Salah satu pertemuan saya dengan buku yang benar-benar terkenang, terjadi pada suatu sore hujan di teras rumah simbah, rumah masa kecil ibu saya. Mungkin saya berumur sekitar 9 atau 10 tahun. Sepupu saya membawa sebuah buku cerita bercap milik negara, sisa dari rezim yang baru tumbang. Judulnya Elang Bercincin Emas, sialnya saya lupa nama penulisnya.
Saya hanya ingat tiba-tiba sudah duduk meringkuk dengan nyaman di atas kursi yang sudah tepos bantal dudukannya. Suara hujan terasa dekat sekali, tapi tidak mengusik. Tubuh di atas kursi telah terserap begitu dalam. Sekitar seperti lebur dan sunyi, hanya tubuh dalam cerita.
Saya tidak dibesarkan dari kultur keaksaraan (cetak) sangat serius seperti sering diwakili oleh koleksi perpustakaan pribadi nan memukau atau tradisi kelisanan kuat yang membuat setiap cerita yang disuarakan begitu magis dan menyihir. Tapi, ada buku-buku di meja bapak saya. Tentu selain kitab suci yang entah tidak lumrah disebut buku, ada buku doa, buku salat, buku Yassin, dan beberapa buku tafsir. Dua buku lain yang cukup menarik; buku cerita nabi dan cerita wali songo.
Cerita, itulah entitas membuat menarik dua buku ini. Saya pun lebih mengenal cerita Budi, Wati, Ani, Inu, atau Peter berhuruf latin di halaman buku pelajaran bahasa Indonesia berwarna hijau sebelum merasa terwajibkan mengerti huruf Arab untuk membaca buku suci.
Secara formal saya mengenal huruf-huruf latin di TK meski cara guru menyibak belantara kunci keaksaraan sama sekali tidak menarik, menantang, menggembirakan, dan misterius. Saya hanya ingat satu momentum yang cukup menyakitkan.
Saat itu, guru meminta anak-anak menyalin huruf ke buku tulis. Saya tidak punya buku tulis, kecuali buku bekas ala buku panduan penyuluhan kesehatan. Ibu guru marah, tapi saya tetap berusaha menyalin di sela-sela halaman putih yang kosong. Seingat saya, tulisan saya sangat buruk. Saya berhenti di huruf R.
Saya lebih mengingat suara ibu sebagai sumber kelisanan belajar mengeja. Biasanya di sela melipat baju, ibu menyambungkan huruf-huruf dan saya menyuarakan bunyi.
Huruf-huruf saling bertemu, menimbulkan pola, menciptakan ritme, dan menciptakan kata. Saya merasa hal itu sangat ajaib. Begitu kata terpola, seperti terjadi sesuatu. Saya membayangkan banyaknya kata-kata yang menghuni satu buku saja, berapa lama dan rasanya seperti apa saat selesai membacanya.
Bagaimana ada orang yang punya begitu banyak kata. Satu buku memang banyak kata, tapi bertahun-tahun setelahnya terasa betapa sangat sedikit satu buku itu. Saya akan bertemu lebih banyak buku, lebih banyak dari buku-buku di atas meja bapak yang secara tidak sengaja menjadi titik berangkat dari cara saya merengkuh buku, mengantar saya menjadi bagian dari umat pembaca tanpa perintah dan fatwa.
Saya pun bertumbuh. Ketika menemukan majalah-majalah lawas di pasar buku lawas Gladak, Solo, atau Blok M, Jakarta, ada sisa-sisa ketakjuban dibawa oleh bau apek, debu, pojok-pojok halaman yang gripis, atau jeglokan yang telah berkarat. Siapakah pembaca-pembaca cilik yang terhormat menjadi bagian kebudayaan membaca di Indonesia, sejak penerbitan majalah yang gemilang dan makmur di masa 50-an?
Majalah-majalah menampilkan pengalaman personal membaca dan sekian halaman menjadi semacam etalase memajang buku yang baru saja terbit. Iklan-iklan buku bacaan Indonesia dan terjemahan yang persuasif, bertarung dengan iklan Taro, susu Dancow, pensil 2B Staedler, permen karet Yosan, dan mentega Blueband.
Anak-anak Indonesia diajak menjadi penyantap buku. Seperti terekam di Bobo edisi No.1 Th. XX, 1992. Ada iklan “mendongeng bersama Enid Blyton.” Iklan sehalaman oleh penerbit Gramedia, total 12 seri buku seharga 1.800 rupiah. Penerbit memperkenalkan Enid bukan hanya penulis cerita serial Lima Sekawan atau Sapta Siaga, tapi juga serial dongeng.
Dikatakan, “Dalam seri ini, setiap buku menyajikan sekitar sepuluh sampai dua belas dongeng pendek. Ukuran bukunya sedikit lebih kecil dari buku saku. Dan jangan lupa, seri ini cocok untuk kalian gunakan sebagai kado juga untuk teman yang berulang tahun.” Iklan pintar menggoda.
Majalah anak Kawanku oleh pimpinan redaksi Toha Mohtar malah memiliki rubrik ulasan buku “Laporan Buku” yang ditulis anak. Rubrik berpotensi mengabarkan buku-buku yang memang telah dibaca oleh anak-anak. Laporan Buku Kawanku edisi 8-14 Janurai 1982, menyajikan laporan kumpulan cerpen Leila. S. Chudori berjudul Sebuah Kejutan (PT. Sumbangsih Kawanku dan Sinar Harapan) oleh Eisel.
Eisel tidak hanya menyajikan potongan-potongan cerita di buku, tapi juga memberikan pertimbangan, “Kelebihan Leila adalah pada gaya berceritanya yang lincah dan seringkali konyol. Ya, karenanya setelah membaca buku ini kita akan membayangkan alangkah enaknya jika Peter adalah teman sekelas kita.”
Di akhir, Eisel dengan percaya diri memberikan usul berbuku bagi teman-teman pembaca Kawanku, “Bukannya ngecap belaka jika dikatakan tak rugi menyisihkan uang jajan untuk membeli buku ini.”
Secara personal, saya dibuat terkekeh oleh pengakuan di rubrik “Pengalamanku” majalah Islam yang tidak islami banget Sahabat edisi 15-31 Maret 1983. Seorang remaja putri bernama Ratih Soeprapto dari Sleman, Yogyakarta, mengaku begitu menyukai membaca sampai lupa salat. Meski salat dan membaca seharusnya sama menjadi peristiwa sangat teologis, Ratih harus mendapatkan kompensasi dimarahi ibu, “Ibu selalu marah-marah, apabila aku lupa sholat, hanya karena membaca buku.” Tuhan yang baik tidak melarang membaca buku, tapi ibu yang baik terkadang memang melarang membaca “terlalu” banyak buku.
Jurnal Prisma edisi Mei 1987 pernah membuat laporan khusus tentang bacaan anak “Banjir Bacaan Untung Siapa?” oleh M. Ahmad Soemawisastra dan Edward S. Simandjuntak. Setelah 1973, pasar buku anak menggeliat karena ada gelontoran dana Inpres atau Instruksi Presiden untuk “memborong” buku bacaan anak.
Pengarang-pengarang bacaan anak bermunculan dan tentu penerbit berani menerbitkan buku anak dalam jumlah besar karena sudah tidak takut rugi. Mutu buku pun dipertanyakan. Namun, anak-anak saat itu memang mengalami suatu kondisi yang dibahasakan dengan bombastis oleh redaksi, “sakit gila baca”.
Setiap IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) menghelat pameran, murid-murid SD menyerbu. Gerai yang menyajikan buku-buku anak pasti ramai dan harus rela mengantre agar tidak berdesa-desakan, “setiap mengadakan pameran, IKAPI seakan-akan sedang menyelenggarakan pesta buku untuk anak-anak.”
Bukankah kesadaran buku sering memang harus lahir dari kondisi represif, luka bergelora, tekad paling bertekad, kemiskinan paling keparat akut, dan rasa keterasingan dari sekitar, yang dialami orang-orang di pelbagai sudut dunia.
Hanya perlu satu momentum anak mengingat masa kanak yang yang berharga bersama buku dan membaca. Di waktu tepat dan jarang terduga, bisa terjadi lewat tatapan penasaran mengamati seseorang membaca buku di kereta api, dari cerita di potongan pembungkus tempe, majalah bekas, ilustrasi imajinatif yang bisa timbul saat dibuka dan ditutup, persewaan buku yang selalu ingin diberantaki, kunjungan kecil ke toko buku, atau waktu-waktu kelisanan di atas ranjang.
Jika seorang anak tidak lahir dari keluarga intelektual melek buku, ia akan sadar bahwa tidak ada buku akan diwariskan. Warisan kata-kata harus diciptakan sendiri.
(Edisi panjang tulisan ini disampaikan sebagai orasi di perhelatan Kampung Buku Jogja (KBJ) 2019 di PKKH UGM, 5 September 2019)