LONDON–Alissa Wahid, koordinator nasional Jaringan Gusdurian menegaskan bahwa Islam Indonesia bisa menjadi inspirasi bagi perdamaian dan peradaban muslim saat ini. Alissa menyampaikan pendapat ini dalam sesi panel British Islam Conference, Ahad sore (23 Februari 2020), di London, United Kingdom.
Alissa Wahid menjadi wakil Indonesia dalam forum konferensi tahunan bergengsi yang dihadiri akademisi, diplomat dan advisor pemerintahan dari pelbagai negara. Ia diundang oleh Moazzam Malik, mantan Duta Besar United Kingdom untuk Indonesia. Moazzam sebelumnya bertugas di Indonesia sejak Oktober 2014, hingga berakhir pada Juli 2019.
Moazzam Malik mengundang Alissa Wahid untuk bicara tentang Islam dan demokrasi, serta kisah-kisah berharga tentang NU, Gusdurian dan Islam Indonesia pada umumnya. Selain Alissa, hadir pula Ihsan Ali Fauzi, direktur PUSAD Paramadina yang berkisah tentang resolusi konflik Ambon dan Poso, serta dinamika kelompok jihadis di Indonesia.
Dalam forum ini, hadir beberapa akademisi semisal Prof Ebrahim Moosa, Peter Mandaville, serta aktifis perdamaian dari Yahudi, Kristen, juga komunitas Sikh. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, Munawir Aziz, juga turut hadir dalam konferensi ini.
Forum dialog pada agenda British Islam Conference ini bertempat di kantor Amnesty International, New Inn Yard, Oxford Street, London, United Kingdom.
Pada sesi panel yang dimoderatori Peter Mandaville, Alissa Wahid menyitir pernyataan dari Gus Dur. “Saya ingin menyampaikan quote dari ayah saya, KH. Abdurrahman Wahid, bahwa penting memahami Islam dengan i kecil dan I besar. Islam sebagai i kecil sebagai value, sebagai nilai. Sedangkan, Islam dengan I besar, sebagai gagasan besar, cita-cita bersama,” ungkapnya.
Alissa juga menyampaikan tentang tantangan-tantangan yang dihadapi kelompok Islam moderat di Indonesia saat ini. “Demokrasi membuka pintu untuk semua bentuk ekspresi. Sayangnya, kebebasan ini dimanfaatkan oleh kelompok ekstrem untuk mempengaruhi ruang publik. Ketika reformasi terjadi pada 1998, yang mana membongkar rezim Orde Baru, ada keran yang terbuka untuk semua bentuk kelompok.”
Dalam pandangan Alissa, demokrasi membuka peluang bagi semua kelompok untuk saling terbuka menyampaikan gagasannya. Baik dari kelompok moderat atau bahkan Islam salafi dan kelompok ekstrem. Namun, ia meyakini Indonesia masih terbuka ruang bagi dialog, perdamaian dan kebebasan beragama, meski tantangannya nyata.
“Saya pikir Indonesia terlihat lebih demokratik dalam hal-hal yang terkait dengan protes publik. Misalnya, dalam kasus izin gereja, Ahmadiyah, dan beberapa konteks kasus yang lain,” kisah Alissa.
Di sisi lain, Alissa yakin bahwa demokrasi punya manfaat besar yang kompatibel dengan nilai-nilai Islam. “Indonesia menikmati banyak fungsi dari demokrasi. Semisal tentang fungsinya parlemen, lobi publik, juga dengar pendapat antara anggota dewan dengan konstituen,” terangnya.
Di tengah diskusi, Alissa Wahid mengaku memang banyak tantangan yang dihadapi umat Islam di Indonesia, begitu pula umat muslim di seluruh dunia. Ia menyatakan Islam Indonesia masih menjadi kabar baik bagi Islam dunia, di tengah konflik yang terjadi di pelbagai kawasan.
“Dalam konferensi-konferensi internasional yang saya ikuti, saya merasa Islam Indonesia masih menjadi kabar baik untuk Islam dunia. Di tengah pelbagai konflik juga dinamika politik, Arab Spring dan semacamnya, Islam Indonesia masih jadi kabar baik bagi peradaban dunia saat ini,” terangnya.