Aisyah Al-Ba‘uniyyah, Perempuan Sufi Era Dinasti Mamluk (Bag. I)
Pada masa Dinasti Mamluk (1250 – 1517) menguasai wilayah Suriah dan Mesir, terdapat sebuah klan keluarga bernama al-Ba’uniyyah. Nama al-Ba’uniyyah berasal dari nama sebuah desa terpencil di Ajloun, sebuah kota yang saat ini masuk dalam wilayah Yordania.
Tidak diketahui kapan klan ini pindah ke Damaskus, tetapi di masa kekuasaan Mamluk dari generasi ke generasi klan al-Ba’uniyyah terkenal sebagai keluarga teknokrat yang dekat dengan Sultan Mamluk dan menjadi bagian dari keluarga yang terpandang.
Salah satu tokoh penting dari klan ini adalah seorang sufi perempuan terkemuka bernama Aisyah al-Ba‘uniyyah (w. 923/1517). Sebagai sufi perempuan, ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah mungkin tidak seterkenal Rabiah al-‘Adawiyyah.
Akan tetapi karyanya yang cukup banyak ditahqiq dan diterbitkan, dapat menunjukkan bahwa ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah sebagai seorang sufi perempuan sekaligus penyair memiliki peran yang sangat penting pada masa itu hingga saat ini.
Ia adalah Aisyah binti Yusuf bin Ahmad bin Nasiruddin al-Ba‘uniyyah. Tidak ada keterangan pasti mengenai tanggal dan tahun kelahirannya. Yusuf al-Ba‘uniyyah (w. 880/1475), ayahnya, adalah ahli fikih syafii yang merupakan seorang qadhi terkemuka di Damaskus.
Beruntung pada masa itu Yusuf al-Ba‘umoyyah telah memiliki kesadaran untuk tidak membedakan anak-anaknya dalam hal pendidikan. Sehingga diceritakan bahwa ‘Aisyah mendapatkan porsi pendidikan yang sama dengan saudaranya yang lain.
Di masa kecil Aisyah mempelajari ilmu al-Quran, hadis, fikih, dan sastra. Ketika berusia delapan tahun, ia telah berhasil menghafalkan Al-Quran 30 juz. Sebagai anak dari keluarga ulama terpandang, sejak remaja Aisyah telah diajak oleh keluarganya untuk pergi beribadah haji ke Mekah.
Dalam perjalanan dan pengalaman ibadah haji inilah, ‘Aisyah menemukan visi kesufian dengan diperlihatkan kepadanya Nabi saw dalam keadaan terjaga. Pengakuan ini ditulis dalam salah satu kitabnya al-Maurid al-Ahna fi al-Maulid al-Asna.
Sepulang dari Makkah, ‘Aisyah semakin menekuni bidang sufisme yang pada dasarnya telah menjadi bagian integral dalam keluarga al-Ba‘uniyyah. Kakek, ayah dan paman-pamannya adalah pengikut sufi yang dimakamkan dalam kompleks pemakaman yang sama dengan mursyid terpandang tarekat Qadiriyah pada masa itu, yakni Abu Bakar Ibn Dawud (w. 806/1403).
Untuk mengasah jalan kesufiannya, ‘Aisyah kemudian berguru kepada dua tokoh sufi terkenal, Jamaluddin Ismail al-Hawwari (w. 900/1495) dan Muhyiddin Yahya al-‘Urmawi. Setelah usianya dirasa cukup matang dan telah menempuh jalan kesufian, ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin Naqib al-Asyraf (w. 909/1503) yang juga merupakan murid dari Ismail al-Hawwari.
Dari pernikahan ini, Aisyah dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan bernama Abdul Wahab dan Barakah.
Tidak ada data tentang tahun berapa ‘Aisyah menikah, tetapi sepuluh tahun setelah kematian suaminya, tepatnya pada tahun 919 H, Aisyah melakukan rihlah belajar dari Damaskus menuju Kairo bersama Abdul Wahab al-Ba‘uniyyah anak laki-lakinya. Perjalanan ini juga bertujuan untuk mencarikan pekerjaan untuk putranya di lingkungan kejaraan Mamluk.
Nahas, di tengah perjalanan rombongan Aisyah dirampok oleh para bandit muara sungai Nil. Seluruh harta yang dibawa Aisyah dirampas, termasuk buku-buku hasil karyanya. Sesampainya rombongan ke Kairo, Aisyah dan Abdul Wahab al-Ba’uniyyah tidak memiliki harta apa pun.
Untungnya segala kebutuhan Aisyah ditanggung oleh Mahmud bin Muhammad bin ‘Aja (w. 925/1519), seorang menteri sekaligus sekretaris Sultan Mamluk yang masih saudara kerabat dari keluarga al-Ba’uniyyah.
Selama di Kairo Mesir, ‘Aisyah mempelajari fikih kepada beberapa ulama terkemuka bersamaan dengan terus menulis puisi dan karya-karya. Sedangkan putranya Abdul Wahab, bekerja menjadi administrator dan asisten Ibnu ‘Aja. Setelah tiga tahun menetap di Kairo, Aisyah bersama dengan Abdul Wahab, menemani Ibnu ‘Aja pergi ke Aleppo sesuai perintah dari Sultan Qansuh Al-Ghuri (w. 922/1516).
Di Aleppo, Sultan Qansuh al-Ghuri sedang menyiapkan pasukan untuk melawan Dinasti Utsmaniyyah. Permintaan Sultan untuk menghadirkan Aisyah al-Ba’uniyyah disinyalir sebagai bentuk upaya Sultan al-Ghuri untuk meminta dukungan moril dan juga berkah spiritual.
Tidak lama di Aleppo, ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah kembali ke kota kelahirannya Damaskus dan menghabiskan sisa umurnya di sana. Setahun kemudian tepatnya pada tahun 923 H, sang sufi perempuan terkemuka menghembuskan napas terakhirnya.