Pada masa pandemi COVID-19 sekarang ini, ada tuntutan untuk bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Bagi kaum muslimin, tuntutan untuk bekerja itu sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibadah. Artinya, Islam mempunyai prinsip bahwa kerja itu ibadah.
Islam tidak pernah membatasi di mana dan dari tempat mana kita harus melakukan pekerjaan. Islam hanya memberikan tuntunan umum menyangkut norma-norma yang harus diikuti, misalnya bekerja secara halal, meluruskan orientasi bekerja, dan kewajiban berbagi dengan orang lain.
Bagi orang Islam, bekerja tidak harus selalu di luar rumah. Dari rumah pun bisa dilakukan. Apalagi jika bekerja di luar membahayakan diri sendiri, seperti di masa pandemi sekarang ini, yang mana keluar rumah bisa membahayakan diri sendiri, yaitu tertularnya virus.
Di mana saja kita melakukan pekerjaan, termasuk di rumah, yang penting kita harus memperhatikan pesan-pesan moral yang disampaikan Al-Qur’an. Salah satunya adalah firman Allah SWT.:
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. al-Taubah [9]: 105)
Perintah bekerja pada ayat itu diungkapkan dengan redaksi “i`malu” (bekerjalah). Ini adalah fi`il amr yang memberikan makna bahwa bekerja itu merupakan suatu kewajiban. Dalam kaidah Ilmu Tafsir, setiap perintah pada dasarnya memiliki konsekuensi wajib. Tak boleh ada seorang pun yang tidak bekerja.
Perintah bekerja pada ayat ini dibunyikan dalam konteks jamak/komunitas: Yang diperintah adalah “kalian semua”. Ini dapat dibaca bahwa dalam ruang relasi sosial, sejatinya setiap “kelas” sosial saling memanfaatkan dalam pekerjaan.
Si pemilik modal memberikan pekerjaan kepada orang-orang yang tidak memiliki modal, sementara orang-orang yang tidak memiliki modal melakukan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Di sini ada asas saling memanfaatkan dan saling menguntungkan.
Ungkapan i`malu berasal dari kata kerja “’amila” (makna asalnya: berbuat). Dalam bahasa Al-Qur`an ada kata lain yang menunjukkan arti “bekerja”, misalnya kata “fa’ila”. Perintah bekerja pada ayat ini menggunakan kata “’amila”, bukan “fa’ila”. Tentu ada maksud dan tujuannya.
Ada beda penekanan makna antara ‘amila dan fa’ila. Dalam beberapa kamus Bahasa Arab disebutkan, “amila” itu menyangkut sebuah aktivitas yang dilakukan secara matang mulai dari perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Sementara “faila” menyangkut sebuah aktivitas yang dilakukan secara spontan atau boleh jadi tidak matang.
Maka, jika melihat perbedaan makna di atas, Islam memerintahkan kita untuk bekerja secara serius, secara profesional, secara matang. Tidak boleh suatu pekerjaan dilakukan secara asal-asalan tanpa perencanaan. Itulah makna yang dapat digali dari kata “amila”.
Fasayarallah amalakum wa rasuluh wal-mu’minun (maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu). Ungkapan ini menyangkut apresiasi yang akan didapat oleh orang yang melakukan sebuah pekerjaan secara profesional.
Preposisi “fa” pada ungkapan “fasayarallah…” menunjukkan bahwa apresiasi pasti akan didapat untuk waktu tidak begitu lama begitu pekerjaan itu selesai. Inilah makna “fa” dalam bahasa Al-Qur’an.
Pemahaman ini diperkuat pula oleh keberadaan fi’il mudhari’ “yara” yang dalam bahasa Arab memberikan makna kesekarangan (hal) dan keakan-datangan (istiqbal).
Pertanyaannya, siapa saja yang akan memberikan apresiasi? Pertama, Allah. Allah mengapresiasinya dari dua sisi: Di dunia dan akherat. Ini menunjukkan pula bahwa bekerja itu harus berdasar pada prinsip “dari-Nya dan untuk-Nya”.
Yang kedua, adalah Rasulullah. Selagi hidup, beliau memberi apresiasi terhadap hasil kerja para sahabatnya. Setelah wafat, dalam beberapa tafsir, beliau akan melihatnya di hari kiamat kelak.
Yang ketiga, kaum mukminin. Pekerjaan yang berkualitas hasilnya pasti akan dirasakan orang banyak, kaum mukminin. Karya-karya besar ulama dahulu hasilnya dirasakan oleh banyak orang sampai sekarang. Karya yang dilakukan secara serius oleh kita, meskipun mengerjakannya dari rumah, pasti hasilnya akan dirasakan orang banyak. Itulah apresiasi dari kaum mukminin.
Preposisi waw (dan) pada ungkapan ayat di atas memberikan makna bahwa pekerjaan yang dilakukan secara baik akan mendapatkan apresiasi secara bersamaan dari Allah, Rasul, dan kaum mukminin. Preposisi waw dalam hal ini memberikan makna penggabungan dalam saat yang bersamaan.
Apapun pekerjaan saat ini yang sedang kita lakukan dari rumah, maka lakukanlah dengan baik dan serius. Apresiasi-apresiasi secara otomatis akan didapat jika kita—sekali lagi—melakukannya secara baik.
Ungkapan “maka pasti Allah, Rasulullah, dan kaum mukminin akan melihatnya” harus dipahami bahwa apresiasi itu bentuknya bisa bermacam-macam, dapat berbentuk materi, dapat pula berbentuk non-materi.
Meskipun sedang di rumah terus, lakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Insya Allah tetap bernilai di hadapan Allah SWT.
Demikian tafsir ayat Al-Qur’an tentang perintah bekerja yang bisa menjadi dasar Work From Home (WFH) sebagaimana yang ramai dilakukan saat ini di tengah pandemi Covid-19.
Subhanallah, begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab. (mzn)
Tulisan ini disarikan dari Gerakan Peduli Bahasa Al-Quran.