Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (450-505 H/1059-1111 M) dikenal di dunia Barat pada abad pertengahan sebagai al-Gazel. Dia adalah salah satu pemikir Islam yang paling representatif, sebagaimana yang terekspresikan dalam gelar kehormatannya sebagai Hujjah al-Islam.
Dia dilahirkan di Thus wilayah Khurasan (Iran Timur), dua puluh tiga tahun setelah Ibn Sina wafat. Pendidikan dia pada masa muda ditandai oleh intensitasnya belajar berbagai mazhab besar baik filsafat, tradisi esoteris (tasawuf), dan teologi.
Al-Ghazali adalah murid dari al-Juwayni teolog Asy’ariyah yang paling menonjol pada masanya yang bergelar Imam al-Harumayn. Dia ditugaskan untuk mengajar kalam Asy’ariyah pada lembaga pendidikan yang didirikan oleh Nizam al-Mulk di Baghdad, yang bernama Madrasah Nizamiyah.
Dalam perjalanan intelektualnya, al-Ghazali mengalami keraguan-keraguan yang menyebabkan ia mengasingkan diri dari dunia intelektual dan dunia masyarakat dengan berlaku zuhud mendalami dunia tasawuf mengembara mencari ketenangan hati demi memenukan kebenaran sejati.
Dalam otobiografi intelektualnya yang berjudul al-Munqiz min ad-Dhalal, al-Ghazali menceritakan krisis intelektualnya yang disebabkan oleh “keraguan” dia terhadap semua pengetahuan yang diperoleh dan diajarkan. Al-Mumqiz lahir dari pengetahuan sufistik, yakni kesadaran spiritual al-Ghazali yang selama ini ragu terhadap apa yang ia peroleh. Perjalanan intekeltual al-Ghazali sangat berliku, melalui jalan yang terjal, menghadapi gegelapan hati dan pikiran serta sampai mendaptakan kelumpuhan dalam organ tubuhnya.
Semua mazhab pemikiran telah ia pelajari sampai ia masuk mencebur dalam kubangan mazhab itu mulai dari teologi, sufisme, dan filsafat agar kelak ia bisa membedakan antara yang haq dan yang batil, antara yang berdasarkan sunnah dan yang sekedar berdasarkan bid’ah.
Setiap bertemu dengan ahli kebatinan, maka ia terdorong dan merasa senang untuk meneliti agar mengenal kebatinannya. Ketika berpapasan dengan ahli zikir, ia pun mengoreksi keberhasilan paham tersebut. Demikian ketika ia berjumpa dengan ahli filsafat, ia ingin mengetahui secara mendalam tentang dunia filsafatnya.
Tidak hanya sampai di situ saja, ketika bertemu dengan ahli kalam (teolog), maka ia selidiki mendalam ajaran pokok-pokok serta argumentasinya. Dan apabila bertemu dengan seorang zindiq yang atheis, maka ia menyelusup di baliknya untuk mengetahui latar belakang yang menyebabkan keberanianya dalam kekafiran.
Manakala bertemu dengan ahli bid’ah, ia meneliti apa tujuan dari keberhasilan ibadahnya, begitu pula dengan ahli tasawuf, maka ia telusuri inti dan berbagai rahasia tasawufnya. Dengan semua penyelidikan itu, ia menyadari betapa berantakan iman dan aqidahnya semasa muda karena bentuk taqlid semata terhadap ajaran warisan ini.
Dalam “keraguan” al-Ghazali mengkritik semua aliran mazhab yang ia pelajari baik itu teologi, tasawuf, zindiq, atheis, terlebih-lebih filsafat. Keraguannya terhadap filsafat ketika ia mulai menceburkan diri di dalamnya, ia mengatakan usaha untuk meraih ilmu tersebut secara maksimal dari berbagai buku dan menelaahnya tanpa bantuan guru (al-Ghazali, 1997).
Hal demikian dilakukan di sela-sela senggangnya dalam mengarang dan mengajar muridnya yang sebanyak tiga ratus siswa di Baghdad. Bahkan dalam “keraguan” itu al-Ghazali menyempatkan diri mengarang kitab yang secara khsusus untuk mengkritisi ilmu-ilmu filsafat dan para filosofnya dengan berjudul Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat).
Krtitik keras yang dilakukan al-Ghazali terhadap filsafat disebabkan ia tidak menemukan kebenaran yang ia cari dengan menggunakan metode rasional atau deskriptif demonstratif (burhani). Seperti halnya ia mengktirik ilmu logika (Mantiqiyyah) dalam al-Munqidz “ilmu ini (logika) sama sekali tidak ada konteksnya dengan agama, baik ditetapkan atau tidak, bahkan ilmu ini hanya merupakan cara-cara mencari dalil, mencari analog menacari beberapa syarat defenisi yang benar, dan bagaimana menertibkanya”. Kritiknya ini disebabkan karena tidak ada kepuasan dalam dirinya untuk mengetahui kebahagiaan abadi dengan menggunakan metode logika.
Begitu juga dalam Tahafut-nya secara jelas dan gamblang ia menyalahkan bahkan mengkafirkan para filosof yang menggunakan metode demonstrasi untuk mengetahui sang pencipta beserta ciptaanya. Ia menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan dan ciptaan adalah sesuatu yang benar-benar berasal dari kehendak yang hakiki (al-Ghhazali, 2003).
Bagi al-Ghazali, para filosof mengingkari pengertian hakiki “perbuatan” padahal secara gamblang mulai dari al-Farabi, Ibn Sina tidak ada yang mengingkari perbuatan yang hakiki.
Bagaimana mungkin papa filosof mengingkari perbuatan itu padahal mereka selalu mencari kebenaran yang hakiki. Karena ambisi politisnya, al-Ghazali terjebak sendiri dalam kritiknya terhadap para filsosof, sedangkan ia juga bagian dari para filosof muslim secara otomatis ia mengkritisi dirinya sendiri sehingga terjebak di dalam keragu-raguan.
Bagi siapa saja yang mengarungi dunia intelektual seperti al-Ghazali pasti akan mendapatkan keraguan ketika tidak bisa menemukan kebenaran yang sejati menurut dirinya. Maka dari itu di dalam menyelami sebuah lautan ilmu jangan sekali-kali menyalahkan sebelum tahu secara mendalam kelimuan tersebut dan jangan mengkafirkan seseorang yang telah menyakini kebenaran apa yang ia yakini. Sejatinya ilmu yang benar akan kalian temukan ketika kalian mencapai ekstase dalam dunia intelektual.