Berbicara soal Adam dan Hawa, dalam pikiran kita sering kali tertuju pada asal-usul perempuan (Hawa) yang tercipta dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Pengetahuan demikian telah mengakar di kalangan muslim Indonesia, sebab ketika belajar sejarah sering diajarkan di lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah diniyah dan majelis taklim.
Sayangnya, asumsi mengenai teori penciptaan manusia tersebut berdampak sangat luas dan mendasar terhadap konsep hierarkis dalam struktur kehidupan antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya, ada persepsi tentang perempuan diciptakan karena adanya laki-laki, bahkan keberadaan perempuan dianggap sebagai ‘pelengkap’ hidup laki-laki. Persepsi ini berakibat munculnya anggapan bahwa derajat perempuan di bawah laki-laki dan ‘kemanusiaan’ perempuan tidak sempurna layaknya laki-laki.
Berikut ini salah satu ayat yang sering menjadi rujukan bagi subordinasi penciptaan perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبً
“wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian, yang telah menciptakan kalian dari esensi yang satu, kemudian menciptakan dari jenis yang sama (esensi yang satu tersebut) pasangannya, lalu dari keduanya, Dia mengembangbiakkan para laki-laki dan perempuan dengan banyak. Bertakwalah kepada Allah, yang dengan menggunakan nama-Nya, kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah itu selalu mengawasi kalian.” (Q.S. al-Nisaa’ [4] : 1)
Tafsir yang mengakar di masyarakat, kata nafsin wahidah (نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ) ditafsirkan sebagai Nabi Adam, sedangkan dan kata zawjaha (زَوْجَهَا) diartikan Hawa (orang Indonesia sering menyebut “Siti Hawa”).
Menurut Kiai Faqihuddin Abdul Qodir, dalam bukunya yang berjudul Qiraah Mubadalah, jika menggunakan pembacaan metode muhkam-mutasyabbih maupun qath’i-zhanny, maka sama sekali tidak ada pernyataan yang tegas mengenai penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, yang berimplikasi pada simpulan perempuan tercipta dari laki-laki.
Secara bahasa, kata al-nas (النَّاسُ) berarti manusia secara umum. Ayat ini hanya bicara penciptaan manusia dari “nafsin wahidah” dan “zawjaha”. Adapun kata nafsun artinya diri, jiwa atau esensi dan zawjaha artinya pasangannya.
Ayat tersebut tidak menyebut Siti Hawa maupun Nabi Adam, tidak juga laki-laki dan perempuan. Jadi, ayat ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar asumsi penciptaan Nabi Adam sebagai sumber awal. Sehingga ayat ini bukanlah menyimpulkan bahwa Siti Hawa diciptakan dari bagian yang ada pada diri Nabi Adam.
Ayat ini tidak lebih membicarakan mengenai berpasangan, bukan fakta ‘siapa’ diciptakan dari ‘siapa’. Dengan demikian, ayat ini lebih menekankan pada fakta bahwa pasangan adalah sumber dari perkembangan manusia.
Memang, banyak dari ulama kitab klasik yang menjadikan ayat ini sebagai dasar dari simpulan bahwa Siti Hawa tercipta dari bagian tubuh Nabi Adam. Namun, sesungguhnya masih banyak penafsiran yang tidak sependapat dengan kebanyakan ulama tentang pemahaman tersebut.
Syekh Ahmad Showi Al-Maliki, penulis Tafsir Showi, yaitu syarah dari Tafsir Jalalain, menerangkan tafsir kata nafsin wahidah dijelaskan sebagai Adam, sedangkan Zaujaha sebagai Hawa.
Dalam Tafsir Showi (Vol. 1, hlm. 266) juga dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari nafsin wahidah, yang bisa dimaknai sebagai jiwa/esensi yang satu. Namun, setiap makhluk dipastikan membutuhkan lahmah (daging), tharfun (tulang) dan lanzhah (sperma).
Asal dari ketiga bagian tersebut adalah nafsin wahidah. Dalam Surat Al-Mu’minun pun dijelaskan bahwa penciptaan manusia berasal dari nutfah, tharfah, dan lain-lain. Maka, kita wajib bertakwa karena sama seperti Nabi Adam yang diciptakan dari aslul wahid.
Untuk kata Zaujaha, bentuk kalimatnya adalah muannats yang sebenarnya mencakup zauj dan zaujah. Hal ini sesuai dengan kaidah kullu jam’un muannatsun. Oleh karena itu, maknanya manusia, baik laki-laki maupun perempuan diciptakan sama-sama dari aslul wahid.
Syekh Ahmad Showi juga menanggapi mufassir yang menyebutkan bahwa Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Logikanya, jika diambil dari tulang rusuk Nabi Adam, pasti ada cara mengambilnya. Tetapi, ketika Nabi Adam tidur, beliau tidak merasakan apapun.
Jika terbukti Hawa diciptakan dari Nabi Adam, maka ia menjadi saudara anak-anak Nabi Adam, diumpamakan pada kurma dari bijinya. Tulang rusuk diumpamakan pada biji kurmanya. Jika seperti itu, Hawa seolah anaknya Nabi Adam. Padahal, yang sebenarnya ia adalah istri Nabi Adam.
Jika ditelaah kembali, sebenarnya ayat-ayat yang menjelaskan mengenai penciptaan manusia yang sama sekali tidak membedakan asal-usul penciptaan laki-laki dan perempuan jauh lebih banyak dan bersifat eksplisit. Seperti yang dijelaskan oleh K.H. Nasaruddin Umar, yang mengelompokkan ayat-ayat tentang penciptaan manusia menjadi 3 bagian: dari air, tanah, dan sperma.
Pertama, ayat-ayat yang menjelaskan tentang penciptaan segala sesuatu, termasuk manusia, dari unsur air, yang terdapat pada Q.S. Al-Anbiyaa’ [21] : 30; Q.S. Al-An’aam [6] : 99; Q.S. An-Nuur [24] : 45 dan Q.S. al- Furqaan [25]: 54. Dalam ayat-ayat tersebut ditunjukkan bahwa semua hal yang ada di alam ini mengandung unsur air di dalamnya (termasuk manusia) sehingga, tidak mungkin hidup tanpa unsur tersebut.
Kedua, ayat-ayat yang menjelaskan mengenai penciptaan manusia dari unsur tanah. Di antara ayat tersebut adalah, QS. ar-Rahmaan [55]: 14, Q.S. Al-Hijr [15]: 26 28 dan 29, Al-Mu’minun [23]: 12, Q.S. Thahaa [20]: 55, Q.S. Nuh [71] dan Q.S. Ash-Shaffat [37]: 11.
Ketiga, ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan reproduksi manusia, yakni melalui sperma dengan dijelaskan alur penciptaannya, seperti yang dijelaskan secara ilmiah saat ini. Peristiwa ini dijelaskan dalam Q.S. Al-Qiyaamah [75]: 37, Q.S. Al-Insaan [76]: 2, Q.S. as-sajdah [32]: 8, dan Q.S. Al-Mu’minun [23]: 14.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penciptaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, berasal dari esensi yang sama. Tidak ada lagi alasan subordinasi perempuan, atas dasar asumsi perempuan diciptakan karena adanya laki-laki. Baik perempuan maupun laki-laki mempunyai kemuliaan yang sama dan yang membedakan keduanya hanyalah ketakwaan kepada Allah SWT. Wallahu’alam.