Kalau kita pikir-pikir, kehidupan kita selalu berkutat pada setidaknya empat hal ini: Spiritual, sosial, intelektual, dan finansial. Mengevaluasi empat hal itu, di tahun baru ini, rasa-rasanya adalah sesuatu yang harus dan penting untuk kita lakukan.
Kita tentu menyadari bahwa hakikat hidup adalah untuk beribadah. Wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Evaluasi diri, oleh karena itu, mesti berangkat dari pertanyaan: Bagaimana ibadah kita selama ini? Bagaimana kita melaksanakan lima shalat yang Allah wajibkan kepada kita mulai dari Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya? Apakah sudah tertib, atau masih bolong-bolong?
Kalau masih bolong-bolong, maka tekad dan komitmen kita adalah bagaimana agar kita melaksanakan kewajiban kita itu dengan tertib. Jika sudah tertib, maka tekad dan komitmen kita adalah meningkatkan kualitas shalat kita. Syukur-syukur mulai menambahinya dengan shalat-shalat sunah.
Benar bahwa mengukur spiritualitas diri tidak harus dengan shalat. Akan tetapi, seperti nasihat orang tua-orang tua, “Kalau shalatnya baik, biasanya ibadah yang lain juga baik.” Kita bisa melanjutkan dengan pertanyaan: Bagaimana puasa kita? Bagaimana zakat kita? Dan seterusnya.
Kalau spiritual adalah ibadah, maka sosial adalah muamalah. Kalau yang pertama hablun minallah, maka yang kedua adalah hablun minannas. Hubungan sesama manusia.
Tidak hanya hubungan kita dengan Tuhan yang perlu kita evaluasi. Hubungan kita dengan orang lain juga perlu kita evaluasi. Dalam hal ini, evaluasi diri bisa berangkat dari pertanyaan: Bagaimana selama ini kita bersikap? Bagaimana selama ini kita memperlakukan orang lain?
“Al-Muslimu,” kata Nabi, “man salimal muslimun min lisanihi wa yadihi.” Orang Islam adalah orang yang, orang Islam lain selamat dari lisan dan tangannya. Kalau selama ini kita masih sering menghibah, maka tekad dan komitmen kita adalah menghilangkan kebiasaan itu.
Kalau selama ini kita masih abai dengan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, misalnya, maka kita harus melatih diri untuk aktif dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Sebab, saleh spiritual saleh ritual saja tidak cukup. Kita perlu juga saleh sosial.
Ternyata bukan hanya spiritual (mujahadah) dan sosial (jihad), kita perlu juga senantiasa mengevaluasi intelektualitas (ijtihad) kita. Dunia dan ilmu pengetahuan terus berkembang, sedangkan pengetahuan kita amat sangat terbatas.
Pertanyaan yang selayaknya kita tanyakan kepada diri kita sendiri adalah: Seiring dengan perkembangan zaman dan perjalanan waktu, apakah kita meng-upgrade pengetahuan kita? Apakah wawasan kita bertambah?
Barangkali ada pertanyaan semacam ini: Sudah berapa buku yang kita baca selama setahun ini? Saya ingat pesan guru saya dulu, “Kita sekarang dengan kita lima tahun yang akan datang sama saja (dalam hal pengetahuan), kecuali kalau kita membaca buku.”
Kalau selama setahun ini kita tidak menambah sediktpun pengetahuan, maka sudah semestinya kita melakukan “taubatan nasuha”. Bertobat sebenar-benarnya dengan menyadari bahwa akal kita juga butuh asupan.
Hal yang satu ini juga tidak boleh diabaikan. Kita selama ini menghabiskan uang yang kalau ditotal, selama setahun saja bisa sampai puluhan atau ratusan juta, bahkan mungkin ada yang milyaran rupiah.
Pertanyaan penting yang harus senantiasa kita tanyakan adalah: Dari mana uang itu, dengan cara apa ia diperoleh, dan untuk apa digunakan? Sebelum kita berbicara alokasi, memang seharusnya kita memastikan bahwa uang itu halal dan diperoleh dengan cara yang halal juga.
Apabila dua hal itu sudah jelas, barulah kita menjawab pertanyaan ketiga: Untuk apa ia dibelanjakan? Kita hidup di era digital di mana godaan konsumerisme begitu nyata melalui platform-platform belanja online.
Kemudahan itu berkah sekaligus ujian bagi kita: Kadang-kadang kita membelanjakan uang kita untuk hal-hal yang tidak perlu. Apa yang disebut finansial dalam konteks ini bisa dimaknai dengan lebih luas, yakni hal-hal yang berkaitan dengan materi.
Di luar empat hal tersebut, kita juga harus menyadari nikmat sehat. Diberi mata yang bisa melihat dengan normal, telinga yang bisa mendengar dengan normal, dan seterusnya, adalah kenikmatan yang luar biasa.
Nikmat sehat ini, umumnya kita anggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sehingga kita acap kali lupa mensyukurinya. Pandemi Covid-19 yang sudah 2 tahun ini mestinya membuat kita lebih menyadari dan mensyukuri arti penting kesehatan.
Semoga kita menjadi pribadi yang senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup kita. Semoga 2022 menjadi tahun yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Amiin.