Pondok pesantren dikenal sebagai pusat pengajaran Islam di Indonesia yang telah berjalan sejak 3-4 abad silam. Keberadaan pesantren tidak pernah bisa dilepaskan dari kitab Islam klasik, atau biasa disebut dengan kitab kuning.
Kitab-kitab yang diajarkan terdiri dari berbagai cabang keilmuan Islam, seperti Al-Quran dan tafsir, teologi (aqidah), fikih, hadis, tasawuf, ilmu bahasa Arab, dan lain-lain.
Hal demikian ini memang sudah menjadi pengetahuan umum. Akan tetapi, ada hal yang perlu dipahami lebih jauh sehubungan dengan proses pengajaran Islam melalui kitab-kitab klasik.
Sebagai contoh pada akhir abad 19 dan awal abad 20, peredaran buku/kitab cetak masih begitu terbatas aksesnya. Apalagi abad-abad sebelumnya, di mana teknologi cetak belum muncul, tentu tidak mudah untuk mengakses suatu karya, keculi mendatangi perpustakaan.
Lalu pertanyaannya, bagaimana para santri di kawasan Nusantara zaman kuno bisa mempelajari kitab kuning jika penyebaran kitab [cetak] masih belum merata?
Jika jawabannya ke Hijaz, tentunya tidak semua santri mampu atau memiliki biaya untuk merantau ke sana. Hanya orang-orang tertentu yang mampu pergi ke sana.
Sebagian dari mereka yang mampu dan belajar di sana memang kemudian pulang ke Indonesia, lalu mengajar hingga mendirikan pesantren. Namun, bukan berarti kepulangannya membawa ratusan atau ribuan kitab versi cetak untuk dibagikan gratis ke masyarakat.
Di samping mendirikan pesantren, sebagian juga ada yang menulis dan menerbitkan kitab-kitab beraksara pegon, seperti KH Sholeh Darat, Semarang. Tetapi, jika dikatakan santri menggunakan kitab-kitab cetak beraksara pegon‒yang mulai masif beredar di awal-awal abad dua puluh‒sebagai materi utamanya, tentunya bukan jawaban yang memuaskan.
Alasannya, pertama, sejak dari dulu hingga sekarang pesantren dikenal aktif mengajarkan ilmu-ilmu bahasa Arab kepada para santrinya. Dengan kata lain, kecil kemungkinan kitab beraksara pegon di masa itu menjadi materi belajar utama atau yang paling dominan di pesantren.
Kedua, jika merujuk langsung teks-teks beraksara pegon, seperti karya Kiai Sholeh Darat, dalam setiap pendahuluan kitab secara jelas sering ada pernyataan, “Diperuntukkan bagi masyarakat awam yang tidak paham bahasa Arab.” Sementara itu, santri-santri di pesantren diajari ilmu bahasa Arab.
Tentu ini menjadi pertanyaan besar jika pesantren-pesantren di masa itu dianggap lebih dominan menggunakan kitab beraksara pegon. Lantas apa fungsinya belajar bahasa Arab jika mayoritas materi ajar utamanya adalah kitab-kitab beraksara pegon?
Sebenarnya masih ada beberapa alasan lain di balik pertanyaan tersebut. Seperti halnya tempat penerbitan yang masih di luar negeri. Lalu kontrol pemerintah kolonial terhadap peredaran kitab-kitab keislaman.
Jika kenyataannya seperti demikian, lalu bagaimana santri zaman dahulu belajar kitab kuning ketika akses terhadap kitab-kitab cetak masih terbatas?
Zaman dahulu para santri terbiasa “menyalin” kitab-kitab yang dibawa oleh kiainya saat belajar di Timur Tengah. Mereka melakukan ini dengan penuh gairah dan semangat menuntut ilmu.
Jika merujuk kajian Ahyad Amiq dalam “Lektur Keagamaan dalam Pengajaran Teologi Islam di Pondok Pesantren Abad 18-20 di Indonesia” (2009: 7), memang tidak semuanya melakukan penyalinan secara mandiri. Sebagian orang, terutama yang memiliki kelebihan harta, rela meminta tolong kepada orang lain untuk menyalinkan kitab yang diinginkannya. Tentunya dengan sedikit ganti keringat yang lebih dari cukup, yang ternyata bisa digunakan untuk menunaikan ibadah haji. Seperti sepasang ekor sapi untuk satu salinan kitab fathul qarib, dan dua pasang sapi untuk salinan al-Qur`an.
Salinan-salinan inilah yang kemudian menjadi kurikulum atau materi belajar santri selama di pesantren. Meski begitu, jika mengacu cara pandang Amiq (2015) dalam disertasinya di Universitas Leiden, anggapan ini agaknya terlalu cepat dan kurang begitu didukung oleh “bukti historis” yang kuat, sekalipun manuskrip tersebut berasal atau tersimpan di pesantren, karena bisa jadi hanya sebatas koleksi pribadi kiai dan tidak diajarkan kepada para santri.
Amiq (2015) dalam penelitian komprehensifnya terhadap 354 manuskrip dari lima pesantren di Jawa Timur. Ia menyebutkan bahwa untuk membuktikan sebuah manuskrip apakah dulunya memang benar-benar dipelajari atau menjadi bahan ajar di pesantren. Maka, bisa dilihat dari salah satu dari tiga hal berikut yang terdapat di manuskrip.
Pertama, harakat. Terlihat sepele namun harakat ini memiliki peran yang begitu krusial, karena merepresentasikan kemampuan ilmu bahasa Arab seseorang. Salah harakat bisa fatal akibatnya.
Contoh kecil adalah satu kata yang terdiri dari tiga huruf; dzal, kaf, dan ra`. Ini memiliki beberapa variasi harakat dan maknanya juga berbeda ketika harakatnya berubah. Demikian juga tergantung pada letaknya di suatu kalimat.
Karena itu, menurut Amiq, harakat ini sangat berkaitan erat dengan tingkat pendidikan. Semakin rendah level pendidikan santri, semakin penuh isi kitabnya dengan harakat.
Kedua, terjemahan jenggotan atau ‘makna gandul’. Kiai saat mengajar mendikte makna per kata, kemudian santri mencatat di kitabnya masing-masing. Ini adalah sebuah tradisi khas di pesantren yang sudah dilakukan sejak dari dulu. Biasanya, santri mencatat makna kata dan kaidah bahasa dengan sebuah simbol tepat di bawah teks dalam kitabnya.
Ketiga, catatan pinggir. Catatan pinggir ini sangat khas dalam tradisi penyalinan kitab kuning atau manuskrip. Catatan pinggir dalam manuskrip, khususnya yang dikaji oleh Amiq bukanlah matan dari syarah sebagaimana terdapat dalam beberapa kitab kuning versi cetak. Namun, catatan pinggir ini berisi banyak hal.
Dalam penelitian Amiq, catatan pinggir bisa berupa komentar atas isi kitab, informasi kitab lain yang menyediakan penjelasan lebih detail atau berbeda dengan kitab yang sedang dipelajarinya. Selain itu, juga membenarkan kata yang salah dalam kitab yang disalinnya, melengkapi redaksi kalimat yang kurang sempurna, serta informasi tentang pemilik kitab, tanda tangan, dan nama penyalin kitab.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada empat cara khas seorang santri zaman kuno saat belajar kitab kuning, yaitu; menyalin kitab lebih dahulu, kemudian mengharakati, memaknai gandul, dan memberi catatan pinggir.
Yang perlu dicatat, empat cara ini tidaklah paten, karena ada satu atau beberapa cara yang terkadang tidak dilakukan santri. Misal menyalin kitab yang bisa dipasrahkan ke orang lain atau tidak mengharakati per kata karena level belajarnya sudah tinggi.