Biografi Imam Nawawi – Imam Nawawi merupakan nama seorang ulama yang sungguh populer dalam telinga masyarakat Indonesia, utamanya masyarakat pesantren. Para santri banyak menjumpai nama beliau khususnya dalam kitab-kitab fikih.
Imam Nawawi mempunyai nama asli Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Mury al-Haurani. Beliau lahir pada tahun 631 H, di desa yang bernama Nawa, saat ini berada di kawasan negara Iran.
Imam Nawawi begitu kita kenal, merupakan tokoh yang terkenal dengan karya-karyanya yang besar dan tebal. Sebut saja kitab al-Majmu’ yang merupakan kitab syarah (penjelas) dari kitab al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i yang dikarang oleh Ibrahim ibn Ali al-Syairazi.
Kitab ini bisa dikatakan sebagai kitab induk dalam madzhab Syafi’i karena banyaknya penjelasan dan data yang ditulis oleh beliau. Oleh karenanya, wajar saja kalau kitab-kitab karya Imam Nawawi ini sering menjadi referensi penting dalam forum-forum ilmiah.
Imam Nawawi lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Beliau hidup dalam situasi dan kondisi yang serba terbatas, termasuk dalam kondisi ekonomi. Pada satu sisi, kondisi Nawawi muda memang begitu memprihatinkan. Namun, pada sisi lain beliau mendapatkan anugerah Allah berupa kecerdasan akal yang luar biasa.
Kecerdasan Imam Nawawi ada dalam keterangan dari KH Husein Muhammad, pengasuh pondok pesantren Dar al-Tauhid, Cirebon, dalam bukunya berjudul Ulama-Ulama yang Menghabiskan Hari-Harinya untuk Membaca, Menulis dan Menebarkan Cahaya Ilmu Pengetahuan.
Dalam buku itu, Kiai Husein menceritakan bahwa Imam Nawawi merupakan sosok yang sangat kutu buku. Nawawi pada masa mudanya pernah melakukan belajar yang intens dan mengurangi tidurnya dalam kurun waktu dua tahun.
Dalam waktu dua tahun ini beliau maksimalkan betul untuk belajar dan menghafal. Beberapa contoh kitab yang dihafalkan adalah kitab al-Tanbih yang tamat hafal di luar kepala dalam kurun waktu empat bulan.
Selain itu, Imam Nawawi juga menghafal kitab al-Muhadzdzab yang kemudian beliau memberi penjelasan dengan cara menyusun kitab syarah.
Dalam soal makanan pun Imam Nawawi sangat berhati-hati. Diceritakan, bahwa makanan beliau hanyalah roti kering yang didapatkan dari pesantren tempatnya belajar, yaitu al-Rauhiyah. Meskipun terbayang fisik beliau sangat kurus (karena hanya makan roti kering), namun kekuatan fisiknya jauh di atas rata-rata manusia pada umumnya.
Diceritakan juga bahwa Imam Nawawi mampu mempelajari 12 berbagai fann (disiplin) ilmu pengetahuan yang berbeda-beda. Ilmu-ilmu itu merupakan pelajaran yang beliau “lahap” sehari-hari, yaitu ilmu fikih, hadis, bahasa, kalam dan lain-lain.
Imam al-Dzahabi dalam suatu kesempatan pernah berkata, selama 20 tahun, Imam Nawawi tidak pernah berhenti belajar dalam situasi dan kondisi apapun. Siang-malam, waktunya hanya dihabiskan untuk belajar, mengajar dan menulis.
Berkat ketekunan dan keuletan beliau dalam belajar, akhirnya beliau mendapatkan jabatan yang prestisius, yakni menjadi kepala sekolah, rektor di lembaga pendidikan yang bernama Dar al-Hadits dengan menggantikan jabatan yang pernah diduduki oleh Syihabuddin Abu Syamah.
Meski jabatan tersebut nyata di depan mata, sedikit pun beliau tidak tergiur dengan gaji yang disiapkan lembaga tersebut kepada seorang kepala sekolahnya. Beliau lebih suka dengan kiriman yang datang dari orang tuanya.
Sikap yang ditunjukkan oleh Imam Nawawi ini semakin meyakinkan kita bahwa beliau merupakan sosok yang sangat bersahaja dan asketis (sederhana, zuhud). Dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah “topo dunyo” yang bermakna menyepikan dan mengosongkan hati dari keinginan duniawi.
Mengosongkan di sini bukan berarti menafikan hal-hal yang berbau duniawi. Namun, makna mengosongkan disini lebih bersifat “defensif” (menjaga, menahan) diri. Imam Nawawi wafat pada usia yang masih relatif muda, sebagai sosok ulama besar.
Diceritakan, beliau wafat pada usia 45 tahun dan dimakamkan di tempat kelahirannya, Nawa, Iran. Makamnya sampai hari ini ramai dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai daerah.
Demikianlah cerita dari biografi sosok Imam Nawawi, pemuda Muslim yang benar-benar menghiasi dirinya dengan pengetahuan dan budi pekerti yang luhur.
Dengan hati yang penuh harap kepada Tuhan semesta alam, semoga barokah beliau memancar sampai kepada kita semua, Amin.