Keluarga adalah unit paling kecil dalam kelompok masyarakat. Minimal keluarga terdiri dari 2 orang yaitu suami dan istri, sedangkan jumlah maksimal keluarga tidak terbatas. Keluarga memang kelompok paling kecil dalam tatanan masyarakat, tapi peran paling penting justru terletak pada keluarga.
Kita bisa mengetahui nilai serta peradaban masyarakat dari nilai-nilai yang diajarkan pada setiap keluarga di lingkungan tersebut. Mengapa bisa demikian? Karena keluarga adalah tempat tumbuh kembangnya anak-anak yang akan menjadi generasi penerus. Sedangkan lingkungan terdekat (keluarga) mempunyai pengaruh besar untuk menanamkan nilai-nilai yang akan diyakini seseorang tersebut hingga dewasa.
Misalnya, jika dalam keluarga tersebut membiasakan masuk rumah mengucapkan salam maka anak yang tumbuh dari keluarga tersebut meyakini bahwa jika masuk rumah harus mengucapkan salam. Jika tidak melakukan itu maka dianggap tidak baik.
Beda keluarga beda pula nilai yang diterapkan. Ada keluarga yang menerapkan relasi setara antar anggota keluarga, ada pula yang tidak. Relasi yang tidak setara bisa dikatakan sebagai relasi timpang, ketidakadilan relasi, atau lebih sering disebut dengan relasi kuasa. Tapi bagaimana kalau ketimpangan relasi dalam sebuah keluarga? Bisa jadi kamu merasakannya, atau mungkin kamu tidak yakin ada ketimpangan yang terbentuk dalam keluarga.
Kok bisa sih muncul relasi yang timpang dalam keluarga? karena didalamnya ada relasi kuasa, hal ini bisa terjadi pada orangtua dengan anak, ataupun anak dengan anak. Relasi antara anak dan orangtua ini memang pada beberapa keluarga tidak setara, bahkan jarak antara orangtua anak terasa jauh dan asing. Kenapa bisa demikian? penulis mencoba merangkum beberapa hal yang menyebabkan jarak serta ketidakseimbangan relasi anak dan orangtua, sebagai berikut:
Konsep kekuasaan menurut Michael Foucault, seorang filsuf pelopor strukturalisme dalam buku Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media yang ditulis Eriyanto bahwa kekuasaan berhubungan erat dengan pengetahuan, penyelenggara kekuasan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya.
Haryatmoko dalam artikelnya Kekuasaan Melahirkan Anti Kekuasaan menjelaskan kekuasan menurut Foucault diartikan secara represif hingga opresif, seperti adanya dominasi antara subjek dan objek kekuasaan.
Adanya kekuasaan pengetahuan bisa terjadi dalam relasi orang tua (suami istri) dan anak (kakak dan adik). Pihak yang menganggap dirinya mempunyai pengetahuan lebih merasa mempunyai tingkatan lebih tinggi hingga anggota keluarga lainnya harus patuh pada setiap keputusan yang telah dibuat.
Keresahan sering dirasakan anak remaja saat orang tua memaksakan keputusannya. Tidak memberi kesempatan pada anak untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya. Selain itu, hal ini dibalut dengan nilai agama agar anak mematuhi keputusan orangtua.
Menjadi anak durhaka adalah risiko yang harus diterima jika tidak menuruti orangtua. Ya memang kita harus patuh dan menghormati orangtua. Tapi orang tua juga harus menghormati anak. Anak adalah amanah yang dititipkan Allah Swt.
Mendengarkan pemikiran dan pendapatnya merupakan salah satu bentuk menghargai anak sebagai manusia yang berakal. Karena anak bukanlah milik orang tua sepenuhnya. Menganggap anak sebagai manusia utuh yang mempunyai pemikiran dan pendapat adalah salah satu cara menghargai anak sebagai manusia.
Adanya ego yang menganggap bahwa salah satu pihak mempunyai posisi lebih rendah dari lainnya akan menimbulkan komunikasi yang tidak setara. Adanya komunikasi tidak setara akan mengakibatkan dominasi pada pihak lain. Kurangnya komunikasi setara (dialog dua arah) berakibat pada kurang mengerti bagaimana karakter, pemikiran, dan kebutuhan setiap anggota keluarga. Hal ini akan menjadikan ketimpangan kuasa semakin besar.
Setiap manusia sepantasnya memiliki hak asasi yang melekat pada diri tiap-tiap manusia. Salah satunya adalah hak berpendapat. Jika keluarga menghargai pendapat setiap anggotanya, maka ketimpangan relasi kuasa bisa dihindari dengan melakukan musyawarah untuk mengambil keputusan.
Untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah tentu butuh keharmonisan hubungan pada setiap anggota keluarga. Potensi adanya ketimpangan dalam keluarga bisa terjadi pada relasi antara suami dan istri, orang tua dan anak, bahkan anak dengan saudaranya. Relasi antara orang tua dan anak lebih sering terjadi ketimpangan. Karena adanya kekuasan pengetahuan yang disebabkan perbedaan generasi, hingga potensi ketimpangan relasi pun lebih besar.
Lalu bagaimana dengan posisi anak dalam Islam?
Alquran menyebutkan beberapa posisi anak dalam keluarga. Di antaranya sebagai penyejuk jiwa dan penenang hati seperti yang tertuang dalam QS. Al-Furqan [25]: 74. Sebagai perhiasan dunia sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Kahfi [18]: 46. Sebagai cobaan, seperti yang diungkap dalam QS. At-Taghaabun [64]: 15. Hingga anak sebagai musuh, seperti yang diungkapkan dalam QS. At-Taghaabun [64] : 14.
Anak bisa menjadi penyejuk jiwa, penenang hati, perhiasan dunia, cobaan hingga musuh semua itu tergantung pada bagaimana orangtua memperlakukan dan mendidik sang anak, karena pada dasarnya anak lahir dalam keadaan fitrah. Seperti yang terekam dalam Shahih Bukhari No. 1373 berikut:
“Abu Hurairah r.a menuturkan dari Nabi Muhammad SAW yang bersabda. Tidak ada seorang anak dilahirkan, kecuali dalam keadaan fitrah (suci dan bersih). Kedua orangtuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Dengan menjalin relasi hubungan yang setara antara orang tua dan anak, maka anak akan merasakan kasih sayang lebih besar dari orangtuanya. Karena anak merasa dihargai atas pendapat dan pemikiran serta diberi kepercayaan untuk membuat keputusan dalam hidupnya. Memang tidak semua keputusan yang dibuat oleh anak akan benar, tetapi bukankah dari kegagalan anak tersebut akan belajar tentang kehidupan?
Memberikan ruang aman dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan pada anak adalah tanggung jawab keluarga bersama untuk memberikan yang terbaik (jalbu al-mashalih) dan menjauhkan dari keburukan (dar’u al mafasid), karena dari keluarga yang bahagia akan lahir generasi baik (dzurriyah thayyibah) dan menjadi umat yang terbaik (khairu ummah).