Tatanan hidup di era normal baru (New Normal) belakangan ini mulai diwacanakan oleh hampir semua negara di dunia. Banyak pandangan dari beragam perspektif yang mulai merespon wacani ini, termasuk pandangan Islam tentang new normal.
Bergulirnya wacana new normal menyusul tren penularan virus corona yang saat ini belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Sekedar mengulas kembali bahwa awal mula virus corona atau Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) muncul pertama kali di Wuhan China pada 17 November 2019.
Virus corona kini sudah menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, agama dan suku. Pemerintah di beberapa negara awalnya meremehkan corona sebagai virus biasa yang bisa diatasi sebagaimana virus flu. Namun, tiba-tiba dikejutkan betapa virus ini telah mematikan ratusan ribu orang lebih hanya dalam kurun waktu 5 bulan saja.
Virus ini tidak pandang bulu, dari orang elit politik hingga orang warga miskin di pedalaman mengalami shock culture yang luar biasa dalam penanganan pemerintahnya yang kurang responsive, bahkan manusia tiba-tiba menunjukan sifat aslinya, liar dan tidak rasional dalam menghadapi kegoncangan kesehatan politik, ekonomi, budaya dan spritualitas.
Malik Bennabi pernah mengatakan dalam sejarah kehidupan manusia di dunia ini, agama merupakan “katalisator” yang selalu hadir dibalik kelahiran suatu peradaban manusia. Agama merupakan fenomena alam nyata yang menguasai benda serta mendominasi perkembangan benda.
Fenomena itu seolah-olah telah tertuang (baca: terwujud) dalam hukum alam, baik ia tersistematis sebagai agama Islam dan agama samawi lainnya. Bisa juga ia berupa kepercayaan-kepercayaan manusia primitif di zaman dahulu. Contohnya seperti totemisme, mitos dan kepercayaan pada dewa-dewa kuno merupakan suatu cara pemecahan yang dipilih manusia diilhami dari oleh problem manusia sepanjang zaman, yaitu permasalahan eksistensinya.
Sebagai agama yang lebih rasional dan memberikan kepastian terhadap pertanyaan-pertanyaan perenial tersebut, seharusnya Islam dapat memberikan jawaban yang lebih pasti cara menghadapi era new normal atau normal baru. Selain itu, menjawab ke mana arah peradaban yang mesti dibangun untuk menuju ke era normal baru?
Ajaran agama Islam yang bersumber dari teks wahyu langit telah memperlihat banyak bukti. Bahwa, nilai-nilai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan wahyu yang diterimanya selaras dengan bangunan nilai-nilai kehidupan modern ini. Kendati dalam beberapa aspek terlihat bertentangan, akan tetapi sumber nilai-nilai Islam tidaklah sekaku penafsiran-penafsiran sebagian ulama yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Dalam penafsiran atas teks-teks suci Al-Qur’an, ada suatu metode yang sangat tepat untuk menuju era normal baru saat masa pandemi saat ini. Metode tersebut yaitu maqashid al-syari’ah.
Menurut Muhammad Thahir bin ‘Asyur, arti maqashid al-syari’ah adalah dengan hikmah-hikmah yang dimasukkan Allah dalam setiap syariat. Sedangkan Musthafabin Karamah Makhdum mendefinisikan maqashid sebagai kemaslahatan yang dimaksudkan oleh Allah selaku syari’ (penyusun syariat) ketika mensyariatkan suatu hukum.
Maqashid al-syari’ah pada dasarnya adalah hikmah di balik suatu hukum. Seperti “memperkokoh bangunan sosial” merupakan salah satu hikmah di balik zakat. Di samping itu, maqashid juga merupakan sejumlah tujuan yang baik yang diusahakan oleh syariat Islam dengan memperbolehkan atau melarang sesuatu.
Misalnya menjaga dan melestarikan nyawa dan kemampuan berakal manusia adalah tujuan dari syariat, maka dalam rangka ini kita bisa melarang segala bentuk yang dapat menghilangkan akal.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa maqashid al-syari’ah berarti maksud, tujuan, hikmah serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam setiap hukum yang diundangkan oleh Allah Swt.
Di masa pandemi seperti saat ini apabila menggunakan metode penafsiran maqashid al-syari’ah dapat diartikan segala bentuk tujuan ibadah manusia. Ibadah ini yang mahdlah maupun ghairu mahdlah haruslah mengutamakan kemaslahatan bersama. Selain itu, sebisa mungkin menghindari segala sesuatu yang bersifat mafsadah (menuju kerusakan).
Contoh riilnya mencari ilmu itu wajib bagi seluruh umat muslim. Namun, apabila penyelengaraan majelis ilmu yang mengumpulkan orang banyak dalam suatu kerumunan bisa haram hukumnya. Mengapa bisa haram? Dalam perspektif maqashid al-syari’ah, jika tidak sesuai dengan protokol kesehatan, maka hal itu dapat mengancam banyak nyawa manusia.
Hukum itu bisa menjadi sunah dan wajib kembali apabila unsur-unsur kemadaratan bisa diminimalisir dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Selain itu, kesadaran untuk saling menjaga keselamatan antar sesama, terutama untuk ulama, ustadz dan guru. Keselamatan merekalah yang harus kita utamakan karena mereka adalah sumber pengetahuan yang kita miliki.
Dalam menyelesaikan permasalahan seperti tersebut berdasarkan kepada pemahaman kembali pada makna letterlijk (harfiah) nash (sumber hukum Islam) dengan pemahaman linguistik kebahasaan melalui ushul fiqh). Pemahaman demikian adalah sesuatu yang tidak mungkin menyelesaikan masalah bahkan menjadi masalah tersendiri, karena kondisi masa wabah tidak mungkin mempertahankan perintah yang tekstualis karena yang didapatkan pastilah kemadaratan. Seperti terkena virus kemudian sakit dan bisa kehilangan nyawa
Sedangkan dalam tujuan utama syariat adalah hifdzun nafs (melindungi nyawa), hifdzud din (melindungi agama), hifdzul ‘aql (melindungi akal), hifdul mal (melindungi harta), dan hifdzun nasl (melindung keturunan). Di samping juga melindungi kehormatan manusia sehingga tidak dibenarkan bahwa manusia melaksanakan sesuatu yang disunahkan dengan membahayakan.
Contoh lainnya yakni bersikap tektualis dengan tetap melaksanakan ibadah sholat Jumat di masjid di kawasan zona merah dengan tanpa memperdulikan protokol kesehatan. Praktik demikian berpotensi juga membahayakan nyawa diri sendiri dan orang lain. Ini merupakan tindakan yang berimplikasi pada runtuhnya kemuliaan hukum Islam sebagai agama yang shaalih li kulli al-zamaan wa al-makaan (kebaikan di setiap waktu dan tempat).
Memahami maqashid al-syari’ah adalah solusi cara Islam menghadapi tantangan hidup di era normal baru (new noram). Cara ini dapat diterapkan dalam wajah baru yang sesuai dengan semangat tahqiiq mashaalih al-‘ammah (merealisasikan kemaslahatan umum).
Allah Swt sebagai peletak dasar syariat pasti memiliki maksud, tujuan dan hikmah ketika mensyariatkan sesuatu. Dengan mengetahui maksud Allah tersebut, maka hukum akan senantiasa berkembang dan peradaban manusia pun dapat terus dapat mempertahankan eksistensinya.