Bagi umat muslim di tanah air, lebih-lebih warga Nahdliyin, sosok KH Ahmad Siddiq tentu bukanlah hal yang asing. Kiai Siddiq pernah menjabat sebagai Rais Aam PBNU (1984-1991). Selain itu beliau juga dikenal sebagai figur produktif, ulama sepuh karismatik sepantaran KH Aly Maksum, KHR As’ad Syamsul Arifin dan kiai-kiai penggerak Nahdlatul Ulama (NU) lainnya.
Sekilas tentang biografi, KH Ahmad Siddiq lahir di Jember 24 Januari 1926, seminggu sebelum lahirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Sedangkan beliau wafat pada 23 Januari 1991, tepat di usianya yang ke 64 tahun.
Selama karir perjalanan hidupnya, Kiai Ahmad Siddiq banyak menyandang jabatan prestisius. Padanya juga masyhur sebagai cendekiawan ternama, sehingga tak ayal sekondang KH Wahid Hasyim pernah mengangkat sebagai kepercayaan dan sekretaris pribadinya.
Sebagai sosok ulama dan intelektual kondang, Kiai Ahmad Siddiq memiliki beberapa gagasan dan pemikiran yang inovatif nan konstruktif. Pemikirannya meliputi banyak hal, termasuk di antaranya adalah persoalan tasawuf dan tarekat.
Versi putra bungsu Kiai Siddiq itu, tasawuf memiliki empat dimensi. Metafisika, estetika, etika, dan sebagai pemungkasnya adalah pedagogik. Beliau juga menyampaikan bahwa tasawuh haruslah fungsional dan tak jumud, sehingga dapat menyentuh semua elemen lapisan masyarakat yang ada.
Nah, untuk mencapai tujuan ini, KH Ahmad Siddiq mengusung tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam menuntun seseorang untuk bertasawuf dengan “sejati”. Pertama istikamah, kedua zuhud, dan terakhir faqr.
Istiqamah berati mengamalkan dan menekuni amalan-amalan dengan konsisten dan berkesinambungan. Zuhud adalah membebaskan diri dari ketergantungan pada harta benda, kekuasaan, kesenangan, dan nafsu dunia lainnya.
Ikhwal zuhud, ada yang perlu digaris bawahi menurut Kiai Ahmad Siddiq. Melepaskan ketergantungan pada dunia, tidak berarti selalu menghindar dari dunia. Zahid (seorang yang zuhud) tak ada masalah sedikitpun untuk mendekati kesenangan-kesenang tersebut, namun hati dan jiwanya tak boleh sepenuhnya bergantung kepadanya.
Sementara yang ketiga (fiqr), kata beliau, adalah kesadaran untuk selalu menyatakan kebutuhan diri kepada Allah SWT, dan senantiasa merasa terawasi dalam segala gerak-geriknya.
Dalam hal ini, Kiai Ahmad Siddiq memandang tasawuh kerapkali bergeser dalam penerapan, dan beliau berupaya mengembalikan kedudukan tasawuf ini pada tempat yang semestinya. Itu semua, tak lain dan tak bukan agar terciptanya “hubungan yang harmonis antara kehidupan duniawi dan ukhrawi”.
Di samping itu, Kiai Ahmad Siddiq juga berupaya melakukan interpretasi ulang terhadap tasawuf yang tak jarang terkontaminasi oleh unsur-unsus bid’ah bahkan syirik. Nah, oleh sebab itu beliau lalu berusaha membersihkannya unsur-unsur “hitam” itu dalam tasawuf tersebut.
Lebih lanjut, beliau kemudian meletakkan kedudukan ‘tarekat’, tepat pada garis lurus tasawuf. Tarekat yang dimaksud adalah tarekat yang tak hanya bergulat dalam ranah tasawuf saja, melainkan juga yang terdapat pada syariat dan akidah.
Dalam pembaharuan (tajdid), beliau juga ikut andil memberi gagasan perihal yang sempat menjadi perbincangan riuh sejak beberapa dekade silam itu. Menurut Kiai Ahmad Siddiq, “pembaharuan” tidak selalu dipahami sebagai pergantian unsur-unsur lama ajaran Islam dengan unsur baru, sebagaimana segelintir orang “menudingnya”.
Melainkan, “pembaharuan” tersebut menurut beliau adalah memulihkan ajaran Islam yang mulai tercemari serta menggiatkan kembali amalan-amalan yang mulai diabaikan, atau bahkan ditinggalkan.
Dalam hal ini, Kiai Ahmad Siddiq melihat bahwa tajdid memiliki tiga fungsi yang perlu digarisbawahi oleh semua kalangan. Ketiga fungsi tersebut adalah; al–I’adah, al–Ibanah, dan al–Ikhya’.
Al– I’adah merupakan pemulihan ajaran agama Islam dengan berupaya membersihkan unsur-unsur yang mencemari kemurniannya. Sedangkan al–Ibanah, dipahami sebagai tindakan yang bisa membedakan antara hal yang sunah dengan yang bid’ah secara cermat dan teliti. Sementara al–Ikhya’ adalah menghidupkan kembali amalan dan ajaran-ajaran Islam yang sempat surut dan terbengkalai.
Tak kalah penting prihal pembaharuan, menurut Kiai Ahmad Siddiq, bahwa untuk mencapai pembaharuan yang gemilang nan maksimal, “penting” diperlukan seorang pembaharu yang memiliki integritas keilmuan yang memadai, semangat yang tinggi dan luhur untuk membela, mempertahankan, serta mengembangkan ajaran Islam yang ada.
Tak terkecuali seputar “mazhad”, Kiai Ahmad Siddiq pun turut mewarnai sumbangsing pemikirannya. “Enam kata” ini menurut beliau dipandang sebagai jalan pikir yang ditempuh, atau pola pemahaman yang mantap terhadap al-Qur’an dan hadis.
Pola ini bisa tercermin, dengan melalui metode dan kaidah ijtihad pun istinbat hukum, serta kumpulan produk serta buah ijtihad tersebut. Mazhab dalam pengertian ini, menurut Kiai Ahmad Siddik merupakan “disiplin berfikir” yang mutlak diperlukan untuk mengkaji setiap pemikiran dalam segala bidang keilmuan, yang kemudian di selaraskan dengan metode keilmuan modern dan kekinian.
Termasuk gagasan brilian beliau, juga datang dari persoalan persaudaran (ukhuwah). Kiai Ahmad Siddiq menganggap hal ini merupakan sebuah hal yang urgen dan perlu pembenahan dalam setiap waktu. Dalam hal ini, beliau merumuskan bagaimana “pentingnya” hubungan persaudaran (ukhuwah) baik dalam bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara.
Sekali lagi, ini “penting” karna kita hidup dalam pluralitas suku, agama, budaya, dan status sosial sebagaimana yang telah maklum. Sehingga, jika hal ini tidak diiringi oleh semangat persaudaraan yang menjulang, maka tidak mustahil “gesekan-gesekan” dan konflik antar kelompok tak bisa terbendung dan tak terelakkan.
Lebih lanjut, ikhwal persaudaraan (ukhuwah) ini, Kiai Ahmad Siddiq lalu merumuskan konsep persaudaraan menjadi tiga hal (trilogi). Tiga hal tersebut adalah; Ukhwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah, dan Ukhuwah Basyariyah.
Ukhuwah Islamiyah dimaknai sebagai persaudaraan yang dikembangkan atas dasar kesamaan akidah dan tauhid. Ukhuwah Whataniyah adalah persaudaraan yang di kembangkan atas dasar nasionalisme. Sementara Ukhuwah Banyariah, merupakan persaudaraan atas dasar persaudaraan.
Sebagai pamungkas tentang Biografi KH Ahmad Siddiq, bahwa ia menyampaikan hal yang tak kalah “penting” dari persaudaraan. Yaitu, bagaimana bisa menjaga tiga elemen tersebut tanpa mengunggul-unggulkan satu sama lain, atau—mungkin—bahkan menganggap tiada pada salah satunya. Mengapa sebab? Karena menurut beliau, tak jarang segelintir kalangan malah “tenggelam” dalam fenomena yang tak seharusnya terjadi ini.
Sumber bacaan:
Mastuki & M. Ishom El-Saha (Ed.), Intelektualisme Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2006.