Para Rasul selayaknya manusia pada umumnya yang memiliki masalah dalam setiap jengkal hidupnya, termasuk Nabi Muhammad. Bukan berarti karena kemuliaannya ̶ sebagai utusan Allah ̶ Nabi Muhammad bebas dari masalah, justru masalah itulah yang membuat beliau menjadi manusia istimewa.
Di dalam kitab Fi Bayt al-Rasul karya Nizar Abazhah ̶ Guru Besar Sirah Nabawiyyah di Akademi al-Fath al-Islami Syria ̶ disebutkan ihwal cara Nabi Muhammad dalam memecahkan masalah yang dapat dijadikan Role Model oleh umat manusia ketika tertimpa masalah, baik masalah internal ̶ masalah pribadi, seperti masalah rumah tangga ̶ maupun masalah eksternal ̶ berhubungan dengan masyarakat.
Dengan situasi ‘berbagi suami’, kehidupan rumah tangga Nabi Muhammad tak akan terhindarkan dari masalah kecemburuan. Salah satu masalah cemburu dalam rumah tangga Nabi terjadi antara Aisyah, Hafshah, Zainab, dan Shafiyyah. Kecantikan Shafiyyah memang mengundang decak kagum yang melihatnya, tetapi juga memicu cemburu para ‘madu’-nya.
Aisyah dengan terang-terangan menunjukkan kecemburuannya, sementara Zainab lebih kuat dalam memendamnya di dalam hati. Memendam cemburu ibarat sebuah bisul, lama-lama ia akan meletus dengan sendirinya. Kejadian itu terjadi ketika Nabi Muhammad melaksanakan ibadah haji bersama semua istri.
Saat perjalanan mulai lancar, tetiba unta yang ditunggangi Shafiyah ngambek dan tidak mau melanjutkan perjalanan. Hal ini sontak membuat Shafiyyah langsung bercucuran air mata. Melihat kondisi tak terduga ini, Nabi Muhammad memutuskan mendekati Shafiyyah, lalu mengusap lembut air mata Shafiyyah dengan tangan beliau.
Kelembutan Nabi Muhammad membuat tangis Shafiyyah semakin menjadi, sehingga istri-istri Nabi yang lain semakin emosi. Akhirnya, Nabi Muhammad meminta Zainab meminjamkan satu ekor unta dari beberapa ekor unta yang dibawa oleh Zainab. Ternyata hal ini jusru memicu kejengkelan Zainab hingga ia berkata kepada Nabi, “Untaku hendak kau berikan kepada perempuan Yahudi-mu itu?”
Rasa cemburu Zainab yang telanjur meletus ternyata menghilangkan kendalinya tentang pemilihan kalimat. Ungkapan Zainab telah menyakiti hati Nabi Muhammad. Semenjak saat itu, Nabi Muhammad tidak mengajak bicara sepatah kata pun kepada Zainab dan tidak mengumpulinya selama musim haji, bahkan hingga bulan Rabi’ul Awal tahun berikutnya.
Nabi Muhammad ingin memberikan kesadaran dan pemahaman kepada Zainab bahwa sikap Zainab bukanlah sikap yang baik dan tidak boleh dipelihara. Cara Nabi mendiamkan Zainab membuat Zainab sadar dan tidak ingin mengulangi kecerobohannya untuk yang kedua kali.
Aisyah dan Hafshah lebih ‘terang-terangan’ dalam menunjukkan kecemburuannya kepada Shafiyyah. Pernah suatu hari mereka berdua berkata kepada Shafiyyah, “Kami lebih mulia di sisi Rasulullah, sebab kami adalah istri beliau sekaligus putri dari paman beliau.”
Istri mana yang tak sakit hati mendengar kalimat yang menyayat hati? Shafiyyah mengadukan ‘kalimat memojokkan’ itu kepada Nabi Muhammad. Hebatnya, Nabi Muhammad memiliki cara efektif untuk menenangkan kegelisahan Shafiyyah.
Cara tersebut adalah sabda beliau yang berupa, “Mengapa tak kau jawab bahkau kau jauh lebih baik dari mereka berdua, sebab kau adalah istri Muhammad, putri Harun, dan pamanmu adalah Musa.”
Ungkapan Nabi membuat seulas senyum tersungging di wajah Shafiyyah. Begitulah cara jitu Nabi Muhammad menenangkan istri yang tengah cemburu
Suami yang baik adalah suami yang bisa mengetahui suasana hati sang istri. Pengetahuan tersebut sangat berguna untuk mengambil sikap saat istri sedang tidak enak hati. Kemampuan ini dikuasai oleh Nabi Muhammad dengan baik, bahkan Nabi Muhammad bisa menebak suasana hati sang istri ‘cukup’ dari diksi yang diucapkan oleh sang istri. Suatu hari Nabi Muhammad berkata kepada Aisyah, “Aku bisa mengetahui waktu ketika kau bahagia dan ketika kau marah.”
“Bagaimana engkau bisa mengetahuinya?” tanya Aisyah heran.
Nabi Muhammad menjawab, “Jika kau sedang bahagia, maka kau biasanya menggunakan kalimat ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad’. Sebaliknya; jika kau sedang marah, maka kau biasanya menggunakan kalimat ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’”
Lalu, dengan tegas Aisyah berkata, “Demi Allah, namamu saja yang kutinggalkan, wahai Rasulullah.” Maksud Aisyah adalah kemarahannya hanya di bibir, namun di dalam hati tak berkurang sedikit pun cintanya pada Rasulullah.
Cara cerdas Nabi Muhammad dalam menebak suasana hati istri dapat ditiru oleh umat-umat beliau masa kini. Mereka ̶ umat Nabi masa kini ̶ dapat mulai belajar melihat kecenderungan kalimat yang digunakan oleh istrinya.
Ketika istri bahagia, kalimat apa yang sering diucapkan? Begitu pula sebaliknya. Dengan begitu, para suami masa kini dapat dengan mudah memaknai arti dari kata ‘terserah’ yang diucapkan oleh seorang wanita.
Istri sebagai orang terdekat suami dalam keluarga memiliki peran vital dalam mengontrol amarah suami. Peran ini mampu dijalankan dengan baik oleh Ummu Salamah. Sejarah telah menyebutkan bahwa perjanjian Hudaibiyah membuat Sahabat sangat terpukul karena gagal menunaikan ibadah umrah dan isi perjanjian yang dinilai merugikan kaum muslim.
Meskipun umrahnya tertunda, Rasulullah tetap memerintahkan para Sahabat untuk ber-tahallul dan menyembelih hewan kurban. Namun, semua Sahabat tak bergeming sedikit pun. Rasa kecewa telah membuat mereka lalai untuk patuh terhadap Utusan Allah.
Sikap para Sahabat membuat Nabi Muhammad kesal dan jengkel, lalu Nabi Muhammad kembali masuk ke tenda dan ditemani oleh Ummu Salamah. Nabi Muhammad berkata, “Celakalah mereka! Kuperintah untuk menyembelih hewan kurban dan bertahallul tak ada yang menjalankannya.”
Melihat amarah sang suami, Ummu Salamah dengan lemah lembut berusaha meredam amarah beliau. “Tenangkan hatimu, wahai Rasulallah. Demi Allah, tidak mudah bagi mereka untuk menerima perjanjian damai itu (Hudaibiyah). Percayalah, mereka tak akan berani mendurhakaimu. Kupikir, sekarang keluarlah dan jangan bicara dengan siapapun sebelum engkau sendiri telah bertahallul dan menyembelih hewan kurban. Aku yakin, mereka akan melakukan seperti yang engkau lakukan”, kata Ummu Salamah.
Ide yang mengagumkan dan membuat hati Nabi Muhammad menjadi tenang. Akhirnya, Nabi Muhammad keluar dari tenda dan bertahallul sendiri lalu menyembelih hewan kurban. Para Sahabat terpesona dengan sikan pemimpin mereka, sehingga tanpa diperintah, mereka segera mengikuti Rasulullah untuk bertahallul dan menyembelih hewan kurban. Memang benar, nasihat yang paling baik adalah contoh, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.