Apa yang pertama kali terlintas di benak pembaca jika membaca istilah “Memayu Hayuning Bawana”? Dengan latar belakang bahasa yang berbeda, penulis yakin akan sangat beragam persepsi pembaca jika selintas melihat kalimat tersebut. Seperti quotes para filsuf Yunani yang tren di kalangan akademisi, Memayu Hayuning Bawana juga merupakan quotes yang pernah sangat nge-trend di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.
Meski sangat nge-trend di kalangan masyarakat Jawa, tidak diketahui pasti siapa yang menelurkan pemikiran tersebut hingga menjadi falsafah Jawa yang melegenda. Beberapa literature mengatakan bahwa falsafah tersebut hasil buah pemikiran Sunan Kalijaga, ada juga yang berpendapat hasil buah pemikiran Raden Pakubuwana, dan ada juga yang meyakini kuat bahwa falsafah tersebut dipopulerkan oleh sang pujangga hebat, Ranggawarsito.
Seperti Suwardi Endraswara misalnya, dalam bukunya Memayu Hayuning Bawana (Laku Menuju Keselamatan dan Kebahagiaan Hidup Orang Jawa) meyakini kuat bahwa konsep Memayu Hayuning Bawana lahir pada masa Dinasti Mataram Islam. Mulanya, konsep tersebut merupakan pedoman para penguasa dan raja agar memerintah negaranya dengan adil dan selalu mengutamakan rakyat dan keseimbangan alam untuk menciptakan masyarakat yang “tata titi tentrem guyub rukun karta raharja” (tertata, damai, bersaudara dan sejahtera).
Menurut Suwardi, falsafah Memayu Hayuning Bawana merupakan kondisi kesadaran tertinggi yang dicapai manusia karena melalui beberapa tahapan seperti memayu hayuning diri budi pekerti (wisesa), memayu hayu sesama (hamisesa), memayu hayuning kebijaksanan (wicaksana). Jika manusia telah melalui tahapan yang demikian, maka watak untuk memelihara keseimbangan alam akan otomatis melekat dalam dirinya sehingga tercipta keharmonisan dalam kehidupan.
Dalam buku Memayu Hayuning Bawana yang ditulis oleh Budya Pradipta secara rinci menjelaskan juga makna perkata. Memayu diartikan sebagai perbuatan yang bertujuan memperindah untuk meningkatkan keselamatan. Hayuning sendiri merupakan kata ganti kepunyaan (hayu/ing/ingkang/nya). Sehingga Memayu yang mendapatkan kata imbuhan Hayuning bermakna keindahannya/ untuk keselamatannya. Sedangkan Bawana bermakna dunia.
Memayu Hayuning Bawana tidak saja diartikan sebagai upaya memperindah dunia untuk tujuan keselamatan, kebahagiann dan kesejahteraan hidup manusia di bumi, melainkan juga upaya menciptakan kebahagian dan kesejahteraan manusia di akhirat. Sebab, dalam falsafah Jawa, Bawana memiliki makna dalam tiga tingkatan.
Pertama, Bawana Alit (dunia kecil) yang mengatur hubungan internal individu. Segala hubungan antar sesama manusia yang bersifat pribadi dan tidak dikonsumsi publik seperti hubungan dengan pasangan atau keluarga.
Kedua, Bawana Agung (dunia besar) yang mengatur hubungan dengan semua elemen yang ada di dunia seperti hubungan dengan masyarakat, hubungan manusia dengan hewan/tumbuhan, dan hubungan antar masyarakat berbagai bangsa dan negara.
Tingkatan ketiga atau yang tertinggi, Bawana Langgeng (dunia abadi) yang mengatur hubungan manusia dengan para roh dan hubungan manusia dengan tuhannya untuk menuju alam akhirat yang kekal.
Konsep falsafah Memayu Hayuning Bawana menegaskan akan hubungan manusia yang saling memiliki keterkaitan dengan segala energi alam semesta, baik itu tubuh fisik manusia, energi alam diluar diri manusia (flora/fauna, dls), dan energi alam selain tubuh fisik manusia (roh/Tuhan) yang menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir perjalanan manusia.
Konsep tersebut selaras dengan prinsip Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin yang oleh KH. Hasyim Muzadi dalam naskah pidatonya Islam Rahmatan lil ‘Alamin Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia (Prespektif Nahdlatul Ulama) diartikan sebagai konsep yang mengatur segala tata hubungan manusia baik dalam aspek ritual, sosial, dan alam untuk mengantarkan manusia pada jalan menuju Tuhan.
Falsafah Memayu Hayuning Bawana juga selaras dengan konsep etika atau akhlak dalam Islam. Pertama yang menempati posisi tertinggi, akhlak manusia disandarkan pada hubungannya dengan Allah (hablum minallah) yang berorientasi pada tujuan akhirat atau Bawana Langgeng. Untuk mencapai tingkatan ini, manusia harus taat pada perintah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Kedua, akhlak manusia dengan sesamanya (hablum minannas) yang masuk ke dalam dua tingkatan sekaligus yakni Bawana Alit maupun Bawana Agung dalam falsafah Memayu Hayuning Bawana. Dalam hubungan manusia dengan sesamanya, ada kode etik dalam setiap kondisi dan situasi yang dihadapi manusia. Seperti etika persaudaraan antar sesama umat muslim (ukhuwah diniyyah), etika persaudaraan antar sesama makhluk Tuhan (ukhuwah islamiyah/ ukhuwah basyariyyah) dan etika persaudaraan karena nasib dan rasa kebangsaan yang sama (ukhuwah wathaniyyah).
Ketiga, akhlak manusia dengan alam (hablum minal ‘alam) atau tingkatan Bawana Agung. Manusia tidak akan mungkin hidup di dunia jika alam tidak menyediakan apa yang menjadi sumber kehidupannya. Itulah sebabnya, Islam memberikan pedoman dalam hubungan manusia dengan flora, fauna, air, samudera, hutan, guyung, udara, dan sumber alam lainnya agar keseimbangan hidup tetap terjaga.
Selain menjadi falsafah Jawa yang memiliki nilai spiritual yang tinggi, Memayu Hayuning Bawana juga memiliki korelasi dalam banyak hal terhadap nilai-nilai Islam. Falsafah Jawa yang bertujuan agar setiap orang berbuat bijak dalam hidup ini selaras dengan spirit Islam yang menekankan agar umatnya selalu berperilaku penuh sopan santun, penuh keteduhan, lemah lembut dan tidak saling menganiaya seperti yang termaktub dalam QS. Yusuf/12:23 dan QS. Al- Kahfi/18:19.