Pengajian lazimnya menjadi ‘jalan masuk’ (pathway) bagi seseorang untuk menyesap ‘cahaya’ kesadaran. Namun, kini pengajian terlihat mengalami ‘likuifaksi’, pergerakan makna di tengah ‘gempa’ pengajian di mana-mana. Kini, pengajian seolah mau ‘ambles’ digeret dalam pemaknaan yang lebih ‘ngarab’, dengan istilah ta’lim, halaqoh atau talaqi. Di pesantren-pesantren tradisional dari dulu galibnya pengajian dilakukan dengan model sorogan dan bandongan. Kedua metode tersebut kerap digunakan santri untuk menggali ajaran Islam melalui kitab kuning atau kitab turats.
Yah, ngaji di era teknologi saat ini tak perlu berpayah-payah. Tak mesti offline, tapi bisa juga online. Dulu, orang berbondong-bondong datang ke pengajian akbar dengan naik colt pickup atau bis. Sekarang, cukup ngeklik gadget nonton youtube dengan banyak menu dari para ustaz sambil ngopi dan makan camilan beres sudah. Mau cari model ustaz apa saja, made in mana, pokoknya siap saji.
Pertemuan yang Sibak Tabir
Sebut saja namanya Joni. Saya bertemu dengan Joni di sebuah kota di Sumatera. Dia berdarah Jawa, tapi lahir di Sumatera. Istilah yang masyhur Pujakusuma, Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Jalan cerita Joni hingga dia hijrah dan mengambil ‘jalan pintas’ langsung ke ‘jalur keras’, bagi saya begitu menambat hati.
Selidik punya selidik, Joni melangkah ke jalan ekstremisme dimulai di sekolah menengah. Saat itu, Joni diundang oleh teman sekelasnya untuk ikut serta dalam apa yang dikatakan kepadanya sebagai kelompok belajar. Dari awal diajak, tampak Joni sudah bisa merasakan ngeh bersama kelompok itu. Ya ada kemistri yang mengalir. Menurut Joni, kok tidak seperti pengajian lain yang pernah dia ikuti.
Pengajian yang satu ini langsung ‘tandas dan tegas’, sesuai hadits qulil haqqa walau kana murron, katakan walaupun pahit, yaitu membahas jihad bukan sebagai sesuatu yang awang-awang, tetapi sedemikian rupa sehingga seperti ‘memupuk kembali’ gairah yang selama ini terpendam.
Dari pengajian ini, Joni diundang ke kelompok yang lebih eksklusif yang ternyata digelar oleh JI (Jamaah Islamiyah), meskipun afiliasinya tidak diungkapkan kepadanya pada waktu itu. Di gelaran ngaji itu, dia diajari Alquran dan aspek-aspek pandangan dunia JI. Ketika JI mulai mengirim jihadisnya ke Ambon, yang kala itu terjadi konflik komunal, Joni sontak berhasrat pergi. Dia siap untuk komitmen itu. Walaupun saat itu, Joni belum mendapatkan pelatihan militer. Mentor JI-nya awalnya mencegahnya lantaran masih ‘polosan’, belum terlatih secara militer.
Namun, Joni tetap ngotot ingin pergi ke Ambon. Karena kengototannya itu, akhirnya Joni diizinkan untuk mengambil pelatihan militernya dengan JI di Ambon dan Joni pun memperoleh pengalaman tempur. Paska konflik, Joni balik kampung. Di kampungnya dia terus bersosialisasi dengan anggota JI dan berpartisipasi dalam kegiatan JI. Setelah empat tahun kegiatan di berbagai tingkatan di JI, Joni akhirnya dianggap cukup berkomitmen dan diizinkan untuk dibai’at. Resmilah Joni menjadi anggota JI.
Cerita lain, suatu waktu untuk melampiaskan ‘panggilan bohemian’, saya bertemu dengan sebut saja namanya Imam. Beberapa hari jalan bareng sama Imam putar-putar Jawa Timur hingga menginap semalam di rumahnya sangat mengasyikkan. Sepanjang perjalanan meracau ngalor ngidul, dari yang ‘panas-panas sedap’ sampai yang ‘panas-panas ngeri’. Ya, terpacak ‘nostalgia kombatan’ yang menyeriang dan menyingkap tabir kelam.
Imam berasal dari sebuah kota di Jawa Timur yang dikenal dengan kota santri dan banyak pesantren bercorak tradisional. Imam lahir dari keluarga Islam tradisional yang kuat. Keluarganya hampir semuanya terlibat dalam kepengurusan sebuah ormas besar di Indonesia. Senyampang waktu, Imam ujug-ujug ingin hijrah. Dia mengaku illfeel hidup di lingkungan Islam yang itu-itu saja terlebih tidak jelas dalil amalannya. Dia ingin move on.
Di pertengahan 1990-an, dia mulai menghadiri pengajian di Pesantren Baitul Amin yang berafiliasi pada ormas Islam modernis di daerahnya. Dia melakoninya setiap malam. Salah satu gurunya, yang bersimpati dengan JI, mengarahkan Imam untuk menghadiri pengajian yang diadakan oleh seorang ustaz dari pesantren JI terdekat, yaitu Darus Syahadah.
Setelah bersahabat dengan ustaz ini, Imam mulai pergi ke rumahnya untuk belajar tentang tarbiyah Islam dan tauhid. Karena pengajian di Darus Syahadah lebih intensif daripada semua yang telah dihadiri, memantik hasrat menggebunya untuk bergabung dengan kelompok ini meskipun dia tidak tahu siapa mereka saat itu.
Imam kemudian menghadiri apa yang disebutnya sebagai ‘pengajian khusus’ dan menjadi bagian dari kelompok yang terdiri dari 20 orang selama hampir dua tahun. Pengajian khusus ini ditutup untuk umum dan diadakan di rumah-rumah pribadi. Mereka diajari oleh berbagai ustaz dari beberapa jamaah. Dari sana, Imam diundang oleh seorang ustaz dari Al-Islam untuk bergabung secara intensif selama 3 hari. Pengajian dilanjut dengan materi 3 hari tadrib asykari (pelatihan militer) di pegunungan yang mencakup keterampilan berlari, berkemah dan bertahan hidup.
Setelah sekitar 6 bulan pengajian khusus, Imam diundang untuk menghadiri pengajian dengan materi lanjutan yang mencakup iman, hijrah dan bai’at. Materinya juga membahas jihad, yang didefinisikan sebagai qital fi sabillah dan dipatok wajib. Di materi lanjut ini, Imam bertemu dengan orang-orang yang direkrut dari tempat lain untuk pertama kalinya. Pengajian yang diikutinya sekarang bergeser dari tingkat pengajian khusus ke tingkat halaqah yang bahkan lebih eksklusif.
Imam dibai’at pada tahun 1999. Inilah capaian Imam menuju titik komitmen utama dan menjadi bagian dari komunitas eksklusif yang terjalin erat. Dia diberi peran menjadi wakil amir untuk daerahnya (manthiqi). Pada titik komitmen berikutnya, Imam menawarkan diri untuk berlatih di camp Abu Bakar di Filipina pada Januari 2000, yang membuatnya menjadi bagian dari generasi Mindanao JI. Sah sudah, hubungannya dengan JI makin menguat.
Gambaran lengkap jalur pengajian ke JI—berpijak dari sampling kisah Joni dan Imam–menunjukkan bahwa masuk ke JI sebagai orang luar, yaitu sebagai seseorang yang bukan dari keluarga jihad atau pesantren JI, adalah proses yang sangat melelahkan, mulai dari pengajian yang besar menjadi semakin kecil, eksklusif, tertutup dan yang rahasia.
Proses indoktrinasi dan sosialisasi bertahap ini memastikan bahwa hanya rekrutan yang paling berkomitmen yang menjadi anggota. Itu memungkinkan penilaian yang cermat terhadap karakter individu, dan itu meyakinkan bahwa pada saat ia menjadi anggota, lingkaran teman-teman dan mentornya menyempit dan menjadi fokus pada in group.
Apa mau di kata, untuk bergabung dan menjadi anggota kelompok jihad tidak simsalabim, tetapi seringkali melalui proses yang cukup panjang. Uniknya, bagaimana pengajian menjadi jalur pilihan bagi orang luar, yaitu mereka yang tidak tumbuh dalam keluarga jihad atau pernah ikut kegiatan yang nyerempet-nyerempet jihad, atau bahkan tidak punya ‘tampang jihadis’ sama sekali.
Bagaimana bisa-bisanya seseorang bergabung dengan kelompok ekstrim keagamaan? Saya tak perlu ‘blusukan’ untuk menangkar teori. Why they join, secara cukup mencuplik hasil penelitian Julie Chernov Hwang dan Kirsten E. Schulze (2018). Dari penelitiannya, terungkap ada rute-rute yang dilalui oleh seseorang untuk hijrah menjadi jihadis. Disamping melalui kekerabatan, pesantren atau sekolah dan konflik lokal, yang juga sangat strategis adalah melalui pengajian.
Pengajian menjadi sarana efektif untuk merekrut anggota dan menanamkan doktrin radikal.
Hasil penelitian Julie Chernov Hwang dan Kirsten E. Schulze, menunjukkan sejumlah 87 dari 106 militan muslim bergabung dengan kelompok radikal melalui pengajian. Mereka telah menjadi komponen kunci dalam perekrutan muslim ke dalam gerakan Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII) sejak 1980-an serta Jamaah Islamiyah (JI) sejak 1993, hingga mereka yang bergabung dengan kelompok-kelompok pro-ISIS di Indonesia sejak 2013.
Pengajian bagi kelompok radikal berfungsi secara mandiri. Dalam bentuk pengajian yang lebih eksklusif, mereka mempersiapkan seorang calon ‘íkhwan’ untuk diindoktrinasi. Disamping itu, ikatan sosial yang terbentuk kuat dalam pengajian yang lebih eksklusif menjamin kesetiaan para ikhwan terhadap organisasi militan Islamis.
Proses rekrutmen JI melalui pengajian dari pembentukannya pada tahun 1993 hingga 2002 adalah sarana persiapan (i’dad) yang dikontrol ketat dan bertujuan untuk membangun keanggotaan yang benar-benar dapat diandalkan dan berkomitmen serta terikat oleh kesetiaan tidak hanya kepada amir, tetapi juga rekan ikhwan mereka.
Dari perekrutan melalui pengajian terbuka hingga meningkat pada tahap-tahap pengajian yang lebih eksklusif dapat berlangsung mulai dari 18 bulan hingga 5 tahun. Durasi waktu pengajian tergantung pada tingkat komitmen yang ditunjukkan di berbagai tahapan, frekuensi kehadiran, dan hubungan yang dibangun di dalamnya.
Proses indoktrinasi dan sosialisasi dalam metode pengajian bisa memastikan bahwa hanya rekrutan yang paling berkomitmen bisa menjadi anggota. Ini memungkinkan penilaian yang cermat terhadap karakter individu. Dan itu akan meyakinkan bahwa pada saat seseorang menjadi anggota jaringan, maka geraknya telah menyempit dan menjadi lebih fokus pada in group.
Sebagaimana halnya jalur pengajian JI menjadi semakin penting setelah pemboman Bali 2002 ketika pesantren atau madrasah JI berada di bawah pengawasan aparat. Namun, pada saat yang sama, proses bergabung menjadi kurang ketat dan lebih ad hoc, karena JI berevolusi menjadi organisasi yang “lebih longgar” setelah penangkapan pasca-Bali sejumlah besar kader-kader utama JI, sementara kader yang tersisa sembunyi dan bergerak di bawah tanah.
Serangkaian penangkapan kedua menghantam JI pada tahun 2007 di akhir konflik Poso yang mendorong JI mengambil langkah mundur dari jihad di Indonesia, namun tetap memacu reorganisasi untuk tahap periode konsolidasi.
Terpampang sudah, pengajian telah menjadi inti dari strategi rekrutmen JI. Hampir semua dari mereka yang disebut sebagai “Neo-JI” yang ditangkap antara dari 2014 hingga 2019 sehubungan dengan kasus memproduksi, memiliki, mengangkut, menyimpan senjata dan bahan peledak, dan juga pendanaan, semuanya datang ke JI melalui pengajian.
Selain itu, nyaris semuanya terlihat pada awalnya dalam pengajian terbuka di masjid-masjid yang tidak terkait dengan JI dimana mereka “dipandu” dalam pengajian yang lebih kecil dan lebih eksklusif sebelum akhirnya mengambil bai’at.
Meskipun ada tahapan yang akan mengubah kualitas beberapa anggota JI, sebagai akibat harus bergantung pada pemilihan calon yang potensial pada pengajian yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi arus utama atau di kampus-kampus universitas, hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah anggota yang potensial dan tidak memungkinkan untuk menargetkan jenis-jenis individu tertentu.
Laporan akhir tahun JI oleh Direktorat Tarbiyyah untuk tahun 2013–2014 menunjukkan bahwa JI secara strategis berusaha merekrut mahasiswa, dokter, perawat, bidan, apoteker, ahli kimia, teknolog informasi, insinyur mekanik, listrik insinyur, dan ahli metalurgi untuk membangun masyarakat Islam sebagai landasan membangun negara Islam.
Bahkan dengan munculnya internet dan media sosial, pengajian tetap menjadi jalur utama, seperti halnya yang dilakukan oleh kelompok pro ISIS di Indonesia.
Salah satu kelompok pro-ISIS yang melakukan metode pengajian dipimpin oleh Syamsudin Uba. Dia mengadakan pengajian untuk kelompok-kelompok pria, wanita, pemuda, dan masyarakat umum secara terpisah.
Dia juga mengadakan pengajian di kampus sampai pernah diusir. Uba kemudian mendirikan Uba Al-Aqsha Haqquna yang pada awalnya didirikan sebagai organisasi pro Palestina. Uba secara diam-diam menggunakan pengajian Palestina untuk menyebarkan pesan ISIS dan menggunakan pengajian sebagai strategi untuk merekrut ikhwan menjadi pro-ISIS.
Misalnya, Uba pernah menghelat tabligh akbar pada 30 Juli 2017 yang digunakan untuk wahana mengkampanyekan idiologi ISIS. Setelah khotbah-khotbah umum seperti itu, akan selalu ada tindak lanjut, misalnya melalui pesan-pesan WhatsApp yang mengundang orang-orang untuk bergabung dalam pengajian.
Bagi para pendukung ISIS Indonesia, komitmen yang sebenarnya mengharuskan pertama membangun hubungan relasional dengan pendukung ISIS di Indonesia dan kemudian meninggalkan seluruh jaringan sosial mereka untuk kehidupan baru di Suriah.
Tak kalah gahar, bagi kelompok lain baik puritan atau ekstrem ‘tak berkekerasan’ terus bersigap membangun jaringan demi memantabkan harokahnya. Seluruh proses pendinamisan jaringan serta rekruitmen itu dijalankan lewat pengajian.
Nah, dari telusur unyu-unyu ini, tetiba kita bergegas membayangkan paras Indonesia di masa depan. Pergerakan dan pergeseran rupa pengajian, silahkan meneroka, adakah itu ‘prediksi’ atau ‘potensi’ atau bergerak simultan?