Banyak sekali tokoh ataupun sarjanawan muslim dan non muslim terjun untuk mengungkap pesan-pesan dalam Alquran dengan berbagai metode.
Salah satu interpretasi yang berkembang di era kontemporer atau modern ini adalah interpretasi Sastra Alquran. Interpretasi ini dimotori oleh Amin Al-Khuli sekitar paruh abad ke-20.
Amin Al-Khuli merupakan nama julukan yang familiar di masyarakat. Nama asli beliau yaitu Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Khuli. Lahir di sebuah kota kecil di sekitar Mesir yaitu Menoufia pada tanggal 1 Mei 1895.
Ia berasal dari keluarga petani gandum di mana lingkungan keluarganya sangat memperhatikan tradisi keagamaan di Al-Azhar. Bahkan kakek Amin Al-Khuli, Syekh Ali Amir Al-Khuli adalah seorang alumni Al-Azhar yang terkenal dengan keahliannya di bidang Qiraat.
Pada usia tujuh tahun Amin Al-Khuli sudah dididik dengan pengetahuan atau ajaran agama yang ketat ketika ia tinggal bersama pamannya. Sehingga pengetahuan atau kelimuan Amin Al-Khuli berkembang cepat.
Ia sudah terbiasa menghafal Alquran, tajwid al-tuhfah, fiqh, nahwu, dan lain sebagainya. Amin Al-Khuli telah hafal Alquran qiraat Hafs dengan jangka waktu 18 bulan pada usia 10 tahun.
Amin Al-Khuli juga pernah belajar ilmu umum serta menghabiskan waktunya untuk belajar mengenai hukum. Banyak sekali pengalaman dalam perjalanan intelektual Amin Al-Khuli. Salah satunya, ia pernah menjadi ketua dalam ekspedisi ilmiah serta penasihat agama pada misi diplomatik Mesirr di Roma, Berlin dan juga jerman pada 1923 di Eropa.
Selain itu, ia juga ditunjuk untuk menjadi dosen di Universitas Mesir. Ia juga pernah masuk dalam aktifitas politik saat terjadinya revolusi Mesir. Sekitar tahun 1927-1953 Amin Al-Khuli mulai berkonsentrasi dalam mempelajari dan mengkaji mengenai dasar dalam metode tafsir susastra. Sebenarnya jika ditelusuri lebih dalam lagi masih banyak perjalanan intelektual beliau yang menarik.
Al-Khuli sebenarnya bukanlah penulis yang produktif seperti halnya cendekiawan Mesir lainnya seperti Mahmud Syaluth (1889-1963). Walaupun demikian karya-karya Al-Khuli tentang teori penafsiran Alquran sering menjadi rujukan karena ia dipandang sebagai pembangun metode baru yaitu metode penafsiran bercorak sastra (Habibur Rahman, 2019).
Di antaranya beberapa karya beliau yang penting dalam bidang sastra Arab yang dijelaskan dalam buku Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar adalah Fi al-Adab al-Mishri (1943), Fann al-Qawl (1947).
Yang mana dalam dua buku ini terdapat metode kajian sastra yang ditekankan oleh Amin Al Khuli. Metode tersebut adalah al-naqd al-khariji (metode kritik ekstinsik) yaitu kajian gholistik yang mengacu pada sumber seperti sosial geografis dan al-naqd al-dakhili (metode kritik intrinsik) kajian yang mengarah langsung pada teks bacaannya.
Tawaran Al-Khuli mengenai pembangunan metode al tafsir al adabi li al-qur’an atau yang dikenal dengan tafsir susastra terhadap Alaquran memiliki sebuah tujuan atau sasaran. Yaitu untuk mendapatkan atau memahami pesan Alquran secara mendalam dan menyeluruh serta menolak atau menghindari sebuah tafsiran-tafsiran yang individual dan ideologis.
Dalam metode susastra tersebut, Al-Khuli mengedepankan dua prinsip dalam kajiannya yaitu studi terkait sekitar atau lingkup Alquran dan studi mengenai teks Alquran itu sendiri.
Prinsip pertama, mengedepankan pada kajian mengenai sosio historis Alquran seperti aspek-aspek turunnya wahyu, sosial kultural masyarakat dan lain sebagainya. Sedangkan prinsip kedua Al-Khuli yaitu penelusuran atau investigasi terhadap kata atau mufradat dalam Alquran yang kemudian dianalisis penggunaan kata tersebut dari awal pewahyuan, perkembangan dan pemakaiannya dalam Alquran.
Tafsir susastra yang dimotori oleh Al-Khuli merupakan sebuah pengembangan lebih lanjut dari gagasan Muhammad Abduh yakni al-manhaj al-kughawi aal-fanni yang terealisasikan dalam Tafsir al-Manar. Sehingga bisa dikatakan, pembaharuan metode tafsir Amin Al-Khuli dan Muhammad Abduh masih berhubungan.
Selain itu, metode tafsir susastra atau adabi yang dimotori Al-Khuli ini memiliki pengaruh yang cukup besar kepada diskursus studi tafsir Alquran yang dilakukan Sayyid Qutb. Seperti karya Sayyid Qutb yang berjudul al-taswir al-Fanni fi al-qur’an (1956) yang di dalam karya tersebut Qutb mengolaborasikan doktrin ijaz quran serta analisis simbol-simbol yang ada pada kisah-kisah dalam Alquran.
Selain berpengaruh pada penafsiran Sayyid Qutb, metode susastra Amin al-Khuli ini juga diikuti oleh beberapa muridnya. Di antaranya Khalaf Allah (w.1998), Syukri Ayyad, dan Aisha Abdurahman (w.2000) yang dikenal dengan Bint Syathi sebagai murid sekaligus istri Amin Al-Khuli.
Salah satu karya Bint Syathi yang memuat secara konsisten metode Al-Khuli adalah al-tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim tentang objektifitas. Di mana teks dalam Alquran saling menjelaskan satu sama lain. Karena gagasan Al-Khuli yang cukup menarik hingga beberapa sarjanawan juga mulai menggunakan serta mengembangkannya, hal ini menjadikan kajian tentang tafsir sastra ini dikenal hingga sekarang.