Di kalangan para sufi sendiri telah timbul gerakan pembaharuan untuk mengintegrasikan, mendamaikan, bahkan mengkritik ajaran tasawuf. Gerakan pembaharuan ini terjadi di seluruh negara Islam pada zamannya, salah satunya di Nusantara.
Ar-Raniri menjadi pelopor gerakan pembaharuan Islam di Nusantara yang namanya melejit ke seluruh pelosok dunia Islam dengan karyanya Hujjah As Sidiq dalam menggugat gagasan Wahdah al-Wujud yang selama ini diyakini dalam tradisi Islam Nusantara khususnya di Pahang dan Aceh.
Doktrin Wahdah al-Wujud telah membangkitkan perdebatan panjang tak berkesudahan antara pengecam dan pembela doktrin ini. Persoalan inti dalam Wahdah al-Wujud yang diperdebatkan adalah hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Syekh Nur Ad Din Ar Raniri, salah satu yang memperdebatkan doktrin ini, namanya begitu familiar di masyarakat Nusantara, khususnya di Tanah Melayu seperti Aceh.
Tentang masuknya ke Nusantara, tidak ada data yang akurat dan pasti menerangkannya. Namun demikian, ada kemungkinan rentan waktu selang antara selesainya menunaikan ibadah Haji pada 1621 dan 1637, dia sudah mengunjungi dan bahkan tinggal di Nusantara.
Keberadaannya di Aceh membuat semua orang merasa takjub dan terbelakak, sebab siapa sangka, ar-Raniri dapat memperoleh jabatan yang begitu prestisius berupa Syaikh al-Islam setibanya di Aceh yang sebelumnya belum pernah menjalin hubungan baik dengan istana.
Ketika menduduki jabatan ini, sejatinya menempati kedudukan yang tinggi di bawah Sultan sendiri, bahkan lebih berpengaruh dibanding dua pejabat tinggi lainnya, Qadi Malik al-Adil dan Orang Kaya Maharaja Srimaharaja.
Kedudukan ar-Raniri bukanlah semata bersifat politis dan ekonomis, tetapi sesungguhnya lebih bersifat agamis. Setelah ia merasa memperoleh landasan yang kuat di Kesultanan, ia pun melancarkan pembaharuan keagamaannya di Aceh. Ia berasumsi bahwa Islam di wilayah ini sudah dikacaukan dengan kesalahpahaman atas doktrin-doktrin Sufi.
Sepanjang kariernya sebagai seorang mufti besar, alim, dan penulis yang produktif. Ia habiskan waktu dan tenaganya hanya untuk menyerang doktrin wujudiyah.
Hujjah as-Sidiq li Daf az-Zindiq, merupakan karya monumental, bahkan bisa dikatakan sebagai magnum opusnya ar-Raniri dalam membantah semua gagasan tentang wujudiyah baik untuk kalangan mutakallimum, filosof, dan sufi itu sendiri.
Sebagaimana diketahui di dalam bagian awal kitab ini, ia ditulis atas permintaan teman sejawatnya, walaupun tidak menyebutkan namanya. Isinya secara keseluruhan adalah tentang aqidah dan madzhab-madzhab mutakallimun, ahli tasawuf (sufi), ahli filsafat (filosof), dan kaum wujudiyah.
Yang menjadi motif atau tujuan ar-Raniri menulis kitab ini adalah untuk menunjukkan kesesatan kaum wujudiyah, penganut doktrin Wahdah al-Wujud, dengan cara memperbandingkan ajaran-jaran mereka dengan ajaran atau akidah golongan lain. Ar-Raniri coba menampik pandangan-pandangan kelompok Wujudiyah setelah terlebih dahulu mengelaborasi paham-paham yang lain, yaitu paham-paham kaum Mutakallimun, kaum sufi, dan kaum filsuf.
Ar-Raniri menandaskan kalangan Mutakallim berpendapat bahwa wujud terdiri dari dua macam: Wujud Allah dan wujud alam. Wujud Allah adalah Wajib al-Wujud sedangkan wujud alam adalah mumkin al-wujud, yakni wujud yang diciptakan oleh Allah Swt.
Wujud ini, wujud yang dimungkinkan dapat berdiri hanya bersama dengan al-Haqq. Dengan demikian kedua hakikat wujud itu berbeda, karena al-Haqq sifatnya kekal (qadim) lagi menciptakan, sementara hakikat alam bersifat baru (muhdas) lagi diciptakan.
Dengan begitu bagi kelompok Mutakallim, bahwa wujud pada gilirannya dibagi ke dalam dua term: Wujud Hakiki dan Wujud Majazi. Wujud kedua ini, menjadi milik bagi wujud pertama. Bagi Ar-Raniri kedua wujud ini harus dibedakan, sebab jika tidak, maka keduanya pastilah bersatu.
Jika seseorang kemudian menganggap kedua wujud yang berbeda ini bersatu, dengan kata lain, antara al-Haqq dan alam bersatu, maka sesungguhnya ia telah menjadi kafir. Sebab, ia mengandaikan pemikiran mengenai kesatuan hakikat dan wujud antara Allah dan alam (Ar-Raniri, 2003:8)
Bagi Kautsar Azhari Noer alam merupakan penampakan dari Tajalli Allah al-Haqq dan dengan demikian segala sesuatu dan segala peristiwa di alam ini adalah entifikasi (taayun) al-Haqq. Karena itu, baik Tuhan ataupun alam, keduanya tidak bisa dipahami kecuali sebagai satu kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis (Kautsar, 1995:49).
Kontradiksi ontologis dalam realitas bukan hanya bersifat horizontal tetapi juga bersifat vertikal. Kontradiksi-kontradiksi itu terlihat antara Yang Tampak (al-Zahir) dan Yang Batin (al-Batin), antara al-Awwal dan al-Akhir, antara al-Wahid dan al-Katsir, dan antara tanzih dan tasybih.
Dengan begitu, realitas adalah satu, tetapi mempunyai dua sifat yang berbeda: sifat ketuhanan dan sifat kemahlukan. Sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan hadir dalam segala sesuatu yang ada di alam. Hal ini yang menjadi titik serang ar-Raniri kepada semua pengkaji dan pelaku di dalam Islam, mulai dari kelompok Mutakkalim sampai kelompok Wujudiyah. Bagaimanapun gagasan mengenai wujudiyah akan terus menyeruak penuh dengan perdebatan di kalangan umat Islam.
Saya menduga, Ar-Raniri terjatuh dalam urusan politis ketika menyerang kelompok umat Islam yang mengembangkan ajaran esoteris Islam versi falsafi.
Tapi tetap kita harus mengapresiasi penuh gerakan pemurnian Islam yang dilakukan oleh Ar-Raniri melalui kitabnya Hujjah As Sidiq, tanpa Ar-Raniri dalam satu sisi, Islam akan terlihat mandeg, tidak berkembang, maka dengan begitu pantas kiranya ar-Raniri disebut sebagai Mujaddid Neo-Sufisme abad ke-XVII.