Judul : Kearifan Lokal Kemasan Penganan Tradisional
Penulis : Listia Natadjaja dan Elisabeth Christine Yuwono
Penerbit : Penerbit Andi
Cetak : Pertama, 2019
Tebal : x+86 halaman
ISBN : 978-979-29-6346-5
Sebelum rasa, kemasan berkomunikasi kepada jamaan penikmat penganan tradisional untuk menciptakan persepsi dan kesan. Ketika orang-orang tiba-tiba lupa dengan nama makanan, mereka masih bisa mendeskripsikan kemasan yang khas. Setiap kemasan mencirikan nilai kultural, energi ekologis, dan lokalitas.
Buku hasil penelitian berjudul Kearifan Lokal Kemasan Pengamanan Tradisional (2019) garapan Listia Natadjaja dan Elisabeth Christine Yuwono ini terbit dari keprihatian semakin berkurangnya penggunaan kemasan lokal yang bijaksana secara fungsional dan ekologis. Alasan kepraktisan, keawetan, modernitas desain, gaya hidup pemasaran, dan krisis ekologi menggeser kemasan-kemasan jadul. Ada kemasan-kemasan yang bertahan, berinovasi, atau berganti sepenuhnya karena tuntutan mutakhir.
Buku sepele nan penting ini memang tidak menjelajahi banyak wilayah di Indonesia. Penulis menginformasikan di pengantar, “Lokasi penelitian ini difokuskan pada kota-kota penghasil penganan tradisional yang terkenal di sepanjang pesisir pantai utara di Jawa Timur, yakni Gresik, Lamongan, dan Tuban, ditambah daerah di Situbondo dan Bondowoso. Pemilihan produsen didasarkan pada rekomendasi masyarakat setempat maupun konsumen dari daerah lain, didukung dengan beberapa data penunjang dan media daring (online) maupun media luring (offline).
Kearifan lokal kemasan, merujuk pada judul, sangat terikat dengan apa yang berada dan diberikan oleh alam. Hal ini biasanya sangat mencirikan pola hidup agraris; tumbuh melimpah di kebun-kebun, murah, dan tentu tidak mencemari lingkungan. Dari daun pisang saja, kita bisa menyebutkan melimpah penganan tradisional; lemet, karang gesing, tape ketan, semar mendem, gethuk pisang, mendhut. Selain daun pisang, ada daun jagung, daun kelapa, anyaman bambu (besek), enau, daun jambu air, pelepah pinang (ope), atau daun jati yang jadi pembungkus.
Di Gresik, ada penganan khas bernama pudak yang dibuat dari tepung beras, gula pasir atau gula merah, dan santan. Pudak dibentuk seperempat bulatan dan dibungkus pelepah pinang atau ope. Yang menarik adalah cara pedagang memajang penganan ini, direnteng dan wajib digantung di depan kios-kios. Salah satu narasumber ditampilkan oleh penulis bernama Ibu Suharsih, generasi ketiga, melanjutkan nenek yang menjual pudak pada 1949. Pudak dibuat bukan sekadar untuk camilan. Karena mengenyangkan seperti nasi sekaligus gurih dan manis, pudak tercetus untuk memenuhi bekal orang-orang bepergian. Citra kerakyatan tampak dalam kemasan yang aman dibawa.
Secara biologis, pelepah pinang memang ulet, kuat, lentur, dan tentu alami. Dikatakan, “Lembaran daun bagian dalam ada semacam lapisan yang menyerupai plastik. Lapisan inilah yang secara alami dapat mengatur suhu pudak karena mengandung pori-pori. Mengingat bahwa adoan pudak ini harus diikat saat masih dalam keadaan panas produk perlu didinginkan dan dikeringkan, caranya adalah diangin-anginkan. Karena dibungkus dengan ope tersebut, maka pudak harus digantung untuk diangin-anginkan. Dengan menggantung pudak, maka pudak lebih cepat kering, ope tidak terlalu lembab yang menyebabkan tumbuhnya jamur” (hal. 18).
Selain ope, ada wadah besek dari daun siwalan untuk mewadahi jenang Jubung (semacam dodol). Pernah produsen mencoba mengganti ope atau besek, tapi para pembeli justru protes karena aroma daun hilang dan penganan berbau plastik atau kardus. Meski kardus bagus dan bercap modern, ada nostalgia kelawasan yang hilang dari penganan. Rasanya kurang mantap!
Bergerak ke Situbondo dan Bondowoso, masalah geografis memunculkan kekariban kultural mutualisme. Bondowoso dirasa kurang strategis karena bukan daerah mobilitas utama. Maka, para produsen harus memasarkan ke wilayah terdekat dan strategis, Situbondo, “Meski dijual di Situbondo, identitas tape sebagai produksi Bondowoso tetap melekat. Meskipun dijual di Situbondo, dalam setiap kemasan tape umumnya tertulis Bondowoso, baik tertulis dalam bentuk oleh-oleh khas Bondowoso, ataupun hanya tulisan Bondowoso.”
Di sini, tape biasanya diwadahi besek bambu di Andong dan Kopang. Selama perajin besek masih ada dan bahkan diwariskan turun temurun, besek kemungkinan tetap dipakai sebagai wadah andalan. Namun permintaan konsumen berperan dalam masuknya kardus sebagai kemasan yang eksklusif tanpa menyingkirkan kebersahajaan besek. Dua kemasan ini pun memiliki kelas sosial (pembeli) masing-masing. Besek lebih justru lekat dengan masyarakat awam dengan konsumsi di ranah keluarga. Kardus dilihat sebagai prestise, untuk oleh-oleh atau sajian resmi. Pembelinya biasanya para pegawai atau pejabat. Dalam jagat penganan, kemasan tidak hanya berperan fungsional tapi hadir sebagai citra yang harus dibeli.
Buku ini pasti mengusulkan bahwa kearifan lokal kemasan harus diupayakan konservasinya, setara pentingnya dengan mengonservasikan flora, fauna, tempat-tempat bersejarah, atau tinggalan-tinggalan artefaktual. Warna lokal dari hal kecil bernama kemasan menentukan capaian-capaian besar yang sangat menentukan; ekonomi, pariwisata, kelestarian lingkungan, diplomasi budaya.
Sebelum beli penganan, periksa dulu kemasan!