Dari kecil hingga remaja, pendidikan Hasyim Asy’ari muda dibimbing penuh oleh ayahnya yang bernama Kiai Asy’ari. Mulai dari membaca Al-Qur’an, beberapa kitab kuning sampai beliau mahir menguasainya.
Setelah itu, beliau melanjutkan misi pengembaraan ilmunya ke berbagai pondok pesantren. Seperti Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Pesantren Langitan Tuban, termasuk juga berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan Madura.
Berkat ketekunan dan semangat dalam mencari ilmu, lantas tidak menjadikan KH Hasyim Asy’ari sombong atas kebesarannya ilmunya. Apalagi angkuh hanya karena nasab beliau masih sambung dengan salah satu tokoh penyebar Islam di Jawa atau dengan Sultan Hadiwijaya, Raja pertama Kerajaan Pajang.
Karya Hadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) itu cukup banyak. Spalagi setelah cucu Kiai Hasyim, Gus Ishom Hadziq, mengumpulkan dan mengeditorial kembali karya-karya Kiai Hasyim. Kumpulan karya itu kemudian menjadi kitab induk bernama Irsyad al-Sari, sehingga bisa dipelajari oleh masyarakat luas.
Dari kesekian karya Kiai Hasyim Asy’ari, ada satu kitab yang selalu menjadi pedoman, bahkan menjadi kurikulum wajib di beberapa pesantren, yaitu kitab adab al-‘alim wa al-muta’allim.
Pesantren Tebuireng misalnya, rutin setiap minggu pagi, dengan sistem bandongan, kitab dibacakan oleh kiai di depan santri. Harapannya agar menjadi bekal dan pedoman, tidak hanya untuk santri tetapi juga murid, dalam berperilaku kepada dirinya dan kepada gurunya.
Menurut KH Hasyim Asy’ari, ada dua belas (12) adab murid kepada guru dalam kitab adab al-‘alim wa al-muta’allim. Adab ini menjadi fundamental bagi seorang santri (murid) bertata krama kepada gurunya.
Santri juga manusia, seluruh adab itu tidak bisa semuanya ada dalam diri santri, setidaknya mengusahakan salah satu dari kriteria tersebut menjadi pegangan ketika santri beretika kepada kiai, atau murid kepada guru.
Pertama, seyogianya santri meluruskan pandangan dan berikhtiar kepada Allah Swt. dalam memilih seorang guru, dibarengi dengan bersungguh-sungguh memperbaiki akhlak dan adab kepadanya.
Kiai Hasyim mengindikasikan guru yang baik adalah; istikomah, memiliki jiwa kasih sayang, muru’ah (harga diri), dan siyanah (hati-hati). Juga kompeten dalam hal pengajaran serta pemahaman.
Kedua, bersungguh-sungguh dalam memilah dan memilih guru yang memiliki pemahaman syari’at yang kuat serta dipercaya (karena kealimannya) oleh guru-guru lain pada masanya; dilihat dari tekun dalam penelitian serta memiliki pergaulan dan relasi yang luas.
Kiai Hasyim melarang keras mencari guru yang hanya mengandalkan pembelajarannya dari kitab saja, tanpa digurukan juga. Karena menurut Imam Syafi’i, orang seperti itu hanya menyia-nyiakan hukum.
Ketiga, patuh kepada guru di segala perkara juga tidak menyimpang dari pendapatnya. Perumpamaan murid dan guru seperti pasien dengan dokter. Maka apa yang diperintah dan didawuhkan oleh guru, murid harus patuh dan taat kepadanya. Berusaha mencari barakah dari guru dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt.
Keempat, murid memandang guru dengan pandangan kemuliaan dan kehormatan serta meyakini sempurna derajatnya. Karena hal itu dapat menjadi sebab kemanfaatan ilmu murid.
Kata ulama salaf, “Barang siapa yang tidak mengakui kemulian gurunya, maka tidak akan bahagia selamanya.” Contohnya memanggil guru dengan panggilan ‘ustadz’ atau ‘Kiai’, tidak memanggil langsung namanya.
Kelima, mengetahui hak guru dan tidak lupa dengan jasa beliau, baik semasa hidup atau setelah wafatnya. Kiai Hasyim juga menganjurkan untuk gemar silaturahmi kepada sanak famili, saudara, juga kerabat guru. Ketika guru sudah wafat, sebagai murid hendaknya ziarah ke makam, mendoakan serta memohon ampunan atas segala khilaf guru kepada Allah Swt.
Keenam, sabar dan mengerti dengan perilaku kasar atau celanya akhlak guru. Tetapi, jangan sampai kita merasa hilang rasa takzdim dan hormat kepadanya.
Tidak berprasangka buruk hanya karena tindakan kasar guru. Mungkin hal itu bisa menjadi tanda kasih sayang guru demi kebaikan dan kemaslahatan muridnya.
Ketujuh, tidak diperkenankan masuk ke ruangan guru yang bukan pada jadwalnya kecuali jika diberi izin olehnya. Jika kita meminta izin tetapi guru tidak mengizinkan, maka sebaiknya kita kembali serta tidak mengulang-ulang perizinan itu.
Kiai Hasyim memberi contoh dengan mengetuk pintu rumah guru dengan tiga kali ketukan atau dengan jari-jari tangan. Ketukannya tidak keras tetapi pelan dan pada sisi samping pintu, tidak tengah.
Kedelapan, duduk di depan guru dengan penuh tata krama. Seperti orang yang sedang duduk tasyahhud, hanya saja tidak meletakkan tangannya di atas paha. Atau dengan duduk bersila penuh tawaddhu’, khusyuk, dan tenang.
Tidak menoleh ke kanan atau ke kiri kecuali jika ada dhorurat dan tidak membuat gaduh ruangan. Tidak melakukan aktivitas apa pun yang dapat mengganggu suasana ruangan atau menjadikan guru kecewa kepada murid.
Kesembilan, memperbaiki ucapan dan komunikasi kepada guru. Sebagai orang Jawa, etika murid kepada guru dalam hal komunikasi menggunakan bahasa krama inggil. Karena bagaimanapun juga, guru juga orang tua kita. Tepatnya dengan murabbi, orang tua yang menunjukkan kita kepada jalan yang benar.
Kesepuluh, jika murid mendengar guru menerangkan hukum suatu masalah atau bercerita tentang suatu kisah atau sedang melagukan suatu syair, maka bergegas untuk mendengar, merasa haus, dan senang seoalah belum mendengar sama sekali sebelumnya. Jika guru bertanya apakah sudah tahu tentang suatu ilmu, maka dijawab dengan ‘belum tahu’, sebagai bentuk hormat dan takzdim kepada guru.
Kesebelas, tidak mendahului guru dalam menjelaskan suatu masalah atau menjawabnya. Tidak sok-sokan tahu apalagi pamer kepada guru. Tidak memotong pembicaraan guru, tetapi menunggu hingga beliau selesai berbicara baru kita menjawabnya.
Lalu tidak berbicara dengan orang lain ketika guru menjelaskan. Setidaknya pikiran kita hadir dan ditujukan untuk mendengar penjelasan guru.
Kedua belas, jika guru memberi sesuatu maka diterima dengan tangan kanan. Jika kita menyodorkan kitab atau meminjamkan pena kepada guru, diusahakan sudah dalam keadaan terbuka.
Selain itu, jika posisi kita dengan guru terlalu jauh, maka sebaiknya kita maju dan memberikan kepada guru. Jika berjalan dengan guru, kita berada di belakangnya. Begitu juga ketika guru lewat, kita tunduk dan menghormati kepadanya.
Demikian 12 adab murid terhadap guru menurut KH Hasyim Asy’ari. Kiranya dua belas akhlak tersebut hanya gambaran besar etika murid kepada guru. Selebihnya, kewajiban kita, murid, untuk menghormati dan menghargai kepada guru memang penting dan besar nilainya.