Periode tahun 1948-1949 agresi militer Belanda turut berdampak pada Pesantren Lirboyo yang terletak di Kediri, Jawa Timur. Keluarga besar dan santri pesantren yang didirikan dan diasuh oleh KH Abdul Karim kala itu harus mengungsi ke beberapa tempat. Termasuk di bawah kaki Gunung Klotok, tepatnya di Desa Mojokudi, Kota Kediri.
Beberapa hari setelah kembali dari pengungsian, Ibu Nyai Hj. Zaenab, istri KH Mahrus Aly, tepatnya pada tanggal 01 Agustus 1949 (Versi Gus Reza), melahirkan seorang putra. Ia diberi nama ‘Imam Yahya’, tabarrukan dari nama seorang pemimpin di Yaman yang terkenal sebagai tokoh ahli politik, strategi, dan menguasai ilmu nahwu-sharaf.
Putra keenam KH Mahrus Aly ini mendapat asuhan langsung dari sang ayah. Kiai Imam muda sering diajak ayahandanya untuk nderekke (turut serta) kemanapun Kiai Mahrus pergi. Suatu ketika saat usianya menginjak 20 tahun, di tengah perjalanan nderekke ayahanda, di Daerah Trowulan, Mojokerto, tepat di depan sebuah lokasi yang konon bekas petilasan kerajaan Majapahit, Kiai Imam muda mendengar suara misterius dari orang yang tidak kenal.
“Awakmu sesuk mangkato mondok neng Sarang, ojo ngomong sopo-sopo, sangu sak cukupe, ojo kondo sopo-sopo,” (Besok berangkatlah nyantri di Sarang, jangan bilang siapa-siapa, bekal secukupnya).
Keesokan harinya Kiai Imam muda langsung berangkat ke Sarang dengan bekal uang 25 perak, tanpa pamit keluarga. Sontak hal tersebut membuat keluarga besar Pesantren Lirboyo panik dan khawatir. Mereka mengira Imam pergi untuk menjadi sopir atau kernet seperti apa yang pernah dilakukannya.
Tiga bulan pencarian ke seluruh penjuru tanah Jawa hingga Jakarta tidak kunjung menuai hasil. Sampai tersiar kabar bahwa Kiai Imam Muda sedang mondok di Sarang di bawah asuhan Kiai Zubair, ayahanda Mbah Moen.
Mendengar hal tersebut Kiai Mahrus Aly langsung berangkat ke Sarang. Sesampainya di sana Kiai Mahrus berpidato, “Para santri, saya punya anak yang bernama Imam Yahya tolong dido’akan, dan saksikanlah, jika kelak ia menjadi bajingan ya dari Sarang, jika menjadi Kiai besar ya dari Sarang.”
Mulanya Imam muda ingin berguru pada Kiai Zubair, namun oleh beliau langsung disuruh untuk menemui Kiai Maimoen Zubair. Di sinilah Kiai Imam diterima sebagai santri pertama Kiai Maimoen. Kiai Maimoen menunjuk Kang Fauzan untuk menemani masa-masa awal Kiai Imam mondok di Sarang.
“Zan, ini Kiai Imam Putra Kiai Mahrus Lirboyo guru saya, Kiai Imam ke sini dalam rangka mencari ilmu dan mondok di sini, dan kamu Fauzan saya minta menemani Kiai Imam,” Pesan Kiai Maimoen pada Kang Fauzan.
Kehadiran Kiai Imam muda di Pondok Sarang turut berpengaruh pada masyarakat sekitar. Sebelumnya masyarakat sekitar tidak begitu segan dengan berdirinya Pondok Sarang, namun semenjak Kiai Imam nyantri di situ, penduduk sekitar merasa segan, entah kepada Kiai Imam maupun kepada pondok.
Beberapa bulan di Sarang, Kiai Imam muda belum mengikuti salah satu kegiatan yang diadakan di pesantren. Hal itu membuatnya malu pada sang guru, sosok yang selalu menemaninya makan dan jika berbincang selalu menggunakan bahasa tatakrama.
Imam muda pun gusar dan curhat kepada Kang Fauzan, “Kang aku orang yang tidak bisa ngaji, setelah di sini juga masih belum bisa ngaji,” Seketika Kang Fauzan yang juga pengurus Pondok Sarang memotivasi, “Mboten saget ngaji Gus? Lah njenenengan kan Putra Macan, besok ya bakal jadi Macan.”
Imam muda kemudian mengikuti kegiatan pengajian yang diadakan di pondok. Setelah lulus tingkatan tsanawiyah (jenjang tengah), Imam muda diajak ngaji privat dengan Mbah Moen. Malam hari Mbah Moen membacakan Kitab Nashoihul Ibad dan esoknya giliran Imam muda yang membaca ulang di hadapan Mbah Moen.
Imam muda belum siap. Lagi-lagi setelah dimotivasi Kang Fauzan, baru ia bersedia. Itupun dengan syarat Kang Fauzan menemani belajar dan membimbing dalam membaca makna kitab.
Imam muda belajar kitab dari nol hingga bisa membaca secara lancar di Pondok Sarang. Hal itu disampaikan Kiai Imam kepada KH Abdullah Ubab (Putra Mbah Moen). “Aku seneng ngaji bahkan iso ngaji ya di sini.”
Selama di Pondok Sarang Kiai Imam dikenal sebagai orang yang supel. Mudah bergaul dengan berbagai kalangan seolah menjadi bakat beliau sekaligus pertanda bahwa beliau adalah calon ulama yang merakyat.
Beliau mengaji, belajar kitab kuning, dan mengabdi kepada Mbah Moen Bersama KH Hamid Baidlowi dan KH Fattah dari Lasem Jawa Tengah. Sampai suatu ketika Mbah Moen memiliki gagasan untuk mendirikan pondok.
Kiai Imam diberi kepercayaan untuk ikut menyumbang nama pondok mewakili anak-anak santri. Imam muda akhirnya berunding dengan teman-teman santri dan muncullah nama “POHAMA” akronim dari “Pondok Haji Maimoen”.
Mbah Moen hanya tersenyum kecil dengan ide nama itu. “Al-Anwar saja ya Namanya,” dawuh Kiai Maimoen. Nama pondok itu kemudian tegak berdiri dan berkembang hingga sekarang.
Kiai Imam dipercaya sebagai ketua Pondok Al-Anwar pertama kali dan diamanahi untuk menata pondasi awal berdirinya pesantren dengan bimbingan Kiai Maimoen langsung. Kiai Imam Mondok di Sarang kurang lebih empat tahun dimulai sekitar tahun 1968 hingga 1972.
Lebih lanjut lagi, hubungan Kiai Imam yang sebelumnya tersambung melalui sanad, sekarang guru dan murid ini terikat dalam hubungan nasab. Beliau berdua besanan. KH Abdurrauf, putra Mbah Moen, menikah dengan Ning Etna Iyyana Miskiyyah, putri KH Imam Yahya Mahrus.
Kiai Imam menikah dengan Ibu Nyai Hj Zakiyah Miskiyyah, putri dari KH Utsman Al-Ishaqi, Jatipurwo Surabaya. Setelah itu beliau meneruskan jejak perjuangan ayahanda dengan mendirikan Pondok Pesantren Ibnu Rusydi, diambil dari nama kecil Kiai Mahrus tepat pada tahun 1988.
Sekarang pesantren itu berubah nama menjadi Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah. Hari lahir Pondok Al-Mahrusiyah diperingati setiap tanggal 01 Agustus, hari kelahiran Kiai Imam.
Pondok Al-Mahrusiyah sepeninggal Kiai Imam diasuh oleh KH Reza Ahmad Zahid yang akrab kita kenal dengan sapaan Gus Reza. Pesantren ini berkembang dengan pesat dan memiliki 4 Unit.
Al-Mahrusiyah Pusat berada di Kompleks Pondok Lirboyo paling timur. Al-Mahrusiyah 2 berada di Dusun Kemuning, Al-Mahrusiyah 3 berada di Desa Ngampel, 7 KM ke-arah utara Pondok Lirboyo dan Al-Mahrusiyah 4 di Daerah Kandat Kab. Kediri.
Kiprah Kiai Imam sangat luas. Selain seorang tokoh agama dan pengasuh pondok, beliau juga pernah menjadi Rektor Universitas Islam Tribakti (Sekarang IAI Tribakti) yang didirikan ayahandanya.
Di NU beliau pernah menjabat sebagai Wakil Tanfidziah PWNU Jatim. Pernah juga menjabat sebagai Ketua RMI PWNU Jatim. Di Kota Kediri, karena sosoknya yang begitu plural, Kiai Imam menggagas berdirinya paguyuban kerukunan antarumat beragama.
Maka tidak jarang Kiai Imam kedatangan tamu dari tokoh lintas agama. Bahkan Ahmad Dhani dan Iwan Fals, dua musisi nasional pernah berkunjung di Ndalem Kiai Imam. Hal itu menunjukkan betapa luasnya pergaulan beliau.
Meski jaringannya luas, Kiai Imam tetaplah seorang yang tawadhu’. Hal itu seperti disampaikan oleh Gus Mus, Sahabat Karib Yai Imam. “
“Gus Imam adalah putra kiai besar dan cucu kiai besar, dari pesantren yang besar pula. Jadi dari perspektif ke-Gus-an, Gus Imam itu gus besar. Meskipun demikian, tidak sedikitpun terlihat penampilan jumawa atau ampuh dalam dirinnya.
Bahkan yang menonjol dalam dirinya adalah ke-tawadlu’an yang luar biasa, terutama saat berkumpul dengan kalangan masyayikh, sering terlihat bersimpuh dibawah kaki gurunya, seolah-olah beliau bukan Kiai, tapi santri.”
Tepat pada 20 Shofar 1433 H, Kiai Imam dipanggil ke hadirat Allah Swt. Meninggalkan ilmu dan deretan perjuangan di berbagai bidang yang sekarang sedang diteruskan oleh putra-putri dan santri beliau. Wallahu A’lam bis shawab.