Masih ingatkah kita akan tragedi kecelakaan yang berujung kematian sastrawan Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau yang lebih kita dikenal sebagai NH Dini, 2018 silam? Kematian tentu bisa menimpa siapa saja.
Kehilangan sastrawan, novelis seperti NH Dini, tentu sebuah kesedihan yang sangat mendalam bagi kesusastraan Nusantara. Dini, semasa hidupnya dikenal sebagai sastrawan, novelis, sosok pecinta, dan perjuangan feminisme. Dini telah memberikan warna dan kegemilangan tentang cerita-cerita di kesusastraan Indonesia modern.
NH Dini mulai tekun dan rajin menulis sejak duduk di kelas Sekolah Dasar (SD) sampai ajal menjemputnya. Karirnya dalam dunia kepenulisan dimulai saat mengirim sajak pada program Prosa Berirama yang waktu itu disiarkan Radio Republik Indonesia. Dunia kesusastraan Indonesia mengenal Dini mulai sejak masa 1950-an melalui suguhan cerita-cerita pendek di majalah-majalah, seperti di majalah perempuan Famina dan majalah Kisah edisi Maret 1955 yang pada akhirnya publik mengenalnya sebagai seorang novelis.
Ketekunan menulis Dini dimulai sejak memasuki bangku sekolah SMP yang didapat dari bimbingan keluarganya. Namun, pada era 1950-an Dini memasuki SMA, ia semakin tekun bersastra dan kemampuannya berubah pada taraf ke tema-tema serius. Hal ini, bisa kita baca dari pengakuannya “cerpen-cerpen saya sudah sejak beberapa waktu berubah tema. Dulu selalu berasal dari kemurungan hati sendiri, perihal keluarga, peristiwa lain tetapi tidak lepas dari kekeluargaan. “Saya mulai merasa ketenangan yang lebih akrab dalam diri saya. Jadi saya banyak memperhatikan orang lain.”
Sejak masa 1950-an ini pula, dari tangan Dini muncul cerita pendek demi cerita pendek dan novel demi novel terbit dengan pujian dari pembaca di Indonesia. Dari sekian banyak buku dan novel yang sudah digarap, Dini kerap kali mengangkat masalah isu feminisme, sorotan tokoh perempuan terhadap prasangka gender serta bagaimana idealnya perempuan dalam novelnya.
Karya-karya Dini dianggap sebagai pemicu pembesaran sastra-feminis Indonesia. Karena, ia penulis yang cukup berani menampilkan sikap keperempuan dan sadar berada di hadapan pembakuan. Setelah itu, namanya semakin tenar di jagat sastra Indonesia.
Warisan NH Dini
Semasa hidup Dini sudah menerbitkan dan mewariskan pada kita kurang lebih dari 20 buku karya berbau feminisme, Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), Namaku Hiroko (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), dan Sekayu (1981).
Karya lain Dini adalah Kuncup Berseri (1982), Teluries (1982), Segi dan Augaris (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Tirai Menurun (1993), Kemayoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2002), Monumen (2002), Dari Parangkik ke Kampuche (2003), Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya (2018).
Di antara salah satu karya sastra Dini yang kental berbau sastra feminisme dan terus dicetak ulang hingga kini, serta mendapat ulasan kritis dari kalangan kesusastraan selama puluhan tahun adalah Pada Sebuah Kapal (1972). Novel ini bercerita tentang Sri, seorang perempuan tangguh dan cerdas.
Kehidupannya dilukiskan penuh lika-liku. Berprofesi sebagai penyiar radio dianggap batu loncatan. Sebab, cita-cita Sri menjadi pramugari. Hanya saja, karena di saat tes sakit, lalu gagal. Kendati demikian, kehidupan Sri tidak berhenti. Pertemuan Sri dengan sahabatnya bernama Narti, memperkenalkan pada teman dengan latar belakang penerbangan membuka kembali cita-citanya. Dan dari sinilah kehidupan cerita cinta Sri dimulai.
Demikian, penggalan kisah perempuan kelahiran 29 Febuari 1936 ini. Selain itu, dilihat dari karya-karya yang ditinggalkan, tentu adanya ketekunan menulis sejak 1950-an sampai 2018 dan sudah bisa dipastikan warisannya terhadap kesusastraan Indonesia. Kita memang layak dan pantas memberikan pujian pada Dini. Karena, beliau bisa memberi inspirasi dengan kemunculan para pengarang yang bisa bersuara lantang serta turut membentuk “sejarah” dalam arus kesusastraan modern Indonesia abad XX dan XXI.
Dari sini, siapa pun yang hendak meneliti dan mengkaji pemikiran feminis NH Dini setidaknya, ia wajib membaca setiap karyanya tersebut. Dan pada akhirnya, Dini boleh saja meninggal dunia dan kesusastraan Indonesia boleh berduka. Namun yang pasti, melalui warisan karya-karya yang ditinggalkan, Dini akan tetap hidup bersamaan dengan para pembacanya. Selamat jalan sang pejuang sastra feminisme Indonesia.