mutawatir, namun memenuhi qaidah muqaddimati al-asyrah, maka wajib dari masing-masing dalil yang digunakan adalah ditempatkan dalam dhanniyatu al-dilalah (dalil praduga). Sehingga, berdiri di atas dalil dhanny, maka tidak bisa tidak, menempati ruang dhanny juga.” (al-Muwafaqat li al-Syathibi, Juz 2, halaman 79).

Alhasil, jika ternyata suatu hukum, berangkat dari dasar ruang lingkup dhanny (praduga), maka dalil yang dihasilkan pun menjadi bersifat eksperimentasi (ijtihady). Dan dalam ruang eksperimentasi ini, ada istilah manhaj (paradigma berfikir), yang artinya wajib rasional (ta’qquly). Wallahu a’lam bi al-shawab

Leave a Response