Dalam Alquran kita jumpai banyak sumpah dengan waktu. Allah bersumpah dengan waktu fajar dan malam-malam sepuluh (al-Fajr: 1-2); waktu malam dan waktu subuh (at-Takwir:17-18), waktu dhuha dan waktu malam (ad-Dhuha: 1-2), waktu malam dan waktu siang (al-Lail: 1-2), cahaya merah pada waktu senja dan waktu malam (al-Insyiqaq: 16-17).
Yang paling populer, Allah juga bersumpah dengan waktu asar: ”Demi waktu asar atau demi masa” (al-‘Ashr: 1).
Jika Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya—baik benda, waktu, atau lainnya—maka Allah menghendaki agar manusia memperhatikan, memikirkan, menghayati sesuatu yang dijadikan sumpah oleh-Nya itu.
Jika Allah bersumpah dengan waktu maka kita perlu berpikir bagaimana waktu itu bisa terjadi, dan kenapa Allah menciptakan waktu-waktu tersebut.
Imam Qusyairi mengatakan, jika Allah bersumpah dengan sesuatu maka pada sesuatu itu pasti ada dua hal: keutamaan dan kemanfaatan (“al-Itqân”: 4/53).
Waktu adalah ciptaan Allah. Waktu tercipta karena pergerakan benda-benda di langit, yaitu karena pergeseran matahari di alam raya, sementara bumi mengelilinginya.
Matahari, bumi, dan planet-planet yang lain adalah ciptaan Allah. Allahlah yang memperjalankan semua benda-benda langit itu tanpa ada bentrokan antara satu dengan lainnya.
Semua itu bertujuan agar manusia memerhatikan dua hal: Sang Pencipta waktu tersebut dan bagaimana manusia menggunakan waktu yang diciptakan Allah itu dengan tepat dan benar untuk kepentingan mereka, baik urusan dunia maupun akhirat.
Waktu yang kita lewati tidak akan kembali seperti sediakala. Setiap hari kita bertemu dengan pagi yang sama, sore yang sama, malam yang sama, tapi pagi hari ini berbeda dengan pagi hari kemaren.
Waktu yang telah diberikan Allah kepada kita bukanlah sesuatu yang bebas kita gunakan, melainkan harus ada pertanggungjawabannya.
« لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن أربع ، عن عمره فيما أفناه ، وعن علمه ما عمل به ، وعن ماله من أين اكتسبه ، وفيما أنفقه ، وعن جسمه فيما أبلاه »
قال الترمذي:حديث حسن صحيح
“Kedua kaki seseorang tidak akan beranjak dari tempatnya kecuali setelah ditanya tentang empat hal: umurnya, untuk apa saja dihabiskan? Ilmunya, apa yang telah dia amalkan? Hartanya, dari mana dia mendapatkannya dan ke mana dia infakkan? Dan, badannya, apa yang telah dia gunakan?” (HR Tirmidzi). Wallahu a‘lam.
[TAFSIR KEBAHAGIAAN—Kiai Ahsin Sakho Muhammad, hal 128-129]