Bahasa Arab dan Ketimpangan Gender dalam Wacana Islam.
Membicarakan perempuan sepanjang sejarah berarti membicarakan penindasan, pemerkosaan, dan dominasi laki-laki atas mereka. Kita akan menyaksikan bagaimana perempuan telah menjadi makhluk yang termarjinalkan dalam berbagai kebudayaan lama. Patriarki merupakan sistem sosial yang menjadi sumber dari ketidakadilan gender.
Pasalnya, sistem ini telah menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal terhadap segala-galanya, mencakup peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Sedangkan perempuan selalu dipaksa mengambil peran yang kecil.
Dalam masyarakat patriarki, perbedaan gender bukan saja bermakna perbedaan kelamin, namun lebih kepada perbedaan peran sosial yang harus mereka jalani dalam kehidupan. Menjadi laki-laki berarti menjadi seorang pemimpin dan penguasa (setidaknya pemimpin keluarga), sedangkan menjadi perempuan berarti menjadi makhluk kelas kedua yang diabaikan dan harus menjalankan kehidupan yang dibatasi norma-norma serta adat yang berlaku.
Hingga kini, budaya patriarki masih eksis dan langgeng meskipun gerakan-gerakan aktivis pembela hak perempuan sangat gencar. Isu kesetaraan gender pun dibicarakan di mana-mana. Namun, hal ini tidak serta merta menghilangkan praktik kekerasan dan penindasan pada perempuan.
Salah satu penyebab langgengnya budaya patriarki ini di tengah masyarakat dikarenakan adanya legitimasi teologis. Tak terkecuali Islam, wacana yang menempatkan posisi laki-laki berada di atas perempuan sangat menonjol ditampilkan oleh para ulama dan pemikir Islam.
Meskipun isu kesetaraan gender juga telah dibahas dalam Islam, kebanyakan perempuan Islam zaman sekarang tetap saja tidak mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki terutama dalam kebebasan menentukan pilihan hidup, melanjutkan pendidikan, bekerja, serta gaji yang setara.
Menilik persoalan kedudukan perempuan dalam agama, tentu tidak bisa terlepas dari kitab suci sebagai sumber otoritatif terhadap semua nilai-nilai dan ajaran suatu agama. Dalam hal ini, Islam menempatkan Alquran sebagai sumber utama ajarannya. Sebagaimana yang kita ketahui Alquran menggunakan bahasa Arab.
Hal ini mendorong umat Islam untuk mempelajari bahasa tersebut. Suatu bahasa terikat pada logika dan pola pikir tertentu yang dipengaruhi kebudayaannya. Mempelajari bahasa Arab sejatinya mempelajari karakter bangsa Arab itu sendiri.
Dari sisi ini, kita bisa melihat bagaimana pengaruh kebudayaan dan pola pikir masyarakat Arab terhadap bahasa Arab, serta bagaimana pengaruh bahasa Arab itu sendiri terhadap Alquran. Dalam bahasa Arab, kita mengenal adanya dua jenis isim (nama benda), yakni isim mudzakkar yaitu segala sesuatu yang bergender laki-laki dan isim mu’annats yaitu segala sesuatu yang bergender perempuan. Oleh karena itu, kita tidak bisa menemukan isim yang netral (tidak bergender) dalam bahasa Arab.
Dalam bahasa Arab kita juga akan menemukan kaidah dhamir mudzakkar li at-taghlib yang menyatakan bahwa dhamir mudzakkar (laki-laki) mengalahkan dhamir mu’annats (perempuan).
Misalnya, dalam sebuah perkumpulan terdapat perempuan yang jumlahnya seribu, sejuta, semilyar, atau berapapun banyaknya, jika kemudian datang seorang laki-laki memasuki perkumpulan tersebut, maka semua orang dalam perkumpulan itu terhitung dhamir mudzakkar (laki-laki). Berapapun perempuan akan kalah hanya dengan satu laki-laki.
Kaidah ini bisa kita temukan dalam Alquran misalnya dalam perintah puasa, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2] : 183).
Kata kum dalam ayat tersebut menunjukkan makna dhamir mudzakkar li at-taghlib artinya perintah puasa tersebut tidak terbatas untuk laki-laki saja, namun ada makna perempuan di dalamnya yang dikalahkan oleh laki-laki. Kaidah di atas menunjukkan maskulinitas dalam ayat Alquran. Perempuan eksistensinya menjadi hilang (diabaikan) dihadapan laki-laki. Selain itu ada begitu banyak contoh lain yang bisa kita temukan dalam Alquran.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan budaya suatu bangsa. Sehingga contoh di atas menunjukkan pada kita bagaimana budaya masyarakat Arab dalam memandang eksistensi perempuan. Saat Islam hadir di Mekkah, ada suatu budaya mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Perempuan dianggap aib dan bencana yang mengancam kehormatan keluarga.
Allah berfirman dalam Alquran :
“Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk (lahirnya anak perempuan) yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16] : 59).
Allah menjelaskan perilaku orang-orang Arab jahiliyah yang sama sekali tidak mengharapkan anak perempuan karena dianggap lemah dan tidak bisa apa-apa. Anak perempuan tidak mungkin bisa menjadi seorang pemimpin ataupun penyair. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menimbulkan fitnah bagi keluarga.
Diskriminasi gender ini juga kita temukan dalam surah An-Nisa’ berkenaaan dengan ayat poligami “…Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat…”(QS. An-Nisa’ [4] : 3).
Kata maa pada ayat di atas, dalam ilmu nahwu disebut maa maushul yang digunakan pada benda yang tidak berakal. Ini juga menjelaskan pada kita bahwa perempuan dalam struktur bahasa Arab kadang dianggap sebagai barang atau benda yang tidak berakal. Sehingga ini merupakan bentuk diskriminasi gender dalam segi kebahasaan.
Bagaimanapun bahasa hanyalah simbol yang digunakan untuk menjelaskan makna. Alquran yang menggunakan bahasa Arab sangat erat kaitannya dengan budaya bangsa Arab. Al-Qazwini dalam kitab Al-Idhah fi Ulum al-Balaghah menjelaskan bahwa kosa kata yang dipakai dalam bahasa adalah simbol bagi makna yang ada di baliknya.
Dari sini kita bisa memahami bahwa bahasa hanyalah alat penyampai makna. Sehingga betapapun pentingnya bahasa, tidak akan melebihi pentingnya makna yang ingin disampaikan.
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Sehingga diskriminasi gender bukanlah bagian dari ajaran agama Islam. Allah swt. berfirman “Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah kamu kerjakan” (QS. An-Nahl [16] : 97).
Ayat ini menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan tidaklah dibedakan dalam ketakwaan dan kesalehan kepada Allah swt. Memahami bahwa bahasa hanyalah simbol akan membuat kita lebih bijak dalam memposisikan perempuan dalam agama. Dengan ini kita lebih bisa mewaspadai bias gender dalam wacana Islam. Demikian penjelasan tentang bahasa Arab dan ketimpangan gender dalam wacana Islam. Wallahu a’lam.