Abu Nawas yang bernama asli Abu Ali al-Hasan ibn Hanie telah mengalami berbagai macam fase dalam hidupnya. Sejak kecil ia mendapatkan pendidikan yang baik, ia seorang yang cerdas, cerdik dan bijaksana. Walau banyak riwayat yang menjelaskan bahwa saat masa mudanya ia terkenal urakan, bandel, dan suka foya-foya.
Tetapi di akhir hidupnya ia menjalani hidup yang zuhud dan menjadi seorang yang sangat alim. Bahkan bait syair kezuhudannya yang berjudul i’tiraf selalu tersenandung sampai sekarang. Maka tak salah jika Abu Nawas mempunyai banyak murid yang belajar dengannya.
Dari sekian banyak murid yang belajar kepadanya, ada seorang murid yang selalu bertanya ke Abu Nawas sebab mengapa ia suka berkata begini dan begitu. Meminjam bahasa anak zaman now murid ini bisa kita sebut “kepo”. Salah satunya adalah saat ia bertanya tentang perkataan Abu Nawas yang ada dalam cerita yang berikut ini.
Alkisah, ada tiga orang tamu yang datang ke Abu Nawas dan bertanya kepadanya. Mereka datang dengan pertanyaan yang sama. Pertanyaannya adalah “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil atau dosa-dosa besar?”
Masuklah tamu pertama menanyakan pertanyaan itu. Lantas Abu Nawas menjawab, “Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.”
“Mengapa?” tanya si tamu pertama mencari penegasan.
“Sebab lebih mudah diampuni oleh tuhan,” jelas Abu Nawas.
Lalu orang kedua masuk dan bertanya, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau dosa-dosa kecil?”
“Orang yang tidak mengerjakan keduanya,” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” tanya si tamu kedua.
“Karena dengan tidak mengerjakan keduanya tentu tidak memerlukan pengampunan tuhan.” Dengan mudah orang kedua dapat mencerna jawaban Abu Nawas.
Kemudian tamu ketiga masuk dan juga bertanya dengan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau dosa-dosa kecil?”
Abu Nawas menjawab, “Orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.”
“Mengapa?” kata orang ketiga.
Abu Nawas menjawab, “Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya berbanding besar dengan dosa-dosa yang dikerjakan hamba tersebut.”
Setelah menerima alasan tersebut, ketiga orang tamu tersebut pulang dengan perasaan puas dengan penjelasan Abu Nawas.
Karena heran dan belum mengerti, sang murid bertanya kepada Abu Nawas, “Mengapa dengan pertanyaan yang sama, anda menjawab dengan jawaban yang berbeda?”
“Manusia dibagi menjadi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak, dan tingkatan hati.”
“Apa tingkatan mata itu?” tanya si murid Abu Nawas.
“Anak kecil yang melihat bintang di langit akan mengatakan bintang itu kecil, karena ia melihat hanya dengan mata.” Jawab Abu Nawas dengan penganalogian bintangnya.
“Apa tingkatan otak itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Orang pandai akan mengatakan bahwa bintang dilangit itu besar, karena ia memiliki pengetahuan,” jelas Abu Nawas kepada si murid.
“Lalu apa tingkatan hati itu?” lanjut tanya si murid.
“Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit, ia tetap akan mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bahwa bintang itu memang besar. Karena bagi yang pandai dan mengerti ia akan akan menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang besar dibandingkan dengan kebesaran Allah” jawab panjang Abu Nawas menjelaskan tingkatan hati.
Sekarang si murid mulai paham dan mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. Dan ia juga paham bahwa Abu Nawas mengategorikan tiga tingkatan manusia menjadi manusia di tingkatan masih sebatas mata, lalu otak, dan hati.
Kisah disadur dari kitab Seribu Satu Malam: Abu Nawas Sang Penggeli Hati