Dalam salah satu diskursus, Cassirer mengatakan, manusia tidak hanya sebagai animal rationale, ia juga animal symbolicum. Melalui kekuatan ekspresi pikiran, manusia menciptakan simbolnya sebagai penjelmaan identitas pribadi. Dalam jaringan yang lebih besar, simbol merupakan representasi dari komunitas tertentu. Seperti agama, setiap agama memiliki ciri simbol.
Agama sebagai institusi memiliki banyak simbol. Bahkan Sutan Takdir Alisyahbana menyampaikan, “Agama sendiri merupakan suatu simbol”.
Perdebatan simbol menjadi menarik, di kala saat ini simbol seakan-akan menjadi cermin kebenaran. Tidak usah jauh-jauh, lingkaran masyarakat kita sudah terbentuk persepsinya, seperti anggapan, ciri kesalehan seseorang diukur dari bagaimana seorang tersebut berpenampilan. Berjenggotkah? Di atas mata kaki kah? Bercadar kah? Atau mengibarkan bendera tauhid kah?
Yang paling hangat dan tak pernah kunjung usai adalah perihal bendera tauhid, di satu sisi, saya mengamini bendera tauhid adalah simbol keislaman. Namun, pada ruang tertentu, saya keberatan, khususnya ketika identitas agama dikibarkan untuk kepentingan politik.
Beranjak dari hal tersebut, kita sering mengatakan, “jangan melihat buku dari covernya, tapi lihatlah isinya.” Hanya jargon kesia-siaan. Buktinya kita masih sering terperangkap tampilan.
Padahal, kebanyakan yang tersebar sekarang adalah “cover tanpa buku”, hanya tampilan menarik tapi tanpa isi. Kita mulai dibingungkan oleh munculnya cover-cover yang terkesan indah tapi kosong nilai.
Kita coba ukur lebih dalam, simbol-simbol yang dikenakan tidak melulu menandakan kesesuaian. Anda bisa lihat di pusat perbelanjaan (mall-mall) banyak pengunjung dan karyawan tidak “berpenampilan islami” (diidentikan tidak taat beribadah) tapi sebagian dari mereka nampak rajin ibadahnya. Tentu, tidak sedikit juga orang yang memakai jilbab, ia tidak rajin ibadah.
Tidak bisa juga disebut, orang memakai celana pendek dan kaos murahan lantas dituding orang miskin, dan orang yang memakai pakain necis disebut kaya. Tidak selalu begitu. Namun, persepsi kita dalam hal ini harus objektif. Bukan berarti setiap orang yang tidak “berpenampilan islami” rajin salatnya, dan orang yang pakai jilbab tidak rajin salatnya (tidak begitu cara berpikirnya). Lalu, bukan berarti orang yang necis—kemudian dianggap miskin. Karena anggapan—tidak melulu orang necis itu kaya.
Lebih jelasnya begini, kita tidak bisa memukul rata, gara-gara penculik setiap aksi culiknya selalu menggunakan mobil pintu dorong ke belakang, lantas semua yang memakai mobil itu adalah penculik, tidak. Atau gara-gara penipu dalam aksi tipunya berpenampilan memakai sepatu mengkilap dan baju dimasukkan, lantas semua orang yang berpakain seperti itu dianggap sebagai penipu, tidak.
Pertanyaannya, relevankah mengukur tingkat kesalehan seseorang diukur dari apa yang ia pakai?
Bagi saya, pakaian tidak bisa dijadikan standar baik dan buruk. Namun, bukan berarti saya menganjurkan Anda untuk berpakain compang-camping atau seenaknya, dan berprilaku semaunya, tanpa memperdulikan sekitar. Berpakaian pantas itu harus, karena ada keterkaitan antara pakaian dan budaya, keterkaitan antara pakaian dan agama—budaya dan agama mengatur cara kita berpakain sebagai standar etika dan ibadah.
Allah Swt. berfirman, “Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekusaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-‘Araf: 26)
Tulisan ini sekadar ingin memunculkan, ada kepantasan lain dari sekadar tampilan, yaitu pikiran, hati, perilaku, ucapan, dan tindakan. Kenapa? harus ada kesesuaian antara apa yang dipakai dan sikap kita sebagai makhluk sosial dan spiritual.
Melihat perkembangan akhir-akhir ini, simbol seakan-sekan menjadi perwujudan mutlak, seperti pertentangan cadar atau tidak cadar, gamis atau tidak gamis, celana di atas mata kaki atau tidak, dan seterusnya. Tidak hanya itu, ada pula simbol secara sikap beragama, seperti: berdakwah itu harus keras atau lembut, harus bersumpah agar dianggap benar atau cukup mendoakan yang baik-baik, harus menuding kafir dan bid’ah atau memilih tidak gegabah, dan sebagainya.
Fenomena sosial ini memang varian wajar dan berhak hadir dalam ranah sosial manapun, dan sejarah juga mengizinkan hal tersebut, seperti pertentangan antara Islam normatif dan Kebatinan (dalam sejarah masyarakat jawa), keduanya adalah dua simbol yang berlawan dan tidak bersenyawa.
Di sini, kita harus belajar dari proses sejarah. Islam menyebar diseluruh pelosok dunia dengan tradisi komunikasi yang fungsional, padahal Islam harus menembus berbagai macam kebudayaan—notabene (mungkin) tidak sepaham dengan ajaran Islam itu sendiri. Karena itu Islam harus ditilik juga pada perspekif yang lain, tidak hanya pada satu persepektif hukum. Islam berkembang karena hakikat ajaran Islam adalah berdialog dengan kebijaksanaan, bukan dengan paksaan.
Pada pemahaman lain, kita tidak bisa memetakan antara “Aku”, “Anda”, dan “Kita” adalah manusia Islam yang sempurna, karena setiap dari kita terjadi adanya tabir hirarki rasionalitas. Di mana pemahaman menyaring ajaran, kemampuannya tidak sama (berdiri pada level yang berbeda).
Kita bisa melihat karakter Islam pada masyarakat pegunungan dengan karakter Islam pada masyarakat kota, tentu akan menemukan model berbeda secara penerjemahan. Islam janganlah dimaknai sebagai ajaran tunggal yang tidak mampu menembus batas-batas dimensi kemanusiaan.
Islam itu sudah “termanusiakan” dan “dimanusiakan”. Karena Islam sudah diterjemahkan pada realitas bumi.
Dalam perjalanannya Islam selalu melihat karakter zaman. Proses inilah sebenarnya yang menentukan “kepahaman” kita akan kondisi saat ini. Jika Islam hanya berpikir atas dasar “cadar” atau “tidak cadar” saja, maka Islam secara “simbol” terjadi klasifikasi kelas (ketaatan). K
asihan sekali jika harus ada jenjang kelas, “cadar” sebagai kaum borjuis pemilik surga, dan “tidak cadar” sebagai kaum ploretar pemilik neraka. Padahal surga dan neraka adalah milik kita bersama yang harus kita terima secara perbedaan entitasnya.
Melihat hal tersebut, saya sebenarnya tidak khawatir dengan semaraknya simbol-simbol keagamaan, bagi saya ajaran Tuhan abadi, dan ajaran Nabi Muhammad selalu berdiri pada dua bentuk: sebagai nabi dan sebagai manusia budaya.
Dengan demikian, dalam hal ini tidak ada kesesuaian satu sama lain untuk memunculkan kebenaran mutlak, melainkan kesesuaian itu ada dari pemahaman kita atas ruang lingkup sosial. Ukurannya adalah kepantasan.
Saya tidak pantas dan tidak punya kapasitas sama sekali untuk memvonis kebenaran. Hak Mutlak Sang Penguasa Jagat Raya (Allah Swt.). Pada tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan, baik dan buruk kita dalam urusan agama bukan hak kita untuk menghukumi. Saya hanya ingin “Rukun Sosial” benar-benar terwujud.
Menurut Gus Dur kita beragama, bergaul, dan berinteraksi jangan hanya pakai “hidung”, karena tidak semua yang ‘berbau’ komunis itu PKI, tidak semua yang ‘berbau’ kritis itu liberal, tidak semua yang ‘berbau’ Iran itu Syiah, tidak semua yang ‘berbau’ Arab itu Wahabi, tidak semua yang ‘berbau’ pejabat itu korupsi, tidak semua yang ‘berbau’ politik itu tidak manusiawi, dan tidak semua yang ‘berbau’ itu harus dihindari.