“Jangan sampai berani menghina Sayyid (keturunan Nabi). Bagaimanapun, ada darah Kanjeng Nabi pada mereka. Kalau tidak suka, anggap saja seperti sobekan Qur’an. Yang namanya sobekan, tidak bisa dibaca. Tapi, jika diterlantarkan/dihina, jelas haram! Namun jangan juga berani menghina kiai. Karena bagaimanapun, kiai adalah pewaris para nabi. Kalau tidak suka, tidak masalah. Tidak perlu kamu ikuti. Akan tetapi, jika sampai berani menghina mereka, Nabi pasti sakit hati jika pewarisnya dilukai.”
Demikian kata KH Maimoen Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.
Kita jangan sampai terkecoh dengan pemberitaan media, yang akhir-akhir ini seolah ‘memojokan’ Habib terhadap masalah yang dialami dengan pihak berwajib. Tidak hanya itu, terkadang pemberitaan media cenderung membabi-buta jika ada Habib tersandung sebuah masalah tertentu.
Dalam tataran jurnalistik, tindakan media tersebut bisa dikatakan wajar karena demi kebutuhan industri informasi. Sering kali media menyebut nama “habib” sebagai keturunan Rasulullah langsung menyebut namanya, suatu hal yang tidak mungkin kita lakukan, di Dunia Jurnalistik sekali lagi itu hal yang wajar, namun bagi kita, santri, tindakan itu sangat jauh dari etika dan sopan santun yang diajarkan di Pesantren.
Sesuai dawuh Mbah Moen di atas, seburuk apapun perilaku seorang habib di dalam dirinya mengalir darah Rasulullah. Bukankah Islam sudah mengajarkan jika benci seseorang jangan benci orangnya, tapi bencilah perilakunya? Karena kullu mauludin yuladu ala al-fitrah, yakni setiap insan terlahir dalam suci.
Ulama dahulu sudah mencontohkan bagaimana kita sebagai umat Nabi Muhammad untuk senantiasa memuliakan keturunannya. Ulama kaliber Imam Suyuthi yang begitu sibuk dengan ilmu dan ibadahnya, sampai-sampai beliau tidak berkenan menemui tamu karena keterbatasan waktu. Akan tetapi, tempo hari yang bertamu adalah seorang habib, sontak beliau lari menuju pintu dan membukanya untuk mempersilahkan habib tadi untuk masuk.
Belum cukup sampai situ, masih dengan Imam Suyuthi, di antara karangan kitabnya secara khusus beliau mengumpulkan 60 hadis tentang dalil mengenai keutamaan mencintai dan menghormati keluarga serta keturunan Nabi. Kitab itu oleh beliau diberi nama Ihya al-mayyit bi fadhaili ahli al-bait (احيأ البيت اهل بفضائل الميت) .
Maksud ‘Ihyaul mayyit’ pada kitab itu sebab pada zaman itu hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keturunan (dzurriyyah) Nabi Muhammad Saw. banyak yang disembunyikan. Bahkan, ada yang tidak diriwayatkan karena memang pengaruh iklim politik yang sangat sensitif terhadap keluarga Nabi.
Mengutip dari salah satu sabda Rasulullah dalam sebuah hadis yang terdapat dalam kitab tersebut bisa menjadi ibrah atau pelajaran bagi kita.
ان مثل أهل بيتي فيكم مثل سفينة نوح في قومه من ركبها سلم ومن تركها غرق، وان مثل أهل بيتي فيكم مثل باب حطة بني إسرائيل من دخله غفر له
“Sesungguhnya perumpamaan Ahlu bait-ku bagi kalian, seperti Bahtera Nuh. Siapa yang menaikinya selamat, sedangkan siapa yang tertinggal akan tenggelam. Perumpamaan Ahlu Bait-ku bagi kalian seperti gerbang benteng Bani Israil, siapa yang memasukinya maka ia akan diampuni.”
Tentu, habib juga manusia yang bukan ma’shum (tanpa dosa), jadi tetap berpotensi melakukan sebuah kesalahan. Sehingga tidak wajib bagi kita mengikuti ajaran habib yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip kita, tapi jika sampai menghinanya tentu haram hukumnya.
Lebih lanjut, masih dalam kitab yang sama Imam Suyuthi mengeluarkan hadis berikut.
أدبوا أولادكم على ثلاث خصال: على حب نبيكم، وحب أهل بيته، وعلى قراءة القرآن، فإن حملة القرآن في ظل الله يوم لا ظل إلا ظله، مع أنبيائه
“Didiklah anak-anak laian tiga hal: cinta kepada nabi, cinta kepada keluarga nabi, dan membaca Al-Qur’an. Karena sesungguhnya para pembawa Al-Qur’an akan berada di bawah naungan Allah bersama para nabi pada hari tiada naunganlain selain naungan Allah.”
Begitulah perintah Nabi kepada para orang tua untuk mendidik putra-putrinya sedari dini supaya mencintai Nabi beserta keluarganya. Di samping iut juga mengajari bacaan Al-Qur’an. Kemudian sudah jelas keluarga Nabi zaman sekarang tidak lain yakni para habib itu sendiri. Maka, cukup riskan ketika sang anak melihat pemberitaan tentang kasus seorang habib di media tanpa bimbingan orang tua. Hal itu bisa menimbulkan stigma negatif dibenak anak.
Kemudian tidak sebatas keturunan Nabi yang musti dihormati. Demikian in para ulama sangat hati-hati perihal menghormati Nabi, seperti dikisahkan oleh Syekh Ramadhan, ayahanda Syekh Ramadhan Al-Buthi.
Suatu ketika, Syekh Ramadhan membaca surat Al-Lahab, kemudian ia membaca dalam sebagian kitab suatu riwayat dari ulama sholeh, bahwa ulama tadi merutinkan membaca surat Al-Lahab. Lalu ia bermimpi melihat Rasulullah, sedang wajah beliau terlihat murka dan berkata kepadanya, “Bukankah dia (Abu Lahab) itu adalah pamanku?”. Sejak saat itu sang ulama tadi tak lagi membaca surat Al-Lahab, terkecuali untuk menghatamkan Al-Qur’an.
Sampai segitunya soerang Nabi penutup zaman mencintai keturunannya. Padahal kita tahu sendiri Abu Lahab segitu kejamnya berperilaku kepada Nabi.
Saya sendiri masih ingat betul ketika KH Abdullah Kafabihi Mahrus sewaktu selesai ijab qobul pernikahan putrinya yang mendapatkan jodoh seorang habib. Tak ada yang menduga, Kiai Kafabih mencium tangan sang menantunya tadi. Padahal menantunya juga santrinya sendiri.
Lantas antara menantu dan mertua tadi saling berebutan mencium tangan. Padahal jika dilihat secara kacamata syariat, derajat guru lebih tinggi daripada murid, akan tetapi di sini sang murid adalah keturunan Nabi. Begitulah rasa ta’dhim (hormat) Buya Kafa kepada keturunan Nabi Muhammad Saw.
Begitulah kehati-hatian dan bentuk rasa ta’dhim ulama kepada keluarga Nabi. Apalagi kita yang hanya hamba biasa. Seyogyanya rasa hormat kita kepada keluarga Nabi harus lebih hormat lagi. Jangan sampai pemberitaan yang membabi-buta di media menjadikan buta mata hati kita dan kelewat batas menghina kepada para keluarga dan keturunan Nabi Muhammad. Naudzubillah. Wallahu a’lam.