Balada Indonesia kita. Habis masa Cicak Buaya, muncul Cebong Kampret yang sempat terselingi Onta Naga Bango, lalu terbitlah Anjing, hehehehe…
Semenjak kecil, kami dididik untuk menghindari anjing. Binatang ini didefinisikan sebagai penyebab najis kelas berat yang menurut madzhab yang kami anut wajib disucikan bekas air liurnya dengan tujuh kali sucian dan salah satunya disertai dengan debu/tanah/pasir suci.
Kami santri kecil dan awam tentu jadi antipati dan cenderung jengah berhubungan dengan anjing. Bahkan tak jarang ada teman kami bersikap kasar tanpa belas kasih kepada makhluk yang tidak berdosa ini.
Hingga suatu hari ada anjing malang tersesat ke lokasi kami. Tak ayal tanpa belas kasihan ada teman yang melempari anjing itu supaya pergi. Tak puas, ada yang membawa kayu dan memukulkan ke anjing tanpa ampun. Untunglah Mbah Yai Kyai Iskandar melihat kejadian ini. Beliau langsung menggendong anjing tersebut.
Guru Mulia mengumpulkan kami semua sembari dhawuh:
“Anjing memang haram dagingnya. Najis mugholadzoh (najis tingkat berat) air liurnya. Tapi hidupnya sebagai hamba Gusti Allah adalah halal adanya. Kita dilarang keras berbuat aniaya hanya karena keharaman dan kenajisannya. Sebaliknya, jika kita tidak memiliki belas kasih kepada sesama makhlukNya, bisa jadi kita lebih hina daripada binatang ini. Dan bisa menjerumuskan hidup kita dalam keharaman”.
Beliau kemudian mengobati anjing tersebut dan melepaskannya ke jalan. Setelah itu, beliau tampak mensucikan pakaian yang beliau kenakan dan masuk kamar mandi untuk mensucikan badan beliau.
Makjleb. Kami pun terdiam. Nasehat agung dari Guru Mulia Kyai Iskandar, Allah yarham ini selalu terkenang hingga kini. Di atas ilmu ada akhlak. Di atas syariat ada hakikat.
Dan puncak dari agama ialah cinta kasih kepada seru sekalian alam..